Keluarga besar Margada sedang menikmati sarapan di ruang makan. Rumma, Silvia, Freza, serta keluarga sepupu Rumma semuanya duduk bersama di meja makan, yang terbuat dari marmer dengan lapisan emas sebagai kerangkanya.“Freza, kamu ini pewaris satu-satunya keluarga ini. Kelakukanmu kemarin, sungguh memalukan. Pergi begitu saja di tengah acara.” Rumma tampak emosi mengingat kejadian kemarin.“Merlyn tidak bilang? Eyang manggil aku. Jadi, aku ke kamar Eyang. Tanya saja sama Eyang, kalau Ayah tidak percaya.”“Kamu berani membantah?” Suara Rumma kini meninggi.“Sudah bosan punya ayah dan ibu seperti kami?”“Ayah, sudah sudah, jangan marah dulu. Kita makan dulu, ya? Nanti kita bicarakan lagi.” Silvia bangkit untuk mendekati suaminya, meredam amarah yang mulai ditunjukkan.Wajah wanita itu kini menatap tajam kepada anaknya. “Kamu juga, Freza. Bicaralah nanti baik-baik dengan Ayah. Jangan hanya menjawab terus.”Jika Silvia sudah berbicara, tidak ada lagi yang membantah. Wanita anggun itu beg
“Siapa itu, Mbak Rere?” tanya Fika saat melihat Hesty berkeliling rumah.“Ini teman Mbak Rere, Non. Dia dikirim dari agensi pembantu yang sama kayak Mbak. Cuma hari ini, ngecek kerjaan Mbak Rere.”Fika yang mendengar itu hanya manggut-manggut mengerti. Kemudian kembali melihat televisi.Dengan cekatan, Rere mencatat, merekam, serta memerhatikan baik-baik.Banyak pertanyaan yang diajukan spontan, atau memang sudah dia catat sebelumnya, yang awalnya akan dicek melalui internet.Berbeda dengan kemarin, hari ini semua pekerjaan dapat diselesaikan sebelum sore. Bahkan, Rere mampu menemani Fika lebih banyak.“Mbak Rere, ada yang ingin ditanyakan lagi? Tinggal setengah jam lagi, jam 4 sore saya harus pulang,” kata Hesty ketika mereka berdua duduk di meja makan.Sejenak keduanya menikmati kopi yang disajikan Rere, hasil mencoba coffee maker yang ada. Tentunya setelah diajari oleh Hesty.“Nggak ada, Mbak Hesty. Alhamdulillah sudah saya catat semua. Nanti malam, mau saya rapikan di laptop, dan
Ruangan sejenak hening. Freza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berusaha mencari jawaban yang sesuai, tetapi tidak menemukannya. "Mmm ... kenapa, ya?" ucap Freza bingung. "Lho, kan, kamu yang minta ke Ivo. Kenapa kamu jadi bingung begitu?” timpal ayahnya. "Ayah tidak ada masalah, karena kerugiannya juga tidak seberapa. Perusahaan itu tidak berpengaruh besar kepada Big Star. Hanya saja, Ayah tetap ingin tahu, kenapa kita harus memutuskan kontrak dengan suatu perusahaan?" tanya sang ayah lagi."Dia menyebalkan di kampus." "Dia? Dia siapa?" tanya Rumma penasaran. "Anak pemilik perusahaan itu, bernama Zeega. Dia menyebalkan di kampus." Freza menjawab sambil malu-malu. Alasannya sungguh kekanak-kanakan sekali. Rumma tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun, dia tidak mempermasalahkan lebih lanjut. "Kali ini Ayah biarkan. Tapi jangan lakukan hal itu lagi saat kamu memegang perusahaan. Bekerja tidak boleh digabungkan dengan masalah pribadi. Kecuali, itu menyangkut masalah
Sudah selesai melayani majikannya sarapan, Rere pergi ke kamar untuk mengambil ponselnya. Dalam perjalanan, dia mengingat kembali kejadian semalam.Saat bingung untuk menjawab, akhirnya dia mengatakan, “Saya pernah kuliah sarjana, Bu. Tapi mungkin nasib tidak memungkinkan langsung mendapat kerja, jadi saya melamar jadi pembantu dulu. Agar segera punya penghasilan.”Sejenak berpikir, dia kembali berkata, “Semoga setelah beberapa bulan ini, saya punya kesempatan melamar pekerjaan lagi dan bisa mendapat kerja di kantoran, Bu.”Senyum mengembang di wajahnya jika mengingat itu.“Untung Bu Gina percaya semalem.”Dia terus berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya. Di atas nakas, Rere menemukan sebuah kartu yang terjatuh dari baju Bram tempo hari. Belum sempat dia serahkan ke tuannya karena lupa. Dengan tergesa-gesa, dia berlari ke bagian depan rumah untuk menghentikan Bram yang sudah masuk ke dalam mobil. "Pak Bram, Pak Bram!" teriak Rere sambil menuruni tangga di teras rumah. Mend
Rumma dan Freza masuk ke dalam sebuah ruangan rapat yang telah dipersiapkan. Seluruh petinggi dari kantor Surabaya serta Jakarta tampak hadir di sana.Beberapa level manajer, termasuk Gina pun ikut ambil bagian di acara penting itu.Setelah pembacaan beberapa laporan perkembangan perusahaan dari beberapa divisi, akhirnya masuk ke acara puncak.Rumma berdiri untuk menyampaikan secara langsung pengumuman penting bagi perusahaan.“Selamat siang semuanya. Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengumumkan sedikit perubahan pada jajaran direksi kita.” Rumma berhenti sejenak untuk mengatur napas.Seluruh pasang mata di ruangan itu masih mengawasi dan bersiap mendengarkan berita yang akan disampaikan.“Selama beberapa bulan terakhir, kursi Direktur kantor di Surabaya kosong karena kita belum menemukan kandidat yang tepat. Maka hari ini, saya sampaikan bahwa Freza yang akan mendudukinya hingga satu tahun ke depan. Atau bisa lebih lama dari itu,” lanjut Rumma.Beberapa orang terdengar bisik-bisi
Mobil sedan hitam yang dikendarai Freza baru saja memasuki area parkir cake shop tempat Rere berada.Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak sabar memberi kejutan bagi Rere.Selagi Rere ada di luar rumah majikan, maka dia tidak ingin menyiakan kesempatan. Kebetulan juga, dia tidak memiliki jadwal hari ini.Dengan ringan kakinya melangkah memasuki bagian depan cake shop, terus menuju pintu masuk. Dia tidak ikut mengantre, karena pandangannya langsung menyapu ruangan yang tidak begitu besar itu. Mencari sosok istrinya.Bibirnya mengulas senyum saat matanya menangkap sosok yang dicari. Rere sedang mengobrol di sebuah meja bundar yang berisi hanya dua kursi.“Sama siapa dia?” Freza berkata pada dirinya sendiri.Sosok lawan bicara Rere tidak terlihat jelas karena tertutup banner yang berdiri tidak jauh dari situ.Freza terus melangkah mendekat. Saat lawan bicara Rere bisa terlihat jelas, raut wajah Freza menjadi berubah seketika. Raut kebencian. Raut tidak suka.“Rere?”
Rumma dan Silvia baru saja selesai menyantap makan malam di restaurant hotel tempat mereka menginap.Sejak tadi, wajah Silvia tampak tidak bersemangat. Langkahnya pun terlihat begitu lambat saat menyusuri lorong menuju kamar.“Kamu kenapa, Bu?” Rumma bertanya penasaran.“Nggak papa, Yah.“Gimana tadi di rumah keluarga Gautama?” tanya Rumma lagi.Silvia hanya menjawab untuk membicarakanny di kamar. Suaminya hanya menurut, tidak lagi bertanya lebih jauh.Rumma menyentuh tangan Silvia dan tersenyum. Memberi dukungan bagi istrinya.Sesampainya di kamar, barulah Silvia menceritakan yang terjadi tadi siang. Memori itu muncul kembali.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian.” Silvia memulai berkata kepada Kevin dan keluarganya siang tadi.“Saya mewakili keluarga Margada ingin meminta maaf. Kami sudah mengambil keputusan yang bahkan belum didiskusikan dengan Freza dan Sesil sebelumnya.”Silvia menyapukan pandangan ke Sesil, Kevin, dan Azra.“Setelah kami berpikir ulang, alangkah baiknya
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Rere yang masih belum tahu tujuan mereka.“Kejutan, dong.”“Haish, pake kejutan segala,” gumam Rere.“Kamu mau makan malem dulu, atau langsung ke tempat kejutan?”“Langsung saja. Kita, kan, sudah janjian makan malam sendiri di tempat masing-masing. Soalnya aku baru bisa keluar sehabis Isya. Biar peyutnya ndak laper ….” Rere mengelus perut Freza, menggoda.Roda mobil memasuki area parkir sebuah hotel bintang lima di Surabaya.Hotel yang berbeda dari hotel saat malam pertama mereka sebagai suami istri.Setelah mengambil kunci di resepsionis hotel, Freza menggandeng tangan Rere untuk menuju ke kamar mereka.Tangan keduanya begitu dingin. Perasaan senang, bercampur deg-degan, semuanya berbaur menjadi satu.Tiba di depan kamar, Freza meminta Rere menutup matanya. Kedua tangan Freza pun digunakan untuk menutupi pandangan Rere.“Sudah aku buka pintunya. Kamu jalan saja terus. Jangan ngintip.”“Iya ….” Rere menurut saja perintah suaminya.Tidak berhenti di dalam
- Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu
“Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D
Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya
Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny
“Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb
Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan
“Sepertinya tamu asing itu belum datang?” tanya Ivo kepada Freza yang duduk di sebelahnya.“Menunggu tamu asing itu sepertinya.”Ivo menoleh ke kiri dan kanan seakan mencari seseorang. “Aku juga belum melihat orang tuamu.”“Mungkin mereka belum selesai bersiap.” Freza mengambil gelasnya dengan santai, lau meminumnya.Acara malam ini tidak dipadati banyak tamu, tetapi terasa begitu indah dan dipersiapkan dengan sangat baik. Banyak bunga segar tersebar di dalam ruangan.Beberapa orang berdiri di dekat meja kudapan untuk memakan makanan-makanan kecil sambil menunggu acara utama dimulai.“Kamu tahu, saat kita memenangkan proyek kemarin itu, terlihat Kevin sangat tidak senang.” Ivo tertawa sambil menatap Freza.“Aku tahu.”“Aku penasaran. Bagaimana bisa proposal bisnis kita sedikit berbeda dari yang terakhir kita sepakati di rapat?” tanya Ivo lebih serius kali ini.“Ah, itu. Saat malam aku memgeceknya lagi, terasa ada yang kurang. Jadi aku meminta Gina untuk menambahkan atau menghapus yang
Rowena beberapa kali mendengkus karena Rere tidak kunjung datang. Wanita tua itu menanti kedatangan Rere, tidak seperti biasanya.Semakin sering dia ditinggal Rere untuk pekerjaan lain, semakin dia merindukan perawatnya itu.“Ternyata semakin Rere sering tidak ada, semakin terasa bahwa dia yang paling bisa merawatku.” Mata Rowena memandang keluar jendela sembari tubuhnya duduk di atas kursi roda.Nenek Freza sudah terlihat segar setelah tidur sebentar tadi, setelah acara penyambutan tamu asing. Lalu seorang perawat lain membantunya untuk bebenah diri setelah terbangun.Sejak terakhir acara tadi, dia belum melihat Rere. “Mungkin dia masih menegerjakan persiapan untuk makan malam nanti. Yasudah lah.”Bahkan hingga bersiap-siap untuk makan malam pun, Rowena dibantu oleh seorang penata gaya, dari rambut hingga pakaian.Rere belum terlihat masuk ke dalam kamar, padahal dia pun seharusnya sudah mulai bersiap.***Pintu terbuka dari luar, saat seorang wanita memasuki kamar hotel. Wajahnya be
Lutut Rere gemetar, dan dadanya sesak. Takdir selalu menempatkannya di posisi sulit akhir-akhir ini. Terutama yang berkaitan dengan suaminya.Tidak perlu waktu lama, Freza sudah memutar wajahnya untuk memandang Rere. Wajahnya terpaku saat melihat dandanan istrinya yang tidak biasa. Sungguh anggun dan cantik, walau belum menaburkan make-up di wajah.Merasa tidak dihiraukan, Rowena menarik pipi Freza untuk kembali memandangnya. Belum sempat sang nenek mengeluarkan suara, wajah Freza kembali memandang Rere secara otomatis.“Freza! Kenapa kamu tidak menghiraukan eyang?” Kini kedua lengan Rowena dilipat di depan dadanya.“Ah, eyang. Maaf maaf. Aku seperti tersihir barusan.” Freza memalingkan wajahnya sambil tertawa dan kini memandangi sang nenek.“Mbak Rere cantik sekali. Gaunnya juga indah,” puji Sesil.“Sudah-sudah, tidak perlu hiraukan dia. Kalian ke sini mau mengobrol dengan eyang, kan?” Lagi-lagi Rowena merajuk. Dengan otomatis Freza dan Sesil kembali berfokus pada sang nenek.Melihat