“Mas, kamu tadi ketus banget sama Mba Rere. Jangan gitu, ah.” Gina memulai obrolan di kamar, setelah selesai bersih-bersih diri.“Ketus gimana? Aku bilang kayak gitu biar dia nggak sembarangan sering keluar. Apalagi malam-malam begini. Kalau ada masalah, kita juga yang kena.” Pandangan Bram tetap menghadap ponsel di tangannya.“Iya, sih. Tapi bisa ngomong baik-baik. Nggak usah ketus, maksudku.” Kalimat Gina tidak ditanggapi lagi oleh Bram.Karena lelah, Gina menunda makan malamnya. Dia berbaring di sebelah suaminya.Teringat bagaimana pembantunya membantu menyelesaikan tugasnya, dia menceritakannya ke Bram. Meskipun Bram sepertinya tidak antusias mendengarnya.“Kebetulan saja, mungkin. Atau pekerjaanmu yang memang terlalu gampang, jadi pembantu juga bisa ngerjain,” ujar Bram dengan malas.Mendengar itu, Gina hanya mengedikkan bahu, malas berdebat. Tidak penting.Akhir-akhir ini, karena kesibukan di kantor, keduanya jarang ngobrol berlama-lama. Kali ini Gina ingin bercerita keluh-kesah
Zeega mengangkat tubuh Rere untuk bisa berdiri dari trotoar.Isakan Rere belum berhenti hingga tubuhnya dibawa masuk ke dalam mobil Zeega. Hijabnya basah karena air mata. Tangannya gemetar, tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tangan Zeega menyentuh pundak Rere.“Re?”“Hah?!” kaget dengan sentuhan Zeega, tubuh Rere bergerak menjauh.“Maaf, maaf. Kamu mau diantar pulang ke mana?”“Oh, maaf. Aku kaget. Jalan saja dulu Zee, nanti aku tunjukkan jalannya.”City car Zeega mulai melaju di jalanan. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka tiba di depan rumah yang ditunjukkan oleh Rere.“Sudah, Zee, aku turun di sini.”“Lho, kamu tinggal di sini?”“Iya.”“Bukannya yang punya rumah ini namanya Bram?” tanya Zeega lagi.“Iya. Aku kerja di rumah ini. Sudah ya, aku harus masuk. Sudah malam. Sekali lagi, terima kasih banyak, ya?” Rere turun dari mobil dan segera menuju gerbang rumah.Walaupun sudah malam, untungnya Pak Mamat belum tidur, sehingga tidak sulit memintanya membuka pagar.“Mbak Rere? Kata
Waktu seakan berjalan lambat. Rumma dan Silvia belum bereaksi. Masih mencoba mencerna ucapan Freza.“Freza, jangan bercanda! Pernikahan itu hal serius.” Rumma masih berusaha menjaga emosi.“Tidak, aku tidak bercanda. Aku serius.”“Freza!” Kali ini Rumma berteriak. Tidak mampu lagi menyembunyikan emosi serta rasa kecewanya.“Apakah kamu ini sudah tidak menganggap kami orang tua? Atau kamu anggap kami sudah mati? Bagaimana mungkin kami tidak tau saat anak kami menikah?” Tubuh Rumma bangkit dari duduknya.Perasaannya tidak menentu kini. Kakinya bergerak ke sana kemari di dalam ruang kerja. Tangan Rumma memegangi keningnya.Freza hanya diam. Menahan diri agar tidak bertengkar dengan ayahnya.Tidak mampu menahan air yang menggenang di matanya, Silvia mulai terisak.Dia mendekati anak semata wayangnya itu. Tangannya membelai lembut tangan Freza.“Dear, apa kamu yakin dengan yang kamu katakan barusan? Kamu tidak bohong?”“Tidak, Bu. Aku yakin dengan yang aku katakan.”“Kenapa, Nak? Kenapa ka
Setelah salat subuh, Freza berniat untuk tidur, tetapi matanya tetap tidak mau dipejamkan.Padahal, kejadian semalam begitu menguras emosi dan energinya. Namun, tubuhnya tidak mau diajak istirahat, walaupun sejenak.Sambil tetap membaringkan diri di atas kasurnya, pikirannya kembali mengingat kejadian yang baru saja terjadi.Semua berputar di otaknya layaknya kilatan pita film yang terus berganti-ganti gambarnya.“Ah, Rere. Aku lupa. Bagaimana kondisinya?” Dia menegakkan tubuh tiba-tiba, saat teringat wajah istrinya yang terjatuh di trotoar tadi malam.Segera dia turun dari kasur, mencari ponselnya di pakaian kotornya di tempat baju kotor. Tidak ada.Kemudian dia berlari keluar, mencari di ruangan kerja ayahnya, terus menelusuri hingga kembali ke teras rumah. Tetap tidak ada.Bagaimana mungkin ponselnya tidak bisa ditemukan di mana pun?Pasti ponselnya terjatuh saat kejadian tarik-menarik semalam, di pinggir jalan.Bagaimana cara dia menghubungi Rere?Merasa begitu bo*oh karena tidak
“Mau kopi, Zee?” tanya Rere kepada Zeega yang sudah duduk kembali di salah satu kursi makan.“Boleh.”Rere segera berkutat dengan alat pembuat kopi, untuk membuatkan secangkir kopi untuk tamunya.Untuk menghambat waktu, dia bekerja pelan-pelan. Sebenarnya tidak ada masalah jika Zeega tahu dia bekerja sebagai pembantu.Namun, alasan di belakang itu, serta keterkaitan Freza dengannya, pasti menjadi tanda tanya tersendiri bagi Zeega.Tidak mungkin temannya itu hanya akan bertanya kabarnya saja. Pastilah sudah begitu banyak pertanyaan yang akan dilontarkan Zeega kepadanya.“Di rumah sepi, ya?” Zeega mencoba memecah keheningan.“Iya. Pak Bram dan Bu Gina sering pulang malam. Kalau Mbak Fika, sebentar lagi juga pulang.”Jawaban itu menutup obrolan mereka sementara waktu. Hening kembali menyeruak di ruangan dapur.“Silakan, Zee.”Kopi sudah selesai dibuat, kemudian disodorkan kepada Zeega. Rere pun bergabung bersama temannya di meja makan.“Thanks,” ujar Zeega singkat.Terlihat uap panas men
Langkah-langkah kaki bergerak cepat dari lobby menuju lift. Mereka bergerak ke lantai atas, menuju sebuah ruang rapat.“Bagaimana bisa mereka yang mendapat proyek ini?” Ivo berdecak heran sambil berpangku dagu di salah satu kursi di dalam ruang rapat.Selama Freza tidak bisa hadir ke kantor, Ivo kembali diminta untuk menduduki kursi Direktur di kantor di Surabaya.Beberapa karyawan lain, termasuk Gina, ikut duduk mengitari meja. Wajah mereka terlihat pucat. Masih tidak percaya dengan hasil yang barusan mereka tahu. Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara.Tidak lama, Rumma muncul dari luar, dan segera duduk di sebuah kursi di ujung meja.“Bagaimana hasilnya?” tanya Rumma langsung saja.Pandangannya menyapu seluruh orang yang ada di ruangan itu.“Maaf, Rumma. Kita tidak bisa mendapatkan proyek perumahan rakyat itu.”“Siapa yang mendapatkan proyeknya?”“Amerta Group.”“Apakah idenya lebih baik dari kita? Yang aku tahu, ide kita sudah sangat memberi banyak benefit bagi masyarak
Ruangan mereka berbicara kini berganti. Silvia menarik keduanya untuk menuju tempat lain, menjauh dari area ruang intensif.“Kalian ini terus saja berdebat. Kita ini sedang di rumah sakit. Tolong, mengertilah. Eyang sedang sakit.” Silvia tidak mampu menahan gelombang tangisannya.“Aku tidak berdebat, Ibu. Ayah saja yang tiba-tiba datang sambil membicarakan pekerjaan. Bukannya bertanya bagaimana kabar Eyang.” Freza memegangi ibunya yang terus terisak.“Aku ke sini juga untuk melihat Eyang, bukan untuk berdebat. Tapi, hasil kerjamu yang belum lama ini, sangat mengejutkan.” Rumma juga ikut berargumen membela dirinya.“Sudah, sudah. Berhenti! Kalian keluar dari rumah sakit, jika masih berdebat.” Suara Silvia bergetar saat mengatakannya.“Iya, Bu. Sudah, jangan menangis lagi. Ibu pulang saja dengan Ayah. Aku akan kembali menemani Eyang.”Awalnya ide itu tidak ditanggapi oleh Silvia. Namun, melihat pertengkaran barusan, sebaiknya dia menurut.Menjauhkan Rumma dan Freza sementara waktu seper
Pertanyaan yang masuk ke telinga Rere barusan membuat syok.“Maksudnya? Siapa yang jalan sama Zeega?” bantah Rere.“Tunggu, Mas, aku bisa jelaskan.” Zeega ikut angkat bicara.Namun, belum sempat Zeega menjelaskan, Freza sudah menarik Rere ke sisinya dan memberikan tatapan tajam ke rival di hadapannya.“Aduh, Mas, sakit.” Rere meringis kesakitan.“Mas, kasian Rere. Lepaskan!” Tubuh Zeega mendekat, tetapi langsung dihalangi oleh Freza.Merasa kasihan dengan istrinya, Freza pun melonggarkan pegangannya, tetapi tidak melepaskan tangannya dari Rere.“Kamu jangan ikut campur. Kenapa, sih, kamu itu selalu saja mendekati Rere? Selalu muncul di mana-mana.”“Aku tidak ikut campur. Dan kebetulan saja aku bertemu Rere, bukan mengejar-ngejar dia. Jangan salah paham,” ujar Zeega membela diri.Terlihat ada keributan di bagian dalam supermarket, seorang satpam mendekati mereka.“Sudah, sudah. Itu ada Satpam ke sini. Kecilkan suara kalian,” pinta Rere.Namun, meskipun mereka meredam suara, Satpam itu