Freza mengendarai mobil ditemani Merlyn di bangku sebelahnya. Roda mobil berhenti di pinggir trotoar, setelah akhirnya terbebas dari kemacetan kota.Keduanya memasuki sebuah toko bunga yang ada di pinggiran trotoar tersebut. Banyak bunga-bunga segar dipajang di depan toko hingga ke dalam ruangan.“Pilihkan aku bunga yang bagus!” ucap Freza langsung kepada Merlyn yang sudah berdiri di sebelahnya, di atas sepatu hak tinggi kuningnya.“Tuan Muda perlu setangkai bunga, seperti mawar merah, atau buket dengan berbagai macam bunga?”Merlyn bertanya sambil mengambil setangkai mawar merah di salah satu keranjang bunga. Dia mencium aroma bunga itu.“Setangkai bunga? Jauh-jauh membelah kemacetan hanya untuk setangkai bunga? Yang benar saja. Pilih yang bagus dan buket yang besar!”“Baik, Tuan. Kita coba masuk saja langsung bertemu pemilik tokonya.”Merlyn mendahului Freza untuk masuk ke dalam ruangan kecil di depan mereka.Belum sempat wanita itu sampai di pintu toko, kakinya terpeleset sedikit k
Bimbang dengan situasi yang ada, akhirnya Rere hanya berdiam di dalam ballroom, tidak mengejar Freza yang tadi langsung pergi dengan begitu marah.Setelah melihat kejadian tadi, suaminya itu tidak memicu pertengkaran seperti biasanya. Dia hanya memandang ke arah Rere dan Zeega sejenak, lalu ke arah ibunya, dan akhirnya memutar tubuhnya untuk melangkah keluar dari ruangan besar hotel.Sejenak Rere berkeinginan untuk mengejar. Namun, akal sehatnya memintanya untuk tinggal. Tidak mungkin dia berlari meninggalkan Silvia. Akan muncul berbagai pertanyaan nantinya.Walaupun hal barusan juga pasti memancing rasa penasaran ibu mertuanya itu.“Apa yang terjadi dengan Freza?” tanya Silvia saat tinggal Rere dan dirinya di dalam ballroom.“Saya kurang tahu, Bu. Tadi Pak Freza berteriak dan langsung pergi.”Pikiran Rere menjadi tidak tenang. Di satu sisi dia seharusnya meredam kemarahan suaminya. Satu sisi lain, dia teringat kalimat Zeega sebelum lelaki itu pergi.“Aku tahu siapa yang membeli rumah
Dipandangnya jam di atas nakas kecil di sebelah kasur, sudah tengah malam, tetapi mata Rere belum bisa terpejam.Bersyukur pertemuan dengan event organizer tadi berjalan lancar. Dia sudah tidak peduli jika ada yang menggunjing tentang mukanya yang sembab.“Mukamu kenapa, Re?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Silvia setelah rapat malam tadi.Dengan gelengan lembut, Rere hanya menjawab bahwa dia mendapat berita tidak baik dari teman yang dia temui sebelumnya. Untung saja ibu mertuanya itu percaya, sehingga tidak ada lagi pertanyaan lainnya.Walaupun hanya Silvia yang bertanya langsung, tetapi Rere mendengar beberapa orang berbisik-bisik sekaligus menatap wajahnya di tengah rapat.Melihat muka Rere yang tidak baik-baik saja, Silvia menawarkan Rere untuk menyelesaikan hal dengan temannya itu, jika memang masih diperlukan.“Kalau begitu, apa saya boleh meminta izin malam ini hingga besok, Bu? Saya akan kembali pada pagi hari, lusa.” Rere menyambut tawaran Silvia dengan jawaban lugas.Seper
Sampai di kamar hotel Freza, Rere masih memikirkan tentang pertemuannya dengan Kevian tadi pagi. Bahkan selama di perjalanan, hingga saat pergi ke penerbitan bukunya siang tadi, pikirannya terus melayang.Tubuh Rere terus bergerak miring ke kiri dan kanan, tak tenang. Sampai-sampai, dia pun lupa kalau sampai saat ini Freza masih belum kembali ke kamar hotelnya. Tidak juga menghubungi Rere.Sesekali wanita itu terduduk di atas tempat tidur. Namun, kembali lagi berbaring. Begitu terus hingga larut malam.“Saya mau Mbak Rere membantu saya untuk mempresentasikan sebuah proyek di depan calon investor. Saya dengar, Mbak Rere ini sangat pintar. Kebetulan, karyawan saya yang biasa melakukannya sedang cuti. Tidak sampai seharian. Bagaimana? Saya akan izin ke tante Silvia jika perlu.”Kata-kata itu terus berputar dan berulang di kepalanya. Ini sungguh syarat yang sulit menurutnya. Tapi, dia hanya punya waktu sampai besok pagi untuk memberi keputusan.Bagaimana bisa dia melakukan presentasi mewa
Tidak seperti biasanya, Freza ikut bergabung untuk sarapan di restauran hotel pagi ini. Dia sudah duduk bersama kedua orang tuanya.Langkah Rere goyah saat mengetahui suaminya ada di sana. Sempat dia berhenti mendorong kursi roda Rowena, yang menyebabkan teguran dari sang nenek.“Ah, maaf Eyang. Saya sepertinya lupa sesuatu. Tapi tidak pa-pa, nanti saja saya ambil.”“Dasar ceroboh. Tiba-tiba berhenti tanpa omongan pula. Ayo cepat dorong lagi. Aku sudah lapar,” gerutu Rowena.Tidak ada kata mundur bagi Rere. Mau tidak mau, dia harus menghadapinya. Dadanya terasa sesak dan sedikit memanas, karena hubungan Rere dan Freza sedang tidak baik.Mungkin Rumma yang mengajak Freza bergabung untuk sarapan. Apalagi mereka baru saja bertemu kemarin di kantor Big Star, pikir Rere.Sampai di meja makan, Rere menyapa semua yang ada di situ, termasuk Freza. Namun, reaksi Freza hanya mengangkat sedikit tangannya tanpa menoleh ke arah Rere. Wajahnya seperti tidak ingin melihat Rere saat ini.“Oh, Freza s
“Oh, saya pikir tadi Pak Freza mau mencari barang. Maaf kalau saya salah paham.” Rere segera merespon kalimat Freza.Mulut Freza sudah terbuka akan berbicara, saat Sesil tiba-tiba mendahuluinya.“Oh ya, Mbak Rere ditunggu kak Kevin di bawah. Dia di restauran bersama om dan tante. Karena sekalian antar aku ke sini, jadi dia jemput Mbak Rere saja sekalian. Mbak sudah siap?”“Su-sudah sih Non. Cuma … mmm ….” Rere melirik ke Freza lalu memandang ke Sesil lagi bergantian.“Yasudah, ayo! Cepetan! Hari ini kak Kevin ada rapat penting.” Sesil segera menarik tangan Rere untuk keluar kamar.Dalam pikirannya, dia juga ingin segera berduaan dengan Freza di sana. Jadi, jika Rere pergi, maka tidak ada yang mengganggu mereka.Bingung harus berbuat apa, ditambah Freza yang hanya terdiam, akhirnya Rere pasrah saat ditarik ke luar kamar.Sesil dengan penuh keceriaan memberi semangat bagi Rere untuk pekerjaannya hari ini. Dan dia pun berpesan agar bisa baik-baik dengan kakaknya.“Dia jomblo loh …. He he
Mendengar suara yang begitu dekat dengan mereka, sontak saja Freza dan Rere mengalihkan pandangan ke arah suara.“Kenapa dengan wajah kalian? Seperti melihat hantu saja. Aku hanya penasaran dengan kalimatmu tadi, Fre. Coba jawab, siapa kamu baginya?” Kevin berjalan mendekati keduanya yang masih terpaku di posisi mereka masing-masing.Lelaki itu harus mengulang pertanyaannya lagi untuk ketiga kalinya untuk membuat Freza dan Rere akhirnya tersadar. Dengan segera, Freza melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Rere.Begitu pula Rere, merapikan kembali bajunya yang sedikit berantakan.“Aku tidak punya jawabannya. Makanya aku tanya ke Rere. Itu saja,” jawab Freza sedikit ketus untuk menyembunyikan rasa gugupnya.Sama halnya dengan Rere. Wanita itu berkeringat dingin. Sangat kelu mulutnya untuk mengeluarkan jawaban.Dengan keras dia memutar otaknya untuk mencari kalimat yang mampu meredakan ketegangan saat ini. Tanpa menyebabkan masalah baru lainnya, tentunya.Kedua lelaki kini terdiam
"Kamu tahu? Pak Rumma bahkan akhirnya melepaskan proyek bernilai fantastis saat itu demi memperbaiki hubungannya dengan istrinya. Bu Silvia juga sampai rela merelakan sebuah karir mentereng di sebuah perusahaan saat itu, demi mendampingi suaminya. Luar biasa bukan? Itulah makna berkeluarga yang sesungguhnya. Bukan lagi tentang tujuanku atau tujuanmu, tapi tujuan bersama. Dan nyatanya, mereka bahkan lebih sukses sekarang." Kala itu, Hartini berbicara sambil terus memandangi kedua majikannya yang juga sedang bersantap di meja berbeda. Sedangkan Rere, hanya terdiam mencerna semua cerita Hartini yang membuat hatinya begitu tersentuh. Apakah dirinya dan Freza bisa dikatakan sebagai keluarga? Bagaimana mungkin mereka mengikat janji atas nama Tuhan hanya untuk mengarungi kehidupan yang tidak jelas seperti ini? Malam semakin larut, dan Rere tertidur di atas sofa setelah mengingat banyak nasihat Hartini saat makan malam tadi.*** Pagi-pagi sekali setelah solat subuh, Rere sudah bersiap-sia