Freza begitu gelisah pagi itu di dalam pesawat jet pribadi milik keluarganya. Kepalanya berkecamuk. Hari ini dia menghadapi pilihan yang sulit.Sejak semalam, dia terus memikirkan keputusan yang harus diambil. Akhirnya, dia memilih untuk pulang.Suara ponselnya berdering, dan lagi, dia ragu untuk mengangkatnya. Itu pasti Ivo, pakdenya. Ponselnya terus berdering.Dengan berat, dia pun mengangkatnya. Sebelum Ivo bicara, Freza sudah bisa menebak arah pembicaraannya.Tidak lama basa basi setelah telepon diangkat, Ivo segera masuk ke topik utamanya.“Fre, kenapa kamu pulang tiba-tiba? Kalau kamu tidak muncul, bisa-bisa kita kehilangan respect dari calon investor kita.”“Pakde, ada kejadian yang sangat mendesak di rumah. Aku tidak bisa meninggalkannya. Tolong gantikan aku, please!”Ivo terus meyakinkan Freza bahwa investor dari luar ini bukanlah orang yang mudah diambil hatinya. Namun, jika mereka bisa mendapat kepercayaannya, ini adalah hasil yang sangat bagus. Mereka akan mendapat dana cu
Freza terus menyusuri lorong rumahnya untuk menuju kamar Rere, di area kamar pembantu. Langkahnya begitu yakin, tidak melambat sedikit pun.Perasaannya kini bercampur emosi setelah berbicara dengan ayahnya. Selalu saja, tidak jarang keduanya bertengkar jika ada kesempatan bertemu.Padahal, ingin juga dia merasakan momen-momen hangat bersama keluarganya, tanpa ada kepentingan pekerjaan di dalamnya. Yah, itu hanya angan-angannya saja. Sepertinya tidak akan terjadi.Dia teringat, dahulu, saat kakeknya meninggal pun, ayahnya tidak bisa mengikuti prosesi pemakaman karena sedang perjalanan bisnis. Freza sangat tidak habis pikir, apakah yang di pikiran ayahnya itu hanya tentang pekerjaan? Bukan yang lain, termasuk keluarga?Walaupun Freza mau bekerja di perusahaan Rumma, tetapi dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mau menjalani kehidupan seperti Rumma. Kehidupannya juga perlu diseimbangkan, tidak melulu tentang bisnis dan uang.Apa gunanya punya rumah sebesar pulau ini, jika bahkan
Freza segera berdiri dengan wajah yang seakan habis disiram air es, pucat, saat Silvia memasuki kamar Rere. Dahi wanita itu berkerut, dan sorot matanya terus tertuju pada kedua sosok di dalam kamar.“Kenapa kamu memeluk pembantu wanita di kamarnya, Fre? Itu tidak pantas!” Volume suara Silvia masih biasa, tetapi begitu banyak penekanan di intonasi bicaranya.Freza dan Rere hanya mampu terdiam melihat ibu Freza yang semakin mendekat. Sejenak yang lalu mereka terlalu hanyut dengan perasaan, hingga lupa jika mereka seharusnya tetap menjaga sikap. Bisa saja sewaktu-waktu ada orang memasuki kamar itu, seperti sekarang.“Ibu?”“Kenapa? Terkejut karena aku bisa memergoki kelakuan kalian yang tidak pantas itu?” Silvia sudah berdiri di hadapan Freza, sangat dekat dengan ranjang Rere.“Sudah lama ibu curiga dengan kelakuanmu. Dengan sikap khawatirmu yang berlebihan kepada seorang pembantu. Apa hubungan kalian sebenarnya, Fre? Tolong, jawab Ibu!”Tatapan Silvia bergantian memandang Freza dan Rere
Pagi ini keluarga Margada sedang melakukan sarapan, yaitu Rumma, Silvia, serta Freza. Saat mereka baru saja akan memulainya, seseorang yang lain ikut bergabung.“Selamat pagi semuanya!”Sapaan barusan menbuat ketiga orang di meja makan menoleh bersama. Dengan refleks, secara bersama-sama, ketiganya juga langsung berdiri, terkejut.“Eyang?” Freza yang pertama memecah keheningan.“Iya, sayang. Aku inging sarapan bersama dengan kalian.”“Mama sudah bisa bangun? Sudah bisa duduk di kursi?” Silvia mendekat ke kursi roda ibu mertuanya yang didorong oleh Rere.“Apa aku tidak boleh sembuh?”“Bukan begitu, Ma. Aku hanya terkejut karena senang. Kami senang Mama sudah bisa bergabung untuk sarapan bersama.”Rere membantu Rowena bangun dari kursi roda dan membantunya duduk di salah satu kursi. Silvia pun turut membantu.“Aku senang Mama sudah bisa bergabung di meja makan. Seharusnya Mama melakukan itu sejak dulu,” ucap Rumma menambahkan.Mendengar ucapan yang terdengar datar itu, Rowena menanggapi
Sesampainya di Surabaya, Freza tidak langsung berangkat ke kantor Big Star, melainkan ke sebuah ruko yang sudah dipersiapkan Merlyn sesuai instruksinya.Untuk menghindari adanya karyawan Big Star yang tahu, dia memutuskan untuk memesan ojek online, lebih aman pikirnya.Hari ini, dia pun tidak meminta Merlyn untuk ikut serta. Asisten pribadinya itu langsung menuju gedung Big Star untuk menyiapkan beberapa dokumen yang harus dia pelajari sebelum rapat siang ini.Sampai di depan sebuah ruko, Freza mengenakan masker, karena kali ini dia tidak ingin dikenali terlebih dahulu. Ternyata, di dalam sudah ada empat orang karyawan laki-laki dan seorang perempuan. Mereka semua akan bekerja dengan Freza di ruko tersebut.Yang mereka tahu, ini adalah perusahaan rintisan untuk mengerjakan proyek di bidang properti dengan lebih mengedepankan kecanggihan teknologi. Sehingga, beberapa dari karyawan itu ahli di bidang teknologi dan perangkat lunak.Untuk meyakinkan bahwa dirinya adalah pemimpin tim terse
Sebelum makan siang berakhir, Freza sudah kembali ke kantor Big Star. Hari ini akan ada meeting untuk meninjau hasil kerja timnya. Karena dua bulan lagi akan ada eksibisi besar bagi industri real estate dan apartment, maka akan jadi kesempatan bagi Freza dan timnya untuk bangkit. Eksibisi yang akan dilakukan di sebuah hotel di Nusa Tenggara itu akan mempertemukan calon investor, calon customer, dengan beberapa perusahaan ternama di bidang properti. Mengingat investor dan customer yang datang berasal dari dalam dan luar negeri, perusahaan yang diundang pun adalah perusahaan yang sudah memiliki nama dan pengalaman tinggi. Tujuan Freza hanya satu, dia harus bisa mendapatkan proyek dari eksibisi yang eksklusif itu. Kesempatan yang hanya bisa dirasakan oleh sedikit perusahaan. Karena pihak penyelenggara sangat selektif terhadap undangan yang diajukan. “Kita tidak punya banyak waktu. Dua bulan adalah waktu yang sangat sempit untuk melakukan persiapan.” Semua peserta rapat sangat seriu
Merlyn merapikan pakaian serba hitamnya saat keluar dari mobil merahnya. Diliriknya jam di pergelangan tangan, masih lima menit lagi sebelum rapat Freza berakhir. “Bagus, masih tepat waktu. Untung saja jalanan tidak macet.” Wanita anggun itu menyapukan punggung tangannya untuk menghilangkan keringat yang muncul di keningnya. Tentu saja bukan keringat karena kepanasan. Melainkan keringat dingin, takut jika dia datang setelah rapat berakhir. Sebisa mungkin dia menghindari pertanyaan-pertanyaan dari tuannya tentang keberadaannya selama Freza rapat. Langkahnya berjalan cepat untuk masuk ke gedung Big Star. Dia melewati lobi dan terus menuju lift khusus yang langsung ke ruangan Direktur. Ada dokumen yang perlu dia letakkan di atas meja. Beberapa tugas tambahan dari Freza. “Dari mana Merlyn?” Begitu kagetnya wanita berambut cokelat itu saat membuka pintu kantor Freza, sebuah suara menyapanya dari dalam ruangan. “Ah, Tuan Freza. Sudah selesai meetingnya? Saya kira baru akan selesai?”
Selama perjalanan ke kamarnya, Rowena terus menggerutu karena usulnya ditolak oleh Silvia. Bukan tanpa alasan. Silvia tidak menyetujui usulan ibu mertuanya itu karena takut Freza akan semakin menjauh dari keluarganya jika sampai tahu itu hanya bohongan. Saat ini hubungan Freza dan kedua orang tuanya sedang sedikit menegang. Jangan sampai ada masalah lain yang muncul. Rere hanya mendengarkan saat sang nenek bersungut-sungut kesal. Kadang dia pun tersenyum saat mendengar kata-kata ocehan Rowena. Dia terus mendorong kursi roda sang nenek hingga masuk ke dalam kamar. “Kamu tahu, Silvia itu menantu yang aneh! Dia sepertinya tidak ingin punya cucu. Tidak ingin Freza segera menikah.” Merasa tidak ada tanggapan dari Rere, Rowena sedikit berteriak kepada perawatnya itu, “Heh, Rere! Kamu dengar tidak omonganku barusan?” “Oh, iya, Eyang. Saya dengar semuanya.” “Terus, kenapa kamu hanya diam saja? Aku ini mengajakmu bicara.” “I-iya, Eyang, maafkan saya. Saya tidak tahu harus menanggapi apa