“Assalamualaikum, Eyang.” Freza mendekati tempat tidur neneknya, lalu mencium tangan wanita tua itu.Sudah hampir enam bulan, sang nenek terbaring di ranjang karena penyakit stroke-nya. Menurut dokter, neneknya bisa segera berjalan kembali, selama rajin mengikuti terapi. Namun, dia urung karena merasa tidak diperhatikan oleh keluarganya. Rasanya lebih baik cepat diambil nyawa saja.Matanya berbinar saat melihat satu-satunya orang yang paling dia rindukan akhirnya datang.“Waalaikumussalam. Freza … sayang ….” kata Rowena.“Eyang, aku sudah lulus kuliah, lho.” Senyumnya begitu lebar saat mengabarkan berita bahagia tersebut.“Alhamdulillah. Berarti ada yang temani Eyang lagi di rumah ini.”Bagi Rowena, hanya cucunya yang paling memahami dan mengerti dirinya. Selalu bersedia mendengarkan kenangan-kenangan masa lalu yang membangkitkan gairahnya, serta mampu membuat senyum itu merekah. Senyum yang jarang lagi tampak belakangan ini. Karena semua orang di rumah besar itu lebih memilih menyib
Keringat dingin seakan mengguyur tubuh rampingnya. Ketakutan membelenggu. Bagaimana jika nanti nyonya rumahnya begitu marah? Bagaimana jika dia diusir di hari pertama bekerja? Yang paling penting, dia takut jika Fika megalami hal serius. "Sudah selesai. Anak cantik sudah bisa pulang," kata seorang dokter jaga di IGD rumah sakit. "Terima kasih, Dok," jawab Fika dengan senyum polosnya. "Berarti, kakinya Non Fika nggak pa-pa, kan, Dok? Nggak ada yang bahaya?" serobot Rere. "Nggak bahaya. Anak cantik ini terkilir, tapi sudah diobati. Kakinya sementara ini perlu diperban, jangan dilepas. Nanti saya kasih surat izin untuk tidak sekolah dulu, hingga dua hari ke depan." Sang dokter menjelaskan dengan sabar. Napas Rere begitu lega mendengar penjelasan barusan. Dia harus ekstra menjaga majikan kecilnya, merawat luka serta mengganti perbannya. Selain itu, beberapa hari ke depan, Fika tidak akan bisa bersekolah. Jadi, dia akan membantu mengejar pelajaran. Yang perlu diwaspadai sekarang ad
Keluarga besar Margada sedang menikmati sarapan di ruang makan. Rumma, Silvia, Freza, serta keluarga sepupu Rumma semuanya duduk bersama di meja makan, yang terbuat dari marmer dengan lapisan emas sebagai kerangkanya.“Freza, kamu ini pewaris satu-satunya keluarga ini. Kelakukanmu kemarin, sungguh memalukan. Pergi begitu saja di tengah acara.” Rumma tampak emosi mengingat kejadian kemarin.“Merlyn tidak bilang? Eyang manggil aku. Jadi, aku ke kamar Eyang. Tanya saja sama Eyang, kalau Ayah tidak percaya.”“Kamu berani membantah?” Suara Rumma kini meninggi.“Sudah bosan punya ayah dan ibu seperti kami?”“Ayah, sudah sudah, jangan marah dulu. Kita makan dulu, ya? Nanti kita bicarakan lagi.” Silvia bangkit untuk mendekati suaminya, meredam amarah yang mulai ditunjukkan.Wajah wanita itu kini menatap tajam kepada anaknya. “Kamu juga, Freza. Bicaralah nanti baik-baik dengan Ayah. Jangan hanya menjawab terus.”Jika Silvia sudah berbicara, tidak ada lagi yang membantah. Wanita anggun itu beg
“Siapa itu, Mbak Rere?” tanya Fika saat melihat Hesty berkeliling rumah.“Ini teman Mbak Rere, Non. Dia dikirim dari agensi pembantu yang sama kayak Mbak. Cuma hari ini, ngecek kerjaan Mbak Rere.”Fika yang mendengar itu hanya manggut-manggut mengerti. Kemudian kembali melihat televisi.Dengan cekatan, Rere mencatat, merekam, serta memerhatikan baik-baik.Banyak pertanyaan yang diajukan spontan, atau memang sudah dia catat sebelumnya, yang awalnya akan dicek melalui internet.Berbeda dengan kemarin, hari ini semua pekerjaan dapat diselesaikan sebelum sore. Bahkan, Rere mampu menemani Fika lebih banyak.“Mbak Rere, ada yang ingin ditanyakan lagi? Tinggal setengah jam lagi, jam 4 sore saya harus pulang,” kata Hesty ketika mereka berdua duduk di meja makan.Sejenak keduanya menikmati kopi yang disajikan Rere, hasil mencoba coffee maker yang ada. Tentunya setelah diajari oleh Hesty.“Nggak ada, Mbak Hesty. Alhamdulillah sudah saya catat semua. Nanti malam, mau saya rapikan di laptop, dan
Ruangan sejenak hening. Freza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berusaha mencari jawaban yang sesuai, tetapi tidak menemukannya. "Mmm ... kenapa, ya?" ucap Freza bingung. "Lho, kan, kamu yang minta ke Ivo. Kenapa kamu jadi bingung begitu?” timpal ayahnya. "Ayah tidak ada masalah, karena kerugiannya juga tidak seberapa. Perusahaan itu tidak berpengaruh besar kepada Big Star. Hanya saja, Ayah tetap ingin tahu, kenapa kita harus memutuskan kontrak dengan suatu perusahaan?" tanya sang ayah lagi."Dia menyebalkan di kampus." "Dia? Dia siapa?" tanya Rumma penasaran. "Anak pemilik perusahaan itu, bernama Zeega. Dia menyebalkan di kampus." Freza menjawab sambil malu-malu. Alasannya sungguh kekanak-kanakan sekali. Rumma tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun, dia tidak mempermasalahkan lebih lanjut. "Kali ini Ayah biarkan. Tapi jangan lakukan hal itu lagi saat kamu memegang perusahaan. Bekerja tidak boleh digabungkan dengan masalah pribadi. Kecuali, itu menyangkut masalah
Sudah selesai melayani majikannya sarapan, Rere pergi ke kamar untuk mengambil ponselnya. Dalam perjalanan, dia mengingat kembali kejadian semalam.Saat bingung untuk menjawab, akhirnya dia mengatakan, “Saya pernah kuliah sarjana, Bu. Tapi mungkin nasib tidak memungkinkan langsung mendapat kerja, jadi saya melamar jadi pembantu dulu. Agar segera punya penghasilan.”Sejenak berpikir, dia kembali berkata, “Semoga setelah beberapa bulan ini, saya punya kesempatan melamar pekerjaan lagi dan bisa mendapat kerja di kantoran, Bu.”Senyum mengembang di wajahnya jika mengingat itu.“Untung Bu Gina percaya semalem.”Dia terus berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya. Di atas nakas, Rere menemukan sebuah kartu yang terjatuh dari baju Bram tempo hari. Belum sempat dia serahkan ke tuannya karena lupa. Dengan tergesa-gesa, dia berlari ke bagian depan rumah untuk menghentikan Bram yang sudah masuk ke dalam mobil. "Pak Bram, Pak Bram!" teriak Rere sambil menuruni tangga di teras rumah. Mend
Rumma dan Freza masuk ke dalam sebuah ruangan rapat yang telah dipersiapkan. Seluruh petinggi dari kantor Surabaya serta Jakarta tampak hadir di sana.Beberapa level manajer, termasuk Gina pun ikut ambil bagian di acara penting itu.Setelah pembacaan beberapa laporan perkembangan perusahaan dari beberapa divisi, akhirnya masuk ke acara puncak.Rumma berdiri untuk menyampaikan secara langsung pengumuman penting bagi perusahaan.“Selamat siang semuanya. Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengumumkan sedikit perubahan pada jajaran direksi kita.” Rumma berhenti sejenak untuk mengatur napas.Seluruh pasang mata di ruangan itu masih mengawasi dan bersiap mendengarkan berita yang akan disampaikan.“Selama beberapa bulan terakhir, kursi Direktur kantor di Surabaya kosong karena kita belum menemukan kandidat yang tepat. Maka hari ini, saya sampaikan bahwa Freza yang akan mendudukinya hingga satu tahun ke depan. Atau bisa lebih lama dari itu,” lanjut Rumma.Beberapa orang terdengar bisik-bisi
Mobil sedan hitam yang dikendarai Freza baru saja memasuki area parkir cake shop tempat Rere berada.Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak sabar memberi kejutan bagi Rere.Selagi Rere ada di luar rumah majikan, maka dia tidak ingin menyiakan kesempatan. Kebetulan juga, dia tidak memiliki jadwal hari ini.Dengan ringan kakinya melangkah memasuki bagian depan cake shop, terus menuju pintu masuk. Dia tidak ikut mengantre, karena pandangannya langsung menyapu ruangan yang tidak begitu besar itu. Mencari sosok istrinya.Bibirnya mengulas senyum saat matanya menangkap sosok yang dicari. Rere sedang mengobrol di sebuah meja bundar yang berisi hanya dua kursi.“Sama siapa dia?” Freza berkata pada dirinya sendiri.Sosok lawan bicara Rere tidak terlihat jelas karena tertutup banner yang berdiri tidak jauh dari situ.Freza terus melangkah mendekat. Saat lawan bicara Rere bisa terlihat jelas, raut wajah Freza menjadi berubah seketika. Raut kebencian. Raut tidak suka.“Rere?”