Mobil sedan hitam yang dikendarai Freza baru saja memasuki area parkir cake shop tempat Rere berada.Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak sabar memberi kejutan bagi Rere.Selagi Rere ada di luar rumah majikan, maka dia tidak ingin menyiakan kesempatan. Kebetulan juga, dia tidak memiliki jadwal hari ini.Dengan ringan kakinya melangkah memasuki bagian depan cake shop, terus menuju pintu masuk. Dia tidak ikut mengantre, karena pandangannya langsung menyapu ruangan yang tidak begitu besar itu. Mencari sosok istrinya.Bibirnya mengulas senyum saat matanya menangkap sosok yang dicari. Rere sedang mengobrol di sebuah meja bundar yang berisi hanya dua kursi.“Sama siapa dia?” Freza berkata pada dirinya sendiri.Sosok lawan bicara Rere tidak terlihat jelas karena tertutup banner yang berdiri tidak jauh dari situ.Freza terus melangkah mendekat. Saat lawan bicara Rere bisa terlihat jelas, raut wajah Freza menjadi berubah seketika. Raut kebencian. Raut tidak suka.“Rere?”
Rumma dan Silvia baru saja selesai menyantap makan malam di restaurant hotel tempat mereka menginap.Sejak tadi, wajah Silvia tampak tidak bersemangat. Langkahnya pun terlihat begitu lambat saat menyusuri lorong menuju kamar.“Kamu kenapa, Bu?” Rumma bertanya penasaran.“Nggak papa, Yah.“Gimana tadi di rumah keluarga Gautama?” tanya Rumma lagi.Silvia hanya menjawab untuk membicarakanny di kamar. Suaminya hanya menurut, tidak lagi bertanya lebih jauh.Rumma menyentuh tangan Silvia dan tersenyum. Memberi dukungan bagi istrinya.Sesampainya di kamar, barulah Silvia menceritakan yang terjadi tadi siang. Memori itu muncul kembali.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian.” Silvia memulai berkata kepada Kevin dan keluarganya siang tadi.“Saya mewakili keluarga Margada ingin meminta maaf. Kami sudah mengambil keputusan yang bahkan belum didiskusikan dengan Freza dan Sesil sebelumnya.”Silvia menyapukan pandangan ke Sesil, Kevin, dan Azra.“Setelah kami berpikir ulang, alangkah baiknya
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Rere yang masih belum tahu tujuan mereka.“Kejutan, dong.”“Haish, pake kejutan segala,” gumam Rere.“Kamu mau makan malem dulu, atau langsung ke tempat kejutan?”“Langsung saja. Kita, kan, sudah janjian makan malam sendiri di tempat masing-masing. Soalnya aku baru bisa keluar sehabis Isya. Biar peyutnya ndak laper ….” Rere mengelus perut Freza, menggoda.Roda mobil memasuki area parkir sebuah hotel bintang lima di Surabaya.Hotel yang berbeda dari hotel saat malam pertama mereka sebagai suami istri.Setelah mengambil kunci di resepsionis hotel, Freza menggandeng tangan Rere untuk menuju ke kamar mereka.Tangan keduanya begitu dingin. Perasaan senang, bercampur deg-degan, semuanya berbaur menjadi satu.Tiba di depan kamar, Freza meminta Rere menutup matanya. Kedua tangan Freza pun digunakan untuk menutupi pandangan Rere.“Sudah aku buka pintunya. Kamu jalan saja terus. Jangan ngintip.”“Iya ….” Rere menurut saja perintah suaminya.Tidak berhenti di dalam
Freza hanya berdiam diri sambil berbaring di samping Rere. Tubuhnya dimiringkan untuk memandangi istrinya.Tiap tingkah istrinya yang begitu gugup, mampu membuatnya senyum-senyum sendiri.“Kamu bisa napas di bantal kayak gitu? Nggak ngap-ngapan?”Kegugupannya membuat Rere tetap bergeming. Tidak merespon.Begitu yakin istrinya akan berbalik badan, Freza menghitung hingga sepuluh di dalam hati.Sembilan …Sepuluh …Dan …“Huah! Hah … hah ….” Rere membalik badan dan mengatur napasnya.“Hahaha.” Begitu senang Freza melihat Rere seperti itu.“Tuh, kan … dibilangin nanti nggak bisa napas. Ngapain sih tengkurep gitu?”Rere menarik selimutnya lalu memandang kesal kepada suaminya.“Nggak usah sok perhatian. Ini baju apaan, sih? Kecil banget!" gerutu Rere.“Oh, ya? Padahal tadi aku beli ukuran jumbo. Jangan-jangan salah masukin tuh penjualnya. Sini aku liat?” Freza berusaha membuka selimut Rere.Kelakuan suaminya membuat Rere memukul tangan Freza seketika.“Heh, mau cari kesempatan, ya? Nggak u
Melihat hasil pekerjaannya yang tidak mengecewakan, Merlyn merasa puas.Usainya pertunjukkan kembang api menjadi pertanda bahwa sudah waktunya pulang.[Tugas saya selesai, Tuan Muda.][Saya ijin pulang.]Selesai mengirim pesan singkat ke Freza, wanita itu meninggalkan area parkir hotel dengan mobil merahnya.Menikmati kesendiriannya yang tak pernah usai.Kesendirian yang sudah menjadi teman, serta kebahagiaan tersendiri baginya selama ini.“Siapa wanita yang bisa meluluhkan hatinya? Pasti dia wanita yang istimewa,” gumam Merlyn.Dia membayangkan bagaimana Tuan Mudanya merancang malam ini, dan harus sempurna.***"Sesil, beberapa hari ini kamu keliatan nggak semangat gitu?" tanya Kevin cemas. "Sayang, kamu makan, ya? Kalau nggak mau makan, setidaknya diminum susunya." Azra ikut menimpali di tengah sarapan mereka. Kali ini Sesil menuruti saran ibunya. Susu putih yang disajikan di hadapannya, dia habiskan tanpa sisa. "Aku ke kamar dulu." Azra dan Kevin hanya mampu mengawasi saat tubu
Suasana di ruang rapat begitu mencekam. Sudah dua ide yang dipresentasikan di depan, tetapi keduanya mendapat kritik pedas dari Freza.“Kalau yang terakhir ini juga tidak bagus. Jangan harap kalian pulang malam ini,” ujar Freza.Kali ini giliran Gina melakukan presentasi mewakili timnya.Wajah Direktur begitu datar, masih belum terlihat tanda-tanda dia tertarik dengan bahan presentasi.Sedang fokus mendengar presentasi, terasa getaran dari kantung kemejanya. Berasal dari ponselnya.Freza mengambil ponsel itu dan membaca pesan yang masuk. Ternyata itu adalah sebuah foto disertai tulisan di bawahnya.[Foto Rere mencium bunga yang dikirim oleh Freza.][Thank you, Mas. Semoga nggak lembur, ya? Aku mau telepon.]Pesan itu seakan bantuan dari semesta untuk para karyawan di dalam ruang meeting.Senyum yang baru saja terlihat di wajah Freza, layaknya pelangi, pertanda badai berakhir.Saat presentasi Gina berakhir, semua wajah kembali menatap Freza, menanti kritik dan saran.“Saya mau benefitn
Sebuah mobil merah memasuki area parkir di Cake Shop Pujangga.Wanita dengan setelan celana serta blazer berwarna kuning keluar dari mobil. Langkahnya yang anggun melenggang menuju ke dalam toko kue.“Selamat datang.” Beberapa karyawan berkata serempak saat ada pelanggan yang datang.Siang itu, toko masih tampak sepi. Kebetulan, hanya Merlyn sendiri sebagai pelanggan.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Zeega yang sedang ikut berjaga.“Saya ingin memesan semua cheese cake yang dijual di sini. Ada berapa jumlah ready stocknya?”“Wah, ada acara ya, Nona? Mmm … berdasarkan system, kami punya sekitar 30 cup saja yang ready sekarang. Dengan berbagai macam topping.”“Ok. Saya ambil semua. Creme brulee, ada berapa stock?”“Tidak banyak, hanya ada 20 cup,” jawab Zeega singkat.“Saya ambil semua juga. Tolong pisahkan ya antara cheese cake dan creme bruleenya. Punya kartu ucapan?”“Ada. Mau dituliskan sekalian?”“Tidak usah, saya tulis sendiri. Sudah itu saja. Berapa semuanya?”Transkasi jual bel
“Oh, I see. Aku pikir Mas Freza sama Rere. Baguslah,” ucap Freza dengan senyum mengembang.“Apaan, sih? Enggak, enggak.” Akhirnya Freza bisa melepas paksa genggaman tangan Sesil.“Nggak usah ngarang, deh.” Mata Freza melotot menatap Sesil.“Freza, kok, gitu sih? Freza ngajak Sesil keluar karena mau ngomongin tunangan kita, kan?” rajuk Sesil.“Diam!” Kali ini Freza emosi dan berteriak ke Sesil.“Dan kamu, Zeega, jangan coba-coba mendekati Rere,” tegas Freza dengan menunjuk wajah Zeega.Dengan begitu kesal, Freza keluar dari toko tanpa menunggu Sesil.Dibukanya pintu mobil, lalu segera masuk ke dalam. Perasaannya sudah tidak karuan. Moodnya sudah rusak seketika.Tanpa mengambil pesanannya, Sesil berlari menyusul Freza keluar toko dengan air mata berurai.Beruntung mobil sedan hitam yang tadi dia naiki masih di sana, tidak meninggalkan dirinya. Dia menyusul masuk ke dalam mobil.“Fre, kamu kenapa, sih? Kenapa teriak sama Sesil?” Suaranya sedikit terbata-bata karena menangis.“Pakai seatb