“Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D
- Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu
TIIN. TIIN. Sebuah klakson mobil terdengar begitu nyaring, yang membuat kesal beberapa anak kos di bangunan tempat mobil itu menghentikan lajunya.Mobil sport dua pintu berwarna putih, dilengkapi suara knalpot Akrapovic itu menanti seseorang. Rere berlari tunggang langgang dari kamarnya menuju sumber suara yang membuat kegaduhan barusan.Ternyata benar, suara klakson tadi berasal dari mobil seseorang yang sudah dia nanti sejak setengah jam yang lalu. Bahkan, dia sudah begitu sulit memilah dan memilih baju untuk hari ini sejak dua jam yang lalu. Akhirnya, sebuah dress merah selutut yang warnanya agak pudar, dilengkapi lengan tiga per empat, serta dandanan ala kadarnya pun membuatnya begitu percaya diri untuk mendekati mobil tersebut. Saat tiba di pintu gerbang, salah satu anak kos laki-laki di rumahnya sedang berdiri memegang pagar, dan berbicara dengan tamunya. “Wih, mobil baru lagi, bree?” tanya anak kos itu, “Mau jemput siapa? Turunlah! Nggak sopan, dong, cuma ngebunyiin klakson
Di toilet, Rere segera mencuci mukanya yang sudah tampak seperti adonan tepung yang di-templok-in sembarang ke wajahnya. Dalam sekejap, bedak bayi serta polesan lip-balm yang dia gunakan di wajah pun luntur, kemudian hanya menyisakan muka alaminya. Pikirannya memutar ulang ingatan saat di dalam mobil Zeega, sewaktu berangkat tadi. Sempat lelaki itu terlihat menahan tawa, tetapi Rere tak acuh karena sedang grogi.Namun, sekarang semuanya jelas. Wajahnya sudah berantakan sejak berangkat tadi. Dia merutuki diri sendiri, merasa begitu bodoh dan jelek. Hatinya sakit jika membayangkan perasaan malu yang sejak tadi dipendam oleh teman jalannya, Zeega. Kedua tangannya masih memegangi wajahnya setelah dicuci. Saat itu pula, dia menyadari sebuah cincin masih tersemat di jemarinya. Perasaan takut segera menyergap. Tanpa menunda, kakinya segera berlari keluar toilet menuju toko perhiasan. Di depan toko, sudah tidak terlihat Zeega. Wajah Rere begitu tegang saat memasuki area dalam toko yang ter
Melihat ekspresi wajah Rere yang begitu lucu, Freza tidak mampu menyembunyikan tawanya. Suaranya begitu keras, membumbung ke langit-langit cafe. “Pasti itu tadi ekspresi kamu waktu Zeega bilang kayak gitu tadi, ya?” selidik Freza. Dia menggoda Rere setelah wanita itu menceritakan beberapa kejadian yang dialami di mall, saat tadi mereka berboncengan motor menuju cafe. Dengan emosi yang belum stabil, Rere menggerakkan lengan dengan kekuatan penuh untuk melemparkan tas tangannya tepat ke muka Freza. Sebagai anggota karate, refleks lelaki itu cukup baik hingga mampu menghindar tepat pada waktunya. “Ketawa lagi, aku lempar lagi, pakai piring nanti,” tambah Rere. Freza mengatupkan kedua tangannya pertanda meminta ampun kepada Rere. Sebelum pertengkaran melebar, sang pramusaji datang membawa pesanan mereka. Energi yang sudah terkuras cukup banyak membuat Rere memakan nasi gorengnya begitu cepat dan lahap.Freza mencoba mengutarakan pikirannya lagi. “Kamu sih, lelaki kayak begitu, kok,
Tidak terasa sudah selesai masa-masa perkuliahan bagi Rere dan teman-teman seangkatannya, termasuk Freza dan beberapa mahasiswa lain yang juga telat pun mampu mengikuti wisuda di periode yang sama.Masih terasa aneh bagi Rere bahwa, saat wisuda beberapa hari yang lalu tidak diikuti oleh Zeega. Padahal, tiga bulan sebelumnya, dia malah takut saat mau masuk ke kampus akan bertemu temannya itu, setelah kejadian di mall yang memalukan itu. Namun, dia malah disuguhi berita bahwa sehari setelah kejadian tidak mengenakan di mall, Zeega memutuskan pindah kuliah dan tidak ada lagi kabarnya.Karena menjadi misteri, bahkan setelah beberapa bulan pun kepergian Zeega yang tiba-tiba masih menjadi berita segar yang selalu diperbincangkan di beberapa kesempatan. Rere pun terkadang masih bertanya-tanya, bahkan sesekali membicarakan hal ini kepada Freza.“Apaan sih, Re. Udah lama, masih dibahas juga. Kita ini sudah wisuda, yang berlalu biarlah berlalu,” jawab Freza ketus.“Iya sih. Tapi, aku itu kasian
Rere terus terpojok hingga tubuhnya membentur meja wastafel, hingga dia tidak bisa kabur ke mana pun.“Mas, kamu mau apa? Aku mau keluar dulu, biar kamu bisa ganti piama,” kata Rere lirih sambil berusaha mendorong tubuh tinggi besar itu. Sayangnya, usahanya tidak membuahkan hasil. Tubuh kecilnya tidak mampu menyingkirkan lelaki di hadapannya.Kedua tangan Freza melingkari pinggang Rere, tanpa berucap sepatah kata pun. Wajah wanita itu menjadi semerah kepiting rebus. Napasnya tidak beraturan. Dia tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi terhadap keduanya di dalam sini. Sedangkan Freza, hanya senyum-senyum menikmati kegugupan istrinya itu.Rere menutup matanya seketika. Dan detik berikutnya, sebuah suara ponsel dari arah kamar, membuatnya membuka mata kembali.“Ada telepon, Mas. Jangan-jangan itu Ibu. Aku angkat dulu, ya?” Tangan Rere berusaha melepaskan rengkuhan lengan Freza di pinggangnya. Dia berlari secepatnya saat kesempatan kabur terbuka lebar. Lelaki itu terus tersenyum me
Rere membuka surat tersebut dan membacanya. Isi surat tersebut tidaklah banyak, tetapi cukup mampu membuat air matanya tidak mau berhenti.[Rere sayang,Ini adalah hadiah untuk pernikahanmu. Maaf, Ibu tidak memiliki harta untuk bisa diberikan.Satu yang pasti, Ibu akan selalu mendoakan untuk kesuksesanmu, dan agar pernikahanmu dengan Nak Freza dilimpahi kebahagiaan.Ibu tidak khawatir menyerahkanmu kepada Nak Freza, karena dia begitu baik, terhadapmu dan juga Ibu.Ibu berharap, kamu mau menggunakan hadiah dari Ibu ini. Untuk menjaga dirimu, saat mungkin Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi suatu saat nanti.Ibu sayang Rere selalu.]Dia letakkan surat itu kembali ke dalam kotak, dan mengambil selembar hijab berwarna pelangi dari dalamnya. Warna hijab itu begitu indah. Pelangi yang akan selalu menghiasi hidup Rere, meskipun ibunya sudah tidak lagi di sisinya. Rere memeluk hijab itu sambil berucap terima kasih yang begitu dalam. Meskipun ibunya tidak di sini, dia yakin bahwa sang ibu