Zeega mengangkat tubuh Rere untuk bisa berdiri dari trotoar.Isakan Rere belum berhenti hingga tubuhnya dibawa masuk ke dalam mobil Zeega. Hijabnya basah karena air mata. Tangannya gemetar, tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tangan Zeega menyentuh pundak Rere.“Re?”“Hah?!” kaget dengan sentuhan Zeega, tubuh Rere bergerak menjauh.“Maaf, maaf. Kamu mau diantar pulang ke mana?”“Oh, maaf. Aku kaget. Jalan saja dulu Zee, nanti aku tunjukkan jalannya.”City car Zeega mulai melaju di jalanan. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka tiba di depan rumah yang ditunjukkan oleh Rere.“Sudah, Zee, aku turun di sini.”“Lho, kamu tinggal di sini?”“Iya.”“Bukannya yang punya rumah ini namanya Bram?” tanya Zeega lagi.“Iya. Aku kerja di rumah ini. Sudah ya, aku harus masuk. Sudah malam. Sekali lagi, terima kasih banyak, ya?” Rere turun dari mobil dan segera menuju gerbang rumah.Walaupun sudah malam, untungnya Pak Mamat belum tidur, sehingga tidak sulit memintanya membuka pagar.“Mbak Rere? Kata
Waktu seakan berjalan lambat. Rumma dan Silvia belum bereaksi. Masih mencoba mencerna ucapan Freza.“Freza, jangan bercanda! Pernikahan itu hal serius.” Rumma masih berusaha menjaga emosi.“Tidak, aku tidak bercanda. Aku serius.”“Freza!” Kali ini Rumma berteriak. Tidak mampu lagi menyembunyikan emosi serta rasa kecewanya.“Apakah kamu ini sudah tidak menganggap kami orang tua? Atau kamu anggap kami sudah mati? Bagaimana mungkin kami tidak tau saat anak kami menikah?” Tubuh Rumma bangkit dari duduknya.Perasaannya tidak menentu kini. Kakinya bergerak ke sana kemari di dalam ruang kerja. Tangan Rumma memegangi keningnya.Freza hanya diam. Menahan diri agar tidak bertengkar dengan ayahnya.Tidak mampu menahan air yang menggenang di matanya, Silvia mulai terisak.Dia mendekati anak semata wayangnya itu. Tangannya membelai lembut tangan Freza.“Dear, apa kamu yakin dengan yang kamu katakan barusan? Kamu tidak bohong?”“Tidak, Bu. Aku yakin dengan yang aku katakan.”“Kenapa, Nak? Kenapa ka
Setelah salat subuh, Freza berniat untuk tidur, tetapi matanya tetap tidak mau dipejamkan.Padahal, kejadian semalam begitu menguras emosi dan energinya. Namun, tubuhnya tidak mau diajak istirahat, walaupun sejenak.Sambil tetap membaringkan diri di atas kasurnya, pikirannya kembali mengingat kejadian yang baru saja terjadi.Semua berputar di otaknya layaknya kilatan pita film yang terus berganti-ganti gambarnya.“Ah, Rere. Aku lupa. Bagaimana kondisinya?” Dia menegakkan tubuh tiba-tiba, saat teringat wajah istrinya yang terjatuh di trotoar tadi malam.Segera dia turun dari kasur, mencari ponselnya di pakaian kotornya di tempat baju kotor. Tidak ada.Kemudian dia berlari keluar, mencari di ruangan kerja ayahnya, terus menelusuri hingga kembali ke teras rumah. Tetap tidak ada.Bagaimana mungkin ponselnya tidak bisa ditemukan di mana pun?Pasti ponselnya terjatuh saat kejadian tarik-menarik semalam, di pinggir jalan.Bagaimana cara dia menghubungi Rere?Merasa begitu bo*oh karena tidak
“Mau kopi, Zee?” tanya Rere kepada Zeega yang sudah duduk kembali di salah satu kursi makan.“Boleh.”Rere segera berkutat dengan alat pembuat kopi, untuk membuatkan secangkir kopi untuk tamunya.Untuk menghambat waktu, dia bekerja pelan-pelan. Sebenarnya tidak ada masalah jika Zeega tahu dia bekerja sebagai pembantu.Namun, alasan di belakang itu, serta keterkaitan Freza dengannya, pasti menjadi tanda tanya tersendiri bagi Zeega.Tidak mungkin temannya itu hanya akan bertanya kabarnya saja. Pastilah sudah begitu banyak pertanyaan yang akan dilontarkan Zeega kepadanya.“Di rumah sepi, ya?” Zeega mencoba memecah keheningan.“Iya. Pak Bram dan Bu Gina sering pulang malam. Kalau Mbak Fika, sebentar lagi juga pulang.”Jawaban itu menutup obrolan mereka sementara waktu. Hening kembali menyeruak di ruangan dapur.“Silakan, Zee.”Kopi sudah selesai dibuat, kemudian disodorkan kepada Zeega. Rere pun bergabung bersama temannya di meja makan.“Thanks,” ujar Zeega singkat.Terlihat uap panas men
Langkah-langkah kaki bergerak cepat dari lobby menuju lift. Mereka bergerak ke lantai atas, menuju sebuah ruang rapat.“Bagaimana bisa mereka yang mendapat proyek ini?” Ivo berdecak heran sambil berpangku dagu di salah satu kursi di dalam ruang rapat.Selama Freza tidak bisa hadir ke kantor, Ivo kembali diminta untuk menduduki kursi Direktur di kantor di Surabaya.Beberapa karyawan lain, termasuk Gina, ikut duduk mengitari meja. Wajah mereka terlihat pucat. Masih tidak percaya dengan hasil yang barusan mereka tahu. Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara.Tidak lama, Rumma muncul dari luar, dan segera duduk di sebuah kursi di ujung meja.“Bagaimana hasilnya?” tanya Rumma langsung saja.Pandangannya menyapu seluruh orang yang ada di ruangan itu.“Maaf, Rumma. Kita tidak bisa mendapatkan proyek perumahan rakyat itu.”“Siapa yang mendapatkan proyeknya?”“Amerta Group.”“Apakah idenya lebih baik dari kita? Yang aku tahu, ide kita sudah sangat memberi banyak benefit bagi masyarak
Ruangan mereka berbicara kini berganti. Silvia menarik keduanya untuk menuju tempat lain, menjauh dari area ruang intensif.“Kalian ini terus saja berdebat. Kita ini sedang di rumah sakit. Tolong, mengertilah. Eyang sedang sakit.” Silvia tidak mampu menahan gelombang tangisannya.“Aku tidak berdebat, Ibu. Ayah saja yang tiba-tiba datang sambil membicarakan pekerjaan. Bukannya bertanya bagaimana kabar Eyang.” Freza memegangi ibunya yang terus terisak.“Aku ke sini juga untuk melihat Eyang, bukan untuk berdebat. Tapi, hasil kerjamu yang belum lama ini, sangat mengejutkan.” Rumma juga ikut berargumen membela dirinya.“Sudah, sudah. Berhenti! Kalian keluar dari rumah sakit, jika masih berdebat.” Suara Silvia bergetar saat mengatakannya.“Iya, Bu. Sudah, jangan menangis lagi. Ibu pulang saja dengan Ayah. Aku akan kembali menemani Eyang.”Awalnya ide itu tidak ditanggapi oleh Silvia. Namun, melihat pertengkaran barusan, sebaiknya dia menurut.Menjauhkan Rumma dan Freza sementara waktu seper
Pertanyaan yang masuk ke telinga Rere barusan membuat syok.“Maksudnya? Siapa yang jalan sama Zeega?” bantah Rere.“Tunggu, Mas, aku bisa jelaskan.” Zeega ikut angkat bicara.Namun, belum sempat Zeega menjelaskan, Freza sudah menarik Rere ke sisinya dan memberikan tatapan tajam ke rival di hadapannya.“Aduh, Mas, sakit.” Rere meringis kesakitan.“Mas, kasian Rere. Lepaskan!” Tubuh Zeega mendekat, tetapi langsung dihalangi oleh Freza.Merasa kasihan dengan istrinya, Freza pun melonggarkan pegangannya, tetapi tidak melepaskan tangannya dari Rere.“Kamu jangan ikut campur. Kenapa, sih, kamu itu selalu saja mendekati Rere? Selalu muncul di mana-mana.”“Aku tidak ikut campur. Dan kebetulan saja aku bertemu Rere, bukan mengejar-ngejar dia. Jangan salah paham,” ujar Zeega membela diri.Terlihat ada keributan di bagian dalam supermarket, seorang satpam mendekati mereka.“Sudah, sudah. Itu ada Satpam ke sini. Kecilkan suara kalian,” pinta Rere.Namun, meskipun mereka meredam suara, Satpam itu
Rere teringat pesan ibunya dulu. Seberapa pun tingginya karir seorang wanita di luar rumah. Atau semarah apa pun seorang wanita terhadap suaminya. Suami itu tetap harus dihormati.Walaupun susah, sebisa mungkin kita menunjukkan rasa hormat kita terhadap imam kita itu.Jadilah seorang istri yang mampu menjadi penyejuk bagi suaminya.Jadilah istri yang sekaligus bisa dijadikan teman dan sahabat.Bukan karena wanita itu lemah, melainkan semua itu menunjukkan betapa mulianya seorang istri.Tidak ada kesuksesan seorang lelaki beristri, tanpa dukungan yang kuat dari istrinya.Doa dan kekuatan seorang istri yang kadang tidak terlihat mata pun mampu menjadi senjata bagi kemuliaan keluarganya. Bagi kebahagiaan dan kutuhan rumah tangganya.Selain itu, hanya doa yang mampu menggerakkan hati seorang suami yang keras. Hanya doa yang mampu melunakkan perasaannya.Rere beranjak dari sofa, menuju tepi tempat tidur di mana Freza berada.Dengan bertumpu pada kedua lutunya, Rere berada dekat dengan kaki
- Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu
“Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D
Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya
Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny
“Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb
Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan
“Sepertinya tamu asing itu belum datang?” tanya Ivo kepada Freza yang duduk di sebelahnya.“Menunggu tamu asing itu sepertinya.”Ivo menoleh ke kiri dan kanan seakan mencari seseorang. “Aku juga belum melihat orang tuamu.”“Mungkin mereka belum selesai bersiap.” Freza mengambil gelasnya dengan santai, lau meminumnya.Acara malam ini tidak dipadati banyak tamu, tetapi terasa begitu indah dan dipersiapkan dengan sangat baik. Banyak bunga segar tersebar di dalam ruangan.Beberapa orang berdiri di dekat meja kudapan untuk memakan makanan-makanan kecil sambil menunggu acara utama dimulai.“Kamu tahu, saat kita memenangkan proyek kemarin itu, terlihat Kevin sangat tidak senang.” Ivo tertawa sambil menatap Freza.“Aku tahu.”“Aku penasaran. Bagaimana bisa proposal bisnis kita sedikit berbeda dari yang terakhir kita sepakati di rapat?” tanya Ivo lebih serius kali ini.“Ah, itu. Saat malam aku memgeceknya lagi, terasa ada yang kurang. Jadi aku meminta Gina untuk menambahkan atau menghapus yang
Rowena beberapa kali mendengkus karena Rere tidak kunjung datang. Wanita tua itu menanti kedatangan Rere, tidak seperti biasanya.Semakin sering dia ditinggal Rere untuk pekerjaan lain, semakin dia merindukan perawatnya itu.“Ternyata semakin Rere sering tidak ada, semakin terasa bahwa dia yang paling bisa merawatku.” Mata Rowena memandang keluar jendela sembari tubuhnya duduk di atas kursi roda.Nenek Freza sudah terlihat segar setelah tidur sebentar tadi, setelah acara penyambutan tamu asing. Lalu seorang perawat lain membantunya untuk bebenah diri setelah terbangun.Sejak terakhir acara tadi, dia belum melihat Rere. “Mungkin dia masih menegerjakan persiapan untuk makan malam nanti. Yasudah lah.”Bahkan hingga bersiap-siap untuk makan malam pun, Rowena dibantu oleh seorang penata gaya, dari rambut hingga pakaian.Rere belum terlihat masuk ke dalam kamar, padahal dia pun seharusnya sudah mulai bersiap.***Pintu terbuka dari luar, saat seorang wanita memasuki kamar hotel. Wajahnya be
Lutut Rere gemetar, dan dadanya sesak. Takdir selalu menempatkannya di posisi sulit akhir-akhir ini. Terutama yang berkaitan dengan suaminya.Tidak perlu waktu lama, Freza sudah memutar wajahnya untuk memandang Rere. Wajahnya terpaku saat melihat dandanan istrinya yang tidak biasa. Sungguh anggun dan cantik, walau belum menaburkan make-up di wajah.Merasa tidak dihiraukan, Rowena menarik pipi Freza untuk kembali memandangnya. Belum sempat sang nenek mengeluarkan suara, wajah Freza kembali memandang Rere secara otomatis.“Freza! Kenapa kamu tidak menghiraukan eyang?” Kini kedua lengan Rowena dilipat di depan dadanya.“Ah, eyang. Maaf maaf. Aku seperti tersihir barusan.” Freza memalingkan wajahnya sambil tertawa dan kini memandangi sang nenek.“Mbak Rere cantik sekali. Gaunnya juga indah,” puji Sesil.“Sudah-sudah, tidak perlu hiraukan dia. Kalian ke sini mau mengobrol dengan eyang, kan?” Lagi-lagi Rowena merajuk. Dengan otomatis Freza dan Sesil kembali berfokus pada sang nenek.Melihat