“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Rere yang masih belum tahu tujuan mereka.“Kejutan, dong.”“Haish, pake kejutan segala,” gumam Rere.“Kamu mau makan malem dulu, atau langsung ke tempat kejutan?”“Langsung saja. Kita, kan, sudah janjian makan malam sendiri di tempat masing-masing. Soalnya aku baru bisa keluar sehabis Isya. Biar peyutnya ndak laper ….” Rere mengelus perut Freza, menggoda.Roda mobil memasuki area parkir sebuah hotel bintang lima di Surabaya.Hotel yang berbeda dari hotel saat malam pertama mereka sebagai suami istri.Setelah mengambil kunci di resepsionis hotel, Freza menggandeng tangan Rere untuk menuju ke kamar mereka.Tangan keduanya begitu dingin. Perasaan senang, bercampur deg-degan, semuanya berbaur menjadi satu.Tiba di depan kamar, Freza meminta Rere menutup matanya. Kedua tangan Freza pun digunakan untuk menutupi pandangan Rere.“Sudah aku buka pintunya. Kamu jalan saja terus. Jangan ngintip.”“Iya ….” Rere menurut saja perintah suaminya.Tidak berhenti di dalam
Freza hanya berdiam diri sambil berbaring di samping Rere. Tubuhnya dimiringkan untuk memandangi istrinya.Tiap tingkah istrinya yang begitu gugup, mampu membuatnya senyum-senyum sendiri.“Kamu bisa napas di bantal kayak gitu? Nggak ngap-ngapan?”Kegugupannya membuat Rere tetap bergeming. Tidak merespon.Begitu yakin istrinya akan berbalik badan, Freza menghitung hingga sepuluh di dalam hati.Sembilan …Sepuluh …Dan …“Huah! Hah … hah ….” Rere membalik badan dan mengatur napasnya.“Hahaha.” Begitu senang Freza melihat Rere seperti itu.“Tuh, kan … dibilangin nanti nggak bisa napas. Ngapain sih tengkurep gitu?”Rere menarik selimutnya lalu memandang kesal kepada suaminya.“Nggak usah sok perhatian. Ini baju apaan, sih? Kecil banget!" gerutu Rere.“Oh, ya? Padahal tadi aku beli ukuran jumbo. Jangan-jangan salah masukin tuh penjualnya. Sini aku liat?” Freza berusaha membuka selimut Rere.Kelakuan suaminya membuat Rere memukul tangan Freza seketika.“Heh, mau cari kesempatan, ya? Nggak u
Melihat hasil pekerjaannya yang tidak mengecewakan, Merlyn merasa puas.Usainya pertunjukkan kembang api menjadi pertanda bahwa sudah waktunya pulang.[Tugas saya selesai, Tuan Muda.][Saya ijin pulang.]Selesai mengirim pesan singkat ke Freza, wanita itu meninggalkan area parkir hotel dengan mobil merahnya.Menikmati kesendiriannya yang tak pernah usai.Kesendirian yang sudah menjadi teman, serta kebahagiaan tersendiri baginya selama ini.“Siapa wanita yang bisa meluluhkan hatinya? Pasti dia wanita yang istimewa,” gumam Merlyn.Dia membayangkan bagaimana Tuan Mudanya merancang malam ini, dan harus sempurna.***"Sesil, beberapa hari ini kamu keliatan nggak semangat gitu?" tanya Kevin cemas. "Sayang, kamu makan, ya? Kalau nggak mau makan, setidaknya diminum susunya." Azra ikut menimpali di tengah sarapan mereka. Kali ini Sesil menuruti saran ibunya. Susu putih yang disajikan di hadapannya, dia habiskan tanpa sisa. "Aku ke kamar dulu." Azra dan Kevin hanya mampu mengawasi saat tubu
Suasana di ruang rapat begitu mencekam. Sudah dua ide yang dipresentasikan di depan, tetapi keduanya mendapat kritik pedas dari Freza.“Kalau yang terakhir ini juga tidak bagus. Jangan harap kalian pulang malam ini,” ujar Freza.Kali ini giliran Gina melakukan presentasi mewakili timnya.Wajah Direktur begitu datar, masih belum terlihat tanda-tanda dia tertarik dengan bahan presentasi.Sedang fokus mendengar presentasi, terasa getaran dari kantung kemejanya. Berasal dari ponselnya.Freza mengambil ponsel itu dan membaca pesan yang masuk. Ternyata itu adalah sebuah foto disertai tulisan di bawahnya.[Foto Rere mencium bunga yang dikirim oleh Freza.][Thank you, Mas. Semoga nggak lembur, ya? Aku mau telepon.]Pesan itu seakan bantuan dari semesta untuk para karyawan di dalam ruang meeting.Senyum yang baru saja terlihat di wajah Freza, layaknya pelangi, pertanda badai berakhir.Saat presentasi Gina berakhir, semua wajah kembali menatap Freza, menanti kritik dan saran.“Saya mau benefitn
Sebuah mobil merah memasuki area parkir di Cake Shop Pujangga.Wanita dengan setelan celana serta blazer berwarna kuning keluar dari mobil. Langkahnya yang anggun melenggang menuju ke dalam toko kue.“Selamat datang.” Beberapa karyawan berkata serempak saat ada pelanggan yang datang.Siang itu, toko masih tampak sepi. Kebetulan, hanya Merlyn sendiri sebagai pelanggan.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Zeega yang sedang ikut berjaga.“Saya ingin memesan semua cheese cake yang dijual di sini. Ada berapa jumlah ready stocknya?”“Wah, ada acara ya, Nona? Mmm … berdasarkan system, kami punya sekitar 30 cup saja yang ready sekarang. Dengan berbagai macam topping.”“Ok. Saya ambil semua. Creme brulee, ada berapa stock?”“Tidak banyak, hanya ada 20 cup,” jawab Zeega singkat.“Saya ambil semua juga. Tolong pisahkan ya antara cheese cake dan creme bruleenya. Punya kartu ucapan?”“Ada. Mau dituliskan sekalian?”“Tidak usah, saya tulis sendiri. Sudah itu saja. Berapa semuanya?”Transkasi jual bel
“Oh, I see. Aku pikir Mas Freza sama Rere. Baguslah,” ucap Freza dengan senyum mengembang.“Apaan, sih? Enggak, enggak.” Akhirnya Freza bisa melepas paksa genggaman tangan Sesil.“Nggak usah ngarang, deh.” Mata Freza melotot menatap Sesil.“Freza, kok, gitu sih? Freza ngajak Sesil keluar karena mau ngomongin tunangan kita, kan?” rajuk Sesil.“Diam!” Kali ini Freza emosi dan berteriak ke Sesil.“Dan kamu, Zeega, jangan coba-coba mendekati Rere,” tegas Freza dengan menunjuk wajah Zeega.Dengan begitu kesal, Freza keluar dari toko tanpa menunggu Sesil.Dibukanya pintu mobil, lalu segera masuk ke dalam. Perasaannya sudah tidak karuan. Moodnya sudah rusak seketika.Tanpa mengambil pesanannya, Sesil berlari menyusul Freza keluar toko dengan air mata berurai.Beruntung mobil sedan hitam yang tadi dia naiki masih di sana, tidak meninggalkan dirinya. Dia menyusul masuk ke dalam mobil.“Fre, kamu kenapa, sih? Kenapa teriak sama Sesil?” Suaranya sedikit terbata-bata karena menangis.“Pakai seatb
“Mas, kamu tadi ketus banget sama Mba Rere. Jangan gitu, ah.” Gina memulai obrolan di kamar, setelah selesai bersih-bersih diri.“Ketus gimana? Aku bilang kayak gitu biar dia nggak sembarangan sering keluar. Apalagi malam-malam begini. Kalau ada masalah, kita juga yang kena.” Pandangan Bram tetap menghadap ponsel di tangannya.“Iya, sih. Tapi bisa ngomong baik-baik. Nggak usah ketus, maksudku.” Kalimat Gina tidak ditanggapi lagi oleh Bram.Karena lelah, Gina menunda makan malamnya. Dia berbaring di sebelah suaminya.Teringat bagaimana pembantunya membantu menyelesaikan tugasnya, dia menceritakannya ke Bram. Meskipun Bram sepertinya tidak antusias mendengarnya.“Kebetulan saja, mungkin. Atau pekerjaanmu yang memang terlalu gampang, jadi pembantu juga bisa ngerjain,” ujar Bram dengan malas.Mendengar itu, Gina hanya mengedikkan bahu, malas berdebat. Tidak penting.Akhir-akhir ini, karena kesibukan di kantor, keduanya jarang ngobrol berlama-lama. Kali ini Gina ingin bercerita keluh-kesah
Zeega mengangkat tubuh Rere untuk bisa berdiri dari trotoar.Isakan Rere belum berhenti hingga tubuhnya dibawa masuk ke dalam mobil Zeega. Hijabnya basah karena air mata. Tangannya gemetar, tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tangan Zeega menyentuh pundak Rere.“Re?”“Hah?!” kaget dengan sentuhan Zeega, tubuh Rere bergerak menjauh.“Maaf, maaf. Kamu mau diantar pulang ke mana?”“Oh, maaf. Aku kaget. Jalan saja dulu Zee, nanti aku tunjukkan jalannya.”City car Zeega mulai melaju di jalanan. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka tiba di depan rumah yang ditunjukkan oleh Rere.“Sudah, Zee, aku turun di sini.”“Lho, kamu tinggal di sini?”“Iya.”“Bukannya yang punya rumah ini namanya Bram?” tanya Zeega lagi.“Iya. Aku kerja di rumah ini. Sudah ya, aku harus masuk. Sudah malam. Sekali lagi, terima kasih banyak, ya?” Rere turun dari mobil dan segera menuju gerbang rumah.Walaupun sudah malam, untungnya Pak Mamat belum tidur, sehingga tidak sulit memintanya membuka pagar.“Mbak Rere? Kata
- Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu
“Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D
Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya
Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny
“Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb
Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan
“Sepertinya tamu asing itu belum datang?” tanya Ivo kepada Freza yang duduk di sebelahnya.“Menunggu tamu asing itu sepertinya.”Ivo menoleh ke kiri dan kanan seakan mencari seseorang. “Aku juga belum melihat orang tuamu.”“Mungkin mereka belum selesai bersiap.” Freza mengambil gelasnya dengan santai, lau meminumnya.Acara malam ini tidak dipadati banyak tamu, tetapi terasa begitu indah dan dipersiapkan dengan sangat baik. Banyak bunga segar tersebar di dalam ruangan.Beberapa orang berdiri di dekat meja kudapan untuk memakan makanan-makanan kecil sambil menunggu acara utama dimulai.“Kamu tahu, saat kita memenangkan proyek kemarin itu, terlihat Kevin sangat tidak senang.” Ivo tertawa sambil menatap Freza.“Aku tahu.”“Aku penasaran. Bagaimana bisa proposal bisnis kita sedikit berbeda dari yang terakhir kita sepakati di rapat?” tanya Ivo lebih serius kali ini.“Ah, itu. Saat malam aku memgeceknya lagi, terasa ada yang kurang. Jadi aku meminta Gina untuk menambahkan atau menghapus yang
Rowena beberapa kali mendengkus karena Rere tidak kunjung datang. Wanita tua itu menanti kedatangan Rere, tidak seperti biasanya.Semakin sering dia ditinggal Rere untuk pekerjaan lain, semakin dia merindukan perawatnya itu.“Ternyata semakin Rere sering tidak ada, semakin terasa bahwa dia yang paling bisa merawatku.” Mata Rowena memandang keluar jendela sembari tubuhnya duduk di atas kursi roda.Nenek Freza sudah terlihat segar setelah tidur sebentar tadi, setelah acara penyambutan tamu asing. Lalu seorang perawat lain membantunya untuk bebenah diri setelah terbangun.Sejak terakhir acara tadi, dia belum melihat Rere. “Mungkin dia masih menegerjakan persiapan untuk makan malam nanti. Yasudah lah.”Bahkan hingga bersiap-siap untuk makan malam pun, Rowena dibantu oleh seorang penata gaya, dari rambut hingga pakaian.Rere belum terlihat masuk ke dalam kamar, padahal dia pun seharusnya sudah mulai bersiap.***Pintu terbuka dari luar, saat seorang wanita memasuki kamar hotel. Wajahnya be
Lutut Rere gemetar, dan dadanya sesak. Takdir selalu menempatkannya di posisi sulit akhir-akhir ini. Terutama yang berkaitan dengan suaminya.Tidak perlu waktu lama, Freza sudah memutar wajahnya untuk memandang Rere. Wajahnya terpaku saat melihat dandanan istrinya yang tidak biasa. Sungguh anggun dan cantik, walau belum menaburkan make-up di wajah.Merasa tidak dihiraukan, Rowena menarik pipi Freza untuk kembali memandangnya. Belum sempat sang nenek mengeluarkan suara, wajah Freza kembali memandang Rere secara otomatis.“Freza! Kenapa kamu tidak menghiraukan eyang?” Kini kedua lengan Rowena dilipat di depan dadanya.“Ah, eyang. Maaf maaf. Aku seperti tersihir barusan.” Freza memalingkan wajahnya sambil tertawa dan kini memandangi sang nenek.“Mbak Rere cantik sekali. Gaunnya juga indah,” puji Sesil.“Sudah-sudah, tidak perlu hiraukan dia. Kalian ke sini mau mengobrol dengan eyang, kan?” Lagi-lagi Rowena merajuk. Dengan otomatis Freza dan Sesil kembali berfokus pada sang nenek.Melihat