“Siapa itu, Mbak Rere?” tanya Fika saat melihat Hesty berkeliling rumah.“Ini teman Mbak Rere, Non. Dia dikirim dari agensi pembantu yang sama kayak Mbak. Cuma hari ini, ngecek kerjaan Mbak Rere.”Fika yang mendengar itu hanya manggut-manggut mengerti. Kemudian kembali melihat televisi.Dengan cekatan, Rere mencatat, merekam, serta memerhatikan baik-baik.Banyak pertanyaan yang diajukan spontan, atau memang sudah dia catat sebelumnya, yang awalnya akan dicek melalui internet.Berbeda dengan kemarin, hari ini semua pekerjaan dapat diselesaikan sebelum sore. Bahkan, Rere mampu menemani Fika lebih banyak.“Mbak Rere, ada yang ingin ditanyakan lagi? Tinggal setengah jam lagi, jam 4 sore saya harus pulang,” kata Hesty ketika mereka berdua duduk di meja makan.Sejenak keduanya menikmati kopi yang disajikan Rere, hasil mencoba coffee maker yang ada. Tentunya setelah diajari oleh Hesty.“Nggak ada, Mbak Hesty. Alhamdulillah sudah saya catat semua. Nanti malam, mau saya rapikan di laptop, dan
Ruangan sejenak hening. Freza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berusaha mencari jawaban yang sesuai, tetapi tidak menemukannya. "Mmm ... kenapa, ya?" ucap Freza bingung. "Lho, kan, kamu yang minta ke Ivo. Kenapa kamu jadi bingung begitu?” timpal ayahnya. "Ayah tidak ada masalah, karena kerugiannya juga tidak seberapa. Perusahaan itu tidak berpengaruh besar kepada Big Star. Hanya saja, Ayah tetap ingin tahu, kenapa kita harus memutuskan kontrak dengan suatu perusahaan?" tanya sang ayah lagi."Dia menyebalkan di kampus." "Dia? Dia siapa?" tanya Rumma penasaran. "Anak pemilik perusahaan itu, bernama Zeega. Dia menyebalkan di kampus." Freza menjawab sambil malu-malu. Alasannya sungguh kekanak-kanakan sekali. Rumma tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun, dia tidak mempermasalahkan lebih lanjut. "Kali ini Ayah biarkan. Tapi jangan lakukan hal itu lagi saat kamu memegang perusahaan. Bekerja tidak boleh digabungkan dengan masalah pribadi. Kecuali, itu menyangkut masalah
Sudah selesai melayani majikannya sarapan, Rere pergi ke kamar untuk mengambil ponselnya. Dalam perjalanan, dia mengingat kembali kejadian semalam.Saat bingung untuk menjawab, akhirnya dia mengatakan, “Saya pernah kuliah sarjana, Bu. Tapi mungkin nasib tidak memungkinkan langsung mendapat kerja, jadi saya melamar jadi pembantu dulu. Agar segera punya penghasilan.”Sejenak berpikir, dia kembali berkata, “Semoga setelah beberapa bulan ini, saya punya kesempatan melamar pekerjaan lagi dan bisa mendapat kerja di kantoran, Bu.”Senyum mengembang di wajahnya jika mengingat itu.“Untung Bu Gina percaya semalem.”Dia terus berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya. Di atas nakas, Rere menemukan sebuah kartu yang terjatuh dari baju Bram tempo hari. Belum sempat dia serahkan ke tuannya karena lupa. Dengan tergesa-gesa, dia berlari ke bagian depan rumah untuk menghentikan Bram yang sudah masuk ke dalam mobil. "Pak Bram, Pak Bram!" teriak Rere sambil menuruni tangga di teras rumah. Mend
Rumma dan Freza masuk ke dalam sebuah ruangan rapat yang telah dipersiapkan. Seluruh petinggi dari kantor Surabaya serta Jakarta tampak hadir di sana.Beberapa level manajer, termasuk Gina pun ikut ambil bagian di acara penting itu.Setelah pembacaan beberapa laporan perkembangan perusahaan dari beberapa divisi, akhirnya masuk ke acara puncak.Rumma berdiri untuk menyampaikan secara langsung pengumuman penting bagi perusahaan.“Selamat siang semuanya. Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengumumkan sedikit perubahan pada jajaran direksi kita.” Rumma berhenti sejenak untuk mengatur napas.Seluruh pasang mata di ruangan itu masih mengawasi dan bersiap mendengarkan berita yang akan disampaikan.“Selama beberapa bulan terakhir, kursi Direktur kantor di Surabaya kosong karena kita belum menemukan kandidat yang tepat. Maka hari ini, saya sampaikan bahwa Freza yang akan mendudukinya hingga satu tahun ke depan. Atau bisa lebih lama dari itu,” lanjut Rumma.Beberapa orang terdengar bisik-bisi
Mobil sedan hitam yang dikendarai Freza baru saja memasuki area parkir cake shop tempat Rere berada.Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak sabar memberi kejutan bagi Rere.Selagi Rere ada di luar rumah majikan, maka dia tidak ingin menyiakan kesempatan. Kebetulan juga, dia tidak memiliki jadwal hari ini.Dengan ringan kakinya melangkah memasuki bagian depan cake shop, terus menuju pintu masuk. Dia tidak ikut mengantre, karena pandangannya langsung menyapu ruangan yang tidak begitu besar itu. Mencari sosok istrinya.Bibirnya mengulas senyum saat matanya menangkap sosok yang dicari. Rere sedang mengobrol di sebuah meja bundar yang berisi hanya dua kursi.“Sama siapa dia?” Freza berkata pada dirinya sendiri.Sosok lawan bicara Rere tidak terlihat jelas karena tertutup banner yang berdiri tidak jauh dari situ.Freza terus melangkah mendekat. Saat lawan bicara Rere bisa terlihat jelas, raut wajah Freza menjadi berubah seketika. Raut kebencian. Raut tidak suka.“Rere?”
Rumma dan Silvia baru saja selesai menyantap makan malam di restaurant hotel tempat mereka menginap.Sejak tadi, wajah Silvia tampak tidak bersemangat. Langkahnya pun terlihat begitu lambat saat menyusuri lorong menuju kamar.“Kamu kenapa, Bu?” Rumma bertanya penasaran.“Nggak papa, Yah.“Gimana tadi di rumah keluarga Gautama?” tanya Rumma lagi.Silvia hanya menjawab untuk membicarakanny di kamar. Suaminya hanya menurut, tidak lagi bertanya lebih jauh.Rumma menyentuh tangan Silvia dan tersenyum. Memberi dukungan bagi istrinya.Sesampainya di kamar, barulah Silvia menceritakan yang terjadi tadi siang. Memori itu muncul kembali.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian.” Silvia memulai berkata kepada Kevin dan keluarganya siang tadi.“Saya mewakili keluarga Margada ingin meminta maaf. Kami sudah mengambil keputusan yang bahkan belum didiskusikan dengan Freza dan Sesil sebelumnya.”Silvia menyapukan pandangan ke Sesil, Kevin, dan Azra.“Setelah kami berpikir ulang, alangkah baiknya
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Rere yang masih belum tahu tujuan mereka.“Kejutan, dong.”“Haish, pake kejutan segala,” gumam Rere.“Kamu mau makan malem dulu, atau langsung ke tempat kejutan?”“Langsung saja. Kita, kan, sudah janjian makan malam sendiri di tempat masing-masing. Soalnya aku baru bisa keluar sehabis Isya. Biar peyutnya ndak laper ….” Rere mengelus perut Freza, menggoda.Roda mobil memasuki area parkir sebuah hotel bintang lima di Surabaya.Hotel yang berbeda dari hotel saat malam pertama mereka sebagai suami istri.Setelah mengambil kunci di resepsionis hotel, Freza menggandeng tangan Rere untuk menuju ke kamar mereka.Tangan keduanya begitu dingin. Perasaan senang, bercampur deg-degan, semuanya berbaur menjadi satu.Tiba di depan kamar, Freza meminta Rere menutup matanya. Kedua tangan Freza pun digunakan untuk menutupi pandangan Rere.“Sudah aku buka pintunya. Kamu jalan saja terus. Jangan ngintip.”“Iya ….” Rere menurut saja perintah suaminya.Tidak berhenti di dalam
Freza hanya berdiam diri sambil berbaring di samping Rere. Tubuhnya dimiringkan untuk memandangi istrinya.Tiap tingkah istrinya yang begitu gugup, mampu membuatnya senyum-senyum sendiri.“Kamu bisa napas di bantal kayak gitu? Nggak ngap-ngapan?”Kegugupannya membuat Rere tetap bergeming. Tidak merespon.Begitu yakin istrinya akan berbalik badan, Freza menghitung hingga sepuluh di dalam hati.Sembilan …Sepuluh …Dan …“Huah! Hah … hah ….” Rere membalik badan dan mengatur napasnya.“Hahaha.” Begitu senang Freza melihat Rere seperti itu.“Tuh, kan … dibilangin nanti nggak bisa napas. Ngapain sih tengkurep gitu?”Rere menarik selimutnya lalu memandang kesal kepada suaminya.“Nggak usah sok perhatian. Ini baju apaan, sih? Kecil banget!" gerutu Rere.“Oh, ya? Padahal tadi aku beli ukuran jumbo. Jangan-jangan salah masukin tuh penjualnya. Sini aku liat?” Freza berusaha membuka selimut Rere.Kelakuan suaminya membuat Rere memukul tangan Freza seketika.“Heh, mau cari kesempatan, ya? Nggak u