Tidak terasa sudah selesai masa-masa perkuliahan bagi Rere dan teman-teman seangkatannya, termasuk Freza dan beberapa mahasiswa lain yang juga telat pun mampu mengikuti wisuda di periode yang sama.
Masih terasa aneh bagi Rere bahwa, saat wisuda beberapa hari yang lalu tidak diikuti oleh Zeega. Padahal, tiga bulan sebelumnya, dia malah takut saat mau masuk ke kampus akan bertemu temannya itu, setelah kejadian di mall yang memalukan itu. Namun, dia malah disuguhi berita bahwa sehari setelah kejadian tidak mengenakan di mall, Zeega memutuskan pindah kuliah dan tidak ada lagi kabarnya.
Karena menjadi misteri, bahkan setelah beberapa bulan pun kepergian Zeega yang tiba-tiba masih menjadi berita segar yang selalu diperbincangkan di beberapa kesempatan. Rere pun terkadang masih bertanya-tanya, bahkan sesekali membicarakan hal ini kepada Freza.
“Apaan sih, Re. Udah lama, masih dibahas juga. Kita ini sudah wisuda, yang berlalu biarlah berlalu,” jawab Freza ketus.
“Iya sih. Tapi, aku itu kasian. Katanya perusahaan keluarganya bangkrut. Kok, bisa? Padahal kemarinnya masih bisa beli cincin mahal begitu sama aku. Eh, besoknya langsung dapat kabar kayak gitu. Kasian, kan ....” Rere masih saja merasa iba dengan kejadian yang menimpa Zeega dan keluarganya.
Freza tidak lagi menanggapi kalimat-kalimat Rere. Freza begitu kesal. Sejak tubuhnya mendarat sempurna di kursi ruang tamu Rere, wanita itu langsung nyerocos mengenai Zeega, bukannya bertanya keperluannya datang.
“Lho, ada Nak Freza. Katanya sudah mau keluar kos, ya, akhir bulan ini? Sudah dapat kerja? Rere ini malah sibuk nulis saja di depan laptop, nggak tahu nulis apa. Katanya malah mau jadi penulis novel saja. Ibu sampai bingung.” Bu Suli tiba-tiba muncul dari dalam dan ikut duduk di ruang tamu.
“Lho, kamu sudah mau pindah, Mas? Kok, aku nggak tahu?” Rere ikut bertanya, penasaran.
“Ya, bagaimana mau tau, yang kamu omongin Zeega melulu, orang yang nggak ada di sini. Ibumu malah lebih tahu tentang aku.” Dia berhenti sejenak, lalu menghadap ke Bu Suli dan berkata, “Saya sudah dapat kerja, Alhamdulillah. Tapi, di luar Pulau Jawa. Nantinya, dapat tempat tinggal sementara dari perusahaan.”
Wajah Rere memerah karena malu. Dia bahkan tidak tahu apa-apa tentang seseorang yang paling dekat dengannya saat ini. Sebelum dia bertanya lebih lanjut, Bu Suli sudah menimpali kalimat Freza.
“Alhamdulillah. Semoga lancar ya, Nak. Setelah kerja, disegerakan menikah, agar punya teman hidup yang halal.”
Rere tertawa mendengar nasihat ibunya itu. Bagaimana mau menikah, sekarang saja tidak ada wanita yang dikencani oleh Freza, pikirnya. Tawanya langsung mengundang pelototan mata Freza, yang merasa kesal.
“Baik, Bu. Itu juga maksud saya ke sini. Saya ingin melamar Rere. Jadi, dia tidak perlu susah-susah cari kerja. Insya Allah saya siap lahir dan batin. Alhamdulillah, saya mendapat pekerjaan bagus. Rere bisa sesukanya jika ingin menulis novel, atau tetap mencari kerja.”
Seperti petir di siang bolong, kalimat itu membekukan tubuh Bu Suli dan Rere di waktu yang sama. Melihat reaksi ibu dan anak itu, Freza menjadi begitu canggung. Dia tidak mengharapkan reaksi ini. Lelaki itu sudah siap jika ditolak atau dimarahi. Namun, ekspresi mematung itu malah membuatnya bingung.
***
Beberapa bulan kemudian, setelah pembicaraan yang tidak sebentar, prosesi sakral ijab-kabul pun berjalan bagi Rere dan Freza. Sesuai permintaan Rere, yang sebelumnya hanya berupa gurauan, kini dipenuhi oleh Freza sebagai kenyataan, yaitu sebuah cincin dengan batu berlian yang cukup besar serta mas kawin 10 gram emas batangan 24 karat.
Dengan alasan susahnya memboyong keluarga ke pernikahan, Freza hanya membawa dua lelaki dewasa yang katanya adalah pakdenya. Acara begitu khidmat. Untuk sementara, pernikahan mereka tidak akan didaftarkan di pencatatan sipil, hanya akad secara agama.
Tidak hanya itu, sehari sebelum pernikahan, mereka menandatangani sebuah surat perjanjian pra-nikah. Di dalamnya disebutkan bahwa keduanya akan berpisah sementara waktu, maksimal satu tahun, setelah pernikahan berlangsung.
“Kamu tidak mau, kan, istrimu ini tidak menyelesaikan tanggung jawabnya?” Selalu itu kalimat yang Rere ulang-ulang untuk meyakinkan suaminya. Dia menceritakan bahwa, ada satu naskah novel yang harus diselesaikan sebagai tanggung jawab kontrak dengan sebuah penerbitan.
Sayangnya, pembantu sebagai tokoh utama di novelnya kurang menjiwai dan banyak cacat logikanya. Sehingga, setelah lulus kuliah menjadi waktu yang tepat baginya untuk mencoba menjadi seorang pembantu sungguhan. Agar mampu menulis cerita yang baik, dan naskahnya tidak ditolak lagi.
Karena Freza sudah berjanji untuk mendukung wanita yang dicintainya itu, dia pun rela berpisah jarak dan waktu sementara ini. Sesekali, dia akan menyempatkan datang ke Surabaya menemui Rere.
Selesai dengan semua prosesi pernikahan yang begitu sederhana, para tamu berpamitan satu per satu. Hanya beberapa kerabat dari orang tua Rere yang masih di rumahnya, karena memang menginap di sana.
Karena kondisi rumah yang ramai, Freza dan Rere pun memutuskan untuk menyewa sebuah hotel untuk menghabiskan malam sebagai pengantin baru. Dengan motor hitam kesayangannya, dan sebuah tas ransel di punggung, Freza melajukan motornya di jalanan Surabaya yang ramai menuju salah satu hotel bintang lima yang bisa dibilang cukup mentereng.
Tiba di kamar yang telah di pesan Freza, Rere mengitari ruangan yang luasnya bahkan lebih besar dari rumahnya. Saat menyibak gorden, dia bisa melihat lampu jalanan serta lampu kendaraan yang berkelap-kelip terlihat dari atas kamar.
“Ini hotel mahal, lho. Uangmu nggak habis untuk pesan kamar ini?” tanya Rere penasaran.
“Kebetulan aku dapat diskon besar dari aplikasi online. Jadilah harga kaki lima, kualitas bintang lima.” Seperti biasa, tawa meluncur dari mulut Freza, berusaha mencairkan suasana.
Rere membongkar tas ransel dan mengeluarkan pakaian ganti untuk dirinya dan Freza, sepasang piama baru yang telah Freza siapkan juga sebelumnya. Rere bagaikan putri yang hanya perlu menyiapkan diri, sedangkan semua keperluan telah diatur oleh Freza.
Selesai berganti pakaian, Rere tidak segera keluar kamar mandi. Di memandangi cermin di hadapannya. Kali ini bukanlah sekadar ilusi hati dan pikirannya. Ini semua benar-benar nyata. Dia sudah menjadi seorang istri. Mengingat seseorang menantinya di luar kamar, jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya lemas. Apa yang harus aku lakukan nanti?
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Dia segera membuka pintu, dan sudah ada seorang lelaki berdiri di ambang pintu. Rere tidak bisa keluar kamar mandi karena terhalang tubuh sang suami.
Jantungnya semakin bertalu-talu kencang saat tubuh Freza mendorong tubuhnya hingga masuk kembali ke dalam kamar mandi. Pintu di balik punggung lelaki itu didorong hingga tertutup.
Rere terus terpojok hingga tubuhnya membentur meja wastafel, hingga dia tidak bisa kabur ke mana pun.“Mas, kamu mau apa? Aku mau keluar dulu, biar kamu bisa ganti piama,” kata Rere lirih sambil berusaha mendorong tubuh tinggi besar itu. Sayangnya, usahanya tidak membuahkan hasil. Tubuh kecilnya tidak mampu menyingkirkan lelaki di hadapannya.Kedua tangan Freza melingkari pinggang Rere, tanpa berucap sepatah kata pun. Wajah wanita itu menjadi semerah kepiting rebus. Napasnya tidak beraturan. Dia tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi terhadap keduanya di dalam sini. Sedangkan Freza, hanya senyum-senyum menikmati kegugupan istrinya itu.Rere menutup matanya seketika. Dan detik berikutnya, sebuah suara ponsel dari arah kamar, membuatnya membuka mata kembali.“Ada telepon, Mas. Jangan-jangan itu Ibu. Aku angkat dulu, ya?” Tangan Rere berusaha melepaskan rengkuhan lengan Freza di pinggangnya. Dia berlari secepatnya saat kesempatan kabur terbuka lebar. Lelaki itu terus tersenyum me
Rere membuka surat tersebut dan membacanya. Isi surat tersebut tidaklah banyak, tetapi cukup mampu membuat air matanya tidak mau berhenti.[Rere sayang,Ini adalah hadiah untuk pernikahanmu. Maaf, Ibu tidak memiliki harta untuk bisa diberikan.Satu yang pasti, Ibu akan selalu mendoakan untuk kesuksesanmu, dan agar pernikahanmu dengan Nak Freza dilimpahi kebahagiaan.Ibu tidak khawatir menyerahkanmu kepada Nak Freza, karena dia begitu baik, terhadapmu dan juga Ibu.Ibu berharap, kamu mau menggunakan hadiah dari Ibu ini. Untuk menjaga dirimu, saat mungkin Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi suatu saat nanti.Ibu sayang Rere selalu.]Dia letakkan surat itu kembali ke dalam kotak, dan mengambil selembar hijab berwarna pelangi dari dalamnya. Warna hijab itu begitu indah. Pelangi yang akan selalu menghiasi hidup Rere, meskipun ibunya sudah tidak lagi di sisinya. Rere memeluk hijab itu sambil berucap terima kasih yang begitu dalam. Meskipun ibunya tidak di sini, dia yakin bahwa sang ibu
Langkah kaki Freza berjalan cepat memasuki bandara. Seorang wanita paruh baya, dengan lipstik merah merona melengkapi penampilannya yang cantik dan elegan. Wanita yang berdiri di bagian dalam pintu masuk itu tersenyum dan menyambut kedatangannya.“Selamat datang, Tuan Muda. Mari ikuti saya.” Wanita bernama Merlyn tersebut merupakan asisten pribadi Freza.Tubuh mereka menjauh dari keramaian bandara untuk penerbangan regular. Menuju area bandara yang lebih sepi, kemudian masuk ke sebuah lounge yang hampir tidak ada orang di sana.Lounge itu dilengkapi dengan fasilitas mewah, untuk memanjakan para penumpang pesawat jet pribadi. Merlyn terus berjalan melewati sofa tunggu, meja yang menghidangkan makanan dari berbagai negara, lalu sedikit berbelok menuju sebuah pintu yang agak tersembunyi.Sidik jarinya ditekankan pada sebuah sensor di pintu untuk membuatnya terbuka. Ruangan itu lebih kecil dari lounge yang barusan mereka lewati, tetapi semua fasilitas yang ada tidak kalah mewah dan lengka
Selesai mengantarkan Fika hingga naik ke mobil jemputan sekolah, Rere kembali ke dalam dan memulai pekerjaannya.“Akhirnya anak itu mau juga disuruh siap-siap. Ayo Rere, semangat!” ujarnya menyemangati diri sendiri.Dia langsung menuju dapur. Ada tumpukan piring kotor yang sepertinya sudah ada sejak kemarin.Pandangannya beralih pada selembar kertas yang tertempel di pintu kulkas. Kata majikan perempuannya, itu catatan yang dia perlu tahu. Setelah membaca cepat, ternyata sebagian isinya tentang penggunaan peralatan otomatis.“Berarti nyuci piringnya pakai alat cuci otomatis, ya? Mmm … mana, ya?” Kepalanya celingukan mencari alat cuci piring di sekitar situ.Dibukanya sebuah pintu kotak di bawah meja, dengan kaca gelap di bagian depannya. Itu adalah oven, bukan alat cuci piring.Di sebelahnya, ada beberapa pintu-pintu lain yang dia buka satu per satu untuk memastikan isinya. Akhirnya dia bisa menemukan yang dicari.Segera saja dia masukkan semua piring yang kotor. Sesuai instruksi di c
“Assalamualaikum, Eyang.” Freza mendekati tempat tidur neneknya, lalu mencium tangan wanita tua itu.Sudah hampir enam bulan, sang nenek terbaring di ranjang karena penyakit stroke-nya. Menurut dokter, neneknya bisa segera berjalan kembali, selama rajin mengikuti terapi. Namun, dia urung karena merasa tidak diperhatikan oleh keluarganya. Rasanya lebih baik cepat diambil nyawa saja.Matanya berbinar saat melihat satu-satunya orang yang paling dia rindukan akhirnya datang.“Waalaikumussalam. Freza … sayang ….” kata Rowena.“Eyang, aku sudah lulus kuliah, lho.” Senyumnya begitu lebar saat mengabarkan berita bahagia tersebut.“Alhamdulillah. Berarti ada yang temani Eyang lagi di rumah ini.”Bagi Rowena, hanya cucunya yang paling memahami dan mengerti dirinya. Selalu bersedia mendengarkan kenangan-kenangan masa lalu yang membangkitkan gairahnya, serta mampu membuat senyum itu merekah. Senyum yang jarang lagi tampak belakangan ini. Karena semua orang di rumah besar itu lebih memilih menyib
Keringat dingin seakan mengguyur tubuh rampingnya. Ketakutan membelenggu. Bagaimana jika nanti nyonya rumahnya begitu marah? Bagaimana jika dia diusir di hari pertama bekerja? Yang paling penting, dia takut jika Fika megalami hal serius. "Sudah selesai. Anak cantik sudah bisa pulang," kata seorang dokter jaga di IGD rumah sakit. "Terima kasih, Dok," jawab Fika dengan senyum polosnya. "Berarti, kakinya Non Fika nggak pa-pa, kan, Dok? Nggak ada yang bahaya?" serobot Rere. "Nggak bahaya. Anak cantik ini terkilir, tapi sudah diobati. Kakinya sementara ini perlu diperban, jangan dilepas. Nanti saya kasih surat izin untuk tidak sekolah dulu, hingga dua hari ke depan." Sang dokter menjelaskan dengan sabar. Napas Rere begitu lega mendengar penjelasan barusan. Dia harus ekstra menjaga majikan kecilnya, merawat luka serta mengganti perbannya. Selain itu, beberapa hari ke depan, Fika tidak akan bisa bersekolah. Jadi, dia akan membantu mengejar pelajaran. Yang perlu diwaspadai sekarang ad
Keluarga besar Margada sedang menikmati sarapan di ruang makan. Rumma, Silvia, Freza, serta keluarga sepupu Rumma semuanya duduk bersama di meja makan, yang terbuat dari marmer dengan lapisan emas sebagai kerangkanya.“Freza, kamu ini pewaris satu-satunya keluarga ini. Kelakukanmu kemarin, sungguh memalukan. Pergi begitu saja di tengah acara.” Rumma tampak emosi mengingat kejadian kemarin.“Merlyn tidak bilang? Eyang manggil aku. Jadi, aku ke kamar Eyang. Tanya saja sama Eyang, kalau Ayah tidak percaya.”“Kamu berani membantah?” Suara Rumma kini meninggi.“Sudah bosan punya ayah dan ibu seperti kami?”“Ayah, sudah sudah, jangan marah dulu. Kita makan dulu, ya? Nanti kita bicarakan lagi.” Silvia bangkit untuk mendekati suaminya, meredam amarah yang mulai ditunjukkan.Wajah wanita itu kini menatap tajam kepada anaknya. “Kamu juga, Freza. Bicaralah nanti baik-baik dengan Ayah. Jangan hanya menjawab terus.”Jika Silvia sudah berbicara, tidak ada lagi yang membantah. Wanita anggun itu beg
“Siapa itu, Mbak Rere?” tanya Fika saat melihat Hesty berkeliling rumah.“Ini teman Mbak Rere, Non. Dia dikirim dari agensi pembantu yang sama kayak Mbak. Cuma hari ini, ngecek kerjaan Mbak Rere.”Fika yang mendengar itu hanya manggut-manggut mengerti. Kemudian kembali melihat televisi.Dengan cekatan, Rere mencatat, merekam, serta memerhatikan baik-baik.Banyak pertanyaan yang diajukan spontan, atau memang sudah dia catat sebelumnya, yang awalnya akan dicek melalui internet.Berbeda dengan kemarin, hari ini semua pekerjaan dapat diselesaikan sebelum sore. Bahkan, Rere mampu menemani Fika lebih banyak.“Mbak Rere, ada yang ingin ditanyakan lagi? Tinggal setengah jam lagi, jam 4 sore saya harus pulang,” kata Hesty ketika mereka berdua duduk di meja makan.Sejenak keduanya menikmati kopi yang disajikan Rere, hasil mencoba coffee maker yang ada. Tentunya setelah diajari oleh Hesty.“Nggak ada, Mbak Hesty. Alhamdulillah sudah saya catat semua. Nanti malam, mau saya rapikan di laptop, dan