Rere membuka surat tersebut dan membacanya. Isi surat tersebut tidaklah banyak, tetapi cukup mampu membuat air matanya tidak mau berhenti.
[Rere sayang,
Ini adalah hadiah untuk pernikahanmu. Maaf, Ibu tidak memiliki harta untuk bisa diberikan.
Satu yang pasti, Ibu akan selalu mendoakan untuk kesuksesanmu, dan agar pernikahanmu dengan Nak Freza dilimpahi kebahagiaan.
Ibu tidak khawatir menyerahkanmu kepada Nak Freza, karena dia begitu baik, terhadapmu dan juga Ibu.
Ibu berharap, kamu mau menggunakan hadiah dari Ibu ini. Untuk menjaga dirimu, saat mungkin Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi suatu saat nanti.
Ibu sayang Rere selalu.]
Dia letakkan surat itu kembali ke dalam kotak, dan mengambil selembar hijab berwarna pelangi dari dalamnya. Warna hijab itu begitu indah. Pelangi yang akan selalu menghiasi hidup Rere, meskipun ibunya sudah tidak lagi di sisinya. Rere memeluk hijab itu sambil berucap terima kasih yang begitu dalam. Meskipun ibunya tidak di sini, dia yakin bahwa sang ibu mampu mendengarnya dari atas sana.
Menyadari dirinya sudah cukup lama di dalam kamar, dia akhirnya keluar untuk menemui kerabatnya yang lain. Serta tidak ingin membuat mereka khawatir, termasuk suaminya. Saat tubuhnya sudah berada di luar kamar, semua pasang mata di ruangan memandang dirinya.
Freza mendekatinya dan memeluk tubuh kecil istrinya itu untuk memberi sedikit dukungan. Sebuah ucapan meluncur dari mulutnya, “Kamu cantik, Re. Aku suka kamu seperti ini.”
Rere mengenakan sebuah gamis panjang milik ibunya, dipadankan dengan hijab pelangi hadiah dari sang ibu. Wanita itu terlihat begitu anggun dan cantik.
Rere tidak lagi menangis. Setelah melepaskan diri dari pelukan, dia menghampiri keluarganya yang lain. Tidak ada acara khusus di rumah itu. Para tamu yang datang pun sudah tidak banyak. Banyak yang sudah pulang saat tadi dia di kamar.
Hari berlalu cepat. Tidak terasa sudah tiga hari sejak kepergian ibunya. Rere sudah akan memulai pekerjaannya sebagai pembantu besok. Begitu pula Freza, dia harus berangkat ke tempat kerjanya keesokan hari, setelah meminta izin karena ada orang tua yang meninggal. Beberapa kerabat Rere pun sudah berpamitan untuk kembali ke daerah mereka masing-masing.
Rumah serta bangunan kos-kosan akan dititipkan kepada salah satu tetangga dekat yang selama ini membantu Ibu mengurusi rumah. Banyak kenangan di rumah kecil itu yang kini harus ditinggalkan Rere. Kenangan yang kini hanya akan disimpan di memori ingatannya. Manusia berubah, waktu berubah, tetapi satu yang tidak berubah, yaitu masa lalu dan kenangan-kenangan yang membersamainya.
***
Rere dan Freza berpisah di rumah Rere. Keduanya memesan jasa ojek online untuk mengantara ke tempat tujuan. Freza berangkat menuju bandara, sedangkan Rere menuju rumah majikannya.
Dengan duduk di belakang pengendara ojek, Rere mengitari sebuah perumahan mewah untuk mencari alamat majikannya yang pertama. Dia akan bekerja sebagai pembantu hingga dua bulan ke depan. Setidaknya itu yang dikatakan agensi tempatnya bernaung. Karena dia masih baru, jadi dia hanya akan menjadi pembantu pengganti hingga pembantu yang senior bisa didatangkan.
“Mbak, saya menepi sebentar, ya? Mau lihat aplikasi lagi.” Pengemudi ojek menepikan motornya ke dekat trotoar perumahan.
“Iya, Pak,” jawab Rere.
Setelah beberapa saat, pengendara ojek mengembalikan ponselnya ke dalam saku jaketnya.
“Sudah ketemu tempatnya, Pak?” tanya Rere kemudian.
“Sudah, Mbak. Sudah nggak jauh dari sini.” Sang pengemudi melajukan kembali motornya.
Hanya melewati beberapa rumah besar, akhirnya mereka sampai di alamat sesuai aplikasi. Rere turun dan membayar. Dia berbalik menatap sebuah rumah megah yang berdiri kokoh di hadapannya. Rumah itu bergaya tropis, minimalis, dengan warna yang dominan putih, abu-abu dan hitam. Tidak terlalu sulit sebenarnya mencari rumah ini, jika sudah pernah ke sini sebelumnya. Bangunan itu berdiri di pinggir jalan besar, tidak perlu masuk ke cluster-cluster yang lebih kecil.
Hanya perlu sekali menekan bel, sebuah suara dari sebuah kotak pengeras suara kecil menanyakan identitasnya.
“Saya Rere, pembantu pengganti sementara di sini. Pihak agensi yang mengirim saya, Bu.”
Tidak lama dari penjelasan Rere, pagar tinggi hitam terbuka dengan sendirinya, tanpa ada siapa pun yang keluar menunjukkan batang hidungnya. Dengan mantap, tetapi juga nervous, langkahnya melewati pintu gerbang dan terus menuju sebuah tangga yang langsung menuju bagian teras rumah.
Belum sempat dia mengetuk pintunya, seorang wanita berusia sekitar 38 tahun membuka pintu untuk menyambutnya. Tidak ada senyum hangat. Pakaiannya begitu rapi seperti akan berangkat bekerja.
“Mbak Rere, ya? Silakan masuk. Saya akan tunjukan kamarnya.” Wanita itu segera mendahului memasuki bagian dalam rumah, disusul oleh Rere di belakangnya.
Sampai di depan sebuah pintu, wanita itu membukanya dan berbicara lagi kepada Rere, “Ini kamarnya, Mbak. Nama saya Gina. Saya sudah harus berangkat kerja sekarang. Nanti tolong urus keperluan Fika untuk berangkat sekolah, nanti ada jemputan sekolahnya jam tujuh seperempat.”
“Baik, Bu. Maaf sebelumnya, pekerjaan saya apa saja, ya, Bu?”
Mendengar pertanyaan Rere, alis mata Gina terangkat ke atas seakan tidak percaya dengan yang didengarnya.
“Kamu ini belum dikasih tahu apa-apa sama agensimu? Namanya asisten rumah tangga ya bere-beres rumah. Apa lagi? Cuma perhatikan kalau pakai peralatan, semuanya otomatis. Hati-hati.”
“Baik, Bu.” Rere tidak berani lagi berbicara, takut semakin salah. Dia akan coba mempelajari isi rumahnya. Harusnya kalau cuma bersih-bersih, sih, dia bisa. Apalagi, rumah ini hanya satu lantai.
“Saya berangkat dulu, sudah telat. Macet jalanan kalau kesiangan, dan saya ada morning meeting. Oh iya, pekerjaan Mbak hanya bagian dalam rumah, nggak usah ngurusin taman, garasi. Pokoknya dalam rumah saja. Sekalian bantuin Fika.”
“Baik, Bu,” jawab Rere lagi. Sang majikan sudah berlalu untuk segera berangkat kerja.
Saat memasuki kamar yang tidak begitu besar itu, Rere begitu takjub. Kamar yang dia dapat tidak seperti gambaran kamar pembantu yang selama ini dilihatnya di televisi, kecil dan agak kotor. Kamar di rumah majikannya begitu wangi, bersih, dan rapi. Segera dia menaruh tasnya dan berjalan ke luar, mencari majikan kecilnya.
“Mbak Fika?” panggil Rere, “Mbak Fika, di mana?” Setelah melewati beberapa ruangan, akhirnya Rere mampu menemukan majikan kecilnya yang sedang asyik bermain gadget di kursi ruang keluarga.
“Non, ayo pakai seragam. Sepuluh menit lagi jemputannya datang,” ujar Rere.
“Nggak, ah. Aku mau main game saja.”
“Lho, lho, lho. If you want to be beatiful, you have to be clever. Kalau mau cantik, ya, harus pintar,” kata Rere iseng.
Ternyata keisengannya membuahkan hasil. Perhatian Fika kini beralih kepada sang pembantu baru.
Langkah kaki Freza berjalan cepat memasuki bandara. Seorang wanita paruh baya, dengan lipstik merah merona melengkapi penampilannya yang cantik dan elegan. Wanita yang berdiri di bagian dalam pintu masuk itu tersenyum dan menyambut kedatangannya.“Selamat datang, Tuan Muda. Mari ikuti saya.” Wanita bernama Merlyn tersebut merupakan asisten pribadi Freza.Tubuh mereka menjauh dari keramaian bandara untuk penerbangan regular. Menuju area bandara yang lebih sepi, kemudian masuk ke sebuah lounge yang hampir tidak ada orang di sana.Lounge itu dilengkapi dengan fasilitas mewah, untuk memanjakan para penumpang pesawat jet pribadi. Merlyn terus berjalan melewati sofa tunggu, meja yang menghidangkan makanan dari berbagai negara, lalu sedikit berbelok menuju sebuah pintu yang agak tersembunyi.Sidik jarinya ditekankan pada sebuah sensor di pintu untuk membuatnya terbuka. Ruangan itu lebih kecil dari lounge yang barusan mereka lewati, tetapi semua fasilitas yang ada tidak kalah mewah dan lengka
Selesai mengantarkan Fika hingga naik ke mobil jemputan sekolah, Rere kembali ke dalam dan memulai pekerjaannya.“Akhirnya anak itu mau juga disuruh siap-siap. Ayo Rere, semangat!” ujarnya menyemangati diri sendiri.Dia langsung menuju dapur. Ada tumpukan piring kotor yang sepertinya sudah ada sejak kemarin.Pandangannya beralih pada selembar kertas yang tertempel di pintu kulkas. Kata majikan perempuannya, itu catatan yang dia perlu tahu. Setelah membaca cepat, ternyata sebagian isinya tentang penggunaan peralatan otomatis.“Berarti nyuci piringnya pakai alat cuci otomatis, ya? Mmm … mana, ya?” Kepalanya celingukan mencari alat cuci piring di sekitar situ.Dibukanya sebuah pintu kotak di bawah meja, dengan kaca gelap di bagian depannya. Itu adalah oven, bukan alat cuci piring.Di sebelahnya, ada beberapa pintu-pintu lain yang dia buka satu per satu untuk memastikan isinya. Akhirnya dia bisa menemukan yang dicari.Segera saja dia masukkan semua piring yang kotor. Sesuai instruksi di c
“Assalamualaikum, Eyang.” Freza mendekati tempat tidur neneknya, lalu mencium tangan wanita tua itu.Sudah hampir enam bulan, sang nenek terbaring di ranjang karena penyakit stroke-nya. Menurut dokter, neneknya bisa segera berjalan kembali, selama rajin mengikuti terapi. Namun, dia urung karena merasa tidak diperhatikan oleh keluarganya. Rasanya lebih baik cepat diambil nyawa saja.Matanya berbinar saat melihat satu-satunya orang yang paling dia rindukan akhirnya datang.“Waalaikumussalam. Freza … sayang ….” kata Rowena.“Eyang, aku sudah lulus kuliah, lho.” Senyumnya begitu lebar saat mengabarkan berita bahagia tersebut.“Alhamdulillah. Berarti ada yang temani Eyang lagi di rumah ini.”Bagi Rowena, hanya cucunya yang paling memahami dan mengerti dirinya. Selalu bersedia mendengarkan kenangan-kenangan masa lalu yang membangkitkan gairahnya, serta mampu membuat senyum itu merekah. Senyum yang jarang lagi tampak belakangan ini. Karena semua orang di rumah besar itu lebih memilih menyib
Keringat dingin seakan mengguyur tubuh rampingnya. Ketakutan membelenggu. Bagaimana jika nanti nyonya rumahnya begitu marah? Bagaimana jika dia diusir di hari pertama bekerja? Yang paling penting, dia takut jika Fika megalami hal serius. "Sudah selesai. Anak cantik sudah bisa pulang," kata seorang dokter jaga di IGD rumah sakit. "Terima kasih, Dok," jawab Fika dengan senyum polosnya. "Berarti, kakinya Non Fika nggak pa-pa, kan, Dok? Nggak ada yang bahaya?" serobot Rere. "Nggak bahaya. Anak cantik ini terkilir, tapi sudah diobati. Kakinya sementara ini perlu diperban, jangan dilepas. Nanti saya kasih surat izin untuk tidak sekolah dulu, hingga dua hari ke depan." Sang dokter menjelaskan dengan sabar. Napas Rere begitu lega mendengar penjelasan barusan. Dia harus ekstra menjaga majikan kecilnya, merawat luka serta mengganti perbannya. Selain itu, beberapa hari ke depan, Fika tidak akan bisa bersekolah. Jadi, dia akan membantu mengejar pelajaran. Yang perlu diwaspadai sekarang ad
Keluarga besar Margada sedang menikmati sarapan di ruang makan. Rumma, Silvia, Freza, serta keluarga sepupu Rumma semuanya duduk bersama di meja makan, yang terbuat dari marmer dengan lapisan emas sebagai kerangkanya.“Freza, kamu ini pewaris satu-satunya keluarga ini. Kelakukanmu kemarin, sungguh memalukan. Pergi begitu saja di tengah acara.” Rumma tampak emosi mengingat kejadian kemarin.“Merlyn tidak bilang? Eyang manggil aku. Jadi, aku ke kamar Eyang. Tanya saja sama Eyang, kalau Ayah tidak percaya.”“Kamu berani membantah?” Suara Rumma kini meninggi.“Sudah bosan punya ayah dan ibu seperti kami?”“Ayah, sudah sudah, jangan marah dulu. Kita makan dulu, ya? Nanti kita bicarakan lagi.” Silvia bangkit untuk mendekati suaminya, meredam amarah yang mulai ditunjukkan.Wajah wanita itu kini menatap tajam kepada anaknya. “Kamu juga, Freza. Bicaralah nanti baik-baik dengan Ayah. Jangan hanya menjawab terus.”Jika Silvia sudah berbicara, tidak ada lagi yang membantah. Wanita anggun itu beg
“Siapa itu, Mbak Rere?” tanya Fika saat melihat Hesty berkeliling rumah.“Ini teman Mbak Rere, Non. Dia dikirim dari agensi pembantu yang sama kayak Mbak. Cuma hari ini, ngecek kerjaan Mbak Rere.”Fika yang mendengar itu hanya manggut-manggut mengerti. Kemudian kembali melihat televisi.Dengan cekatan, Rere mencatat, merekam, serta memerhatikan baik-baik.Banyak pertanyaan yang diajukan spontan, atau memang sudah dia catat sebelumnya, yang awalnya akan dicek melalui internet.Berbeda dengan kemarin, hari ini semua pekerjaan dapat diselesaikan sebelum sore. Bahkan, Rere mampu menemani Fika lebih banyak.“Mbak Rere, ada yang ingin ditanyakan lagi? Tinggal setengah jam lagi, jam 4 sore saya harus pulang,” kata Hesty ketika mereka berdua duduk di meja makan.Sejenak keduanya menikmati kopi yang disajikan Rere, hasil mencoba coffee maker yang ada. Tentunya setelah diajari oleh Hesty.“Nggak ada, Mbak Hesty. Alhamdulillah sudah saya catat semua. Nanti malam, mau saya rapikan di laptop, dan
Ruangan sejenak hening. Freza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berusaha mencari jawaban yang sesuai, tetapi tidak menemukannya. "Mmm ... kenapa, ya?" ucap Freza bingung. "Lho, kan, kamu yang minta ke Ivo. Kenapa kamu jadi bingung begitu?” timpal ayahnya. "Ayah tidak ada masalah, karena kerugiannya juga tidak seberapa. Perusahaan itu tidak berpengaruh besar kepada Big Star. Hanya saja, Ayah tetap ingin tahu, kenapa kita harus memutuskan kontrak dengan suatu perusahaan?" tanya sang ayah lagi."Dia menyebalkan di kampus." "Dia? Dia siapa?" tanya Rumma penasaran. "Anak pemilik perusahaan itu, bernama Zeega. Dia menyebalkan di kampus." Freza menjawab sambil malu-malu. Alasannya sungguh kekanak-kanakan sekali. Rumma tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun, dia tidak mempermasalahkan lebih lanjut. "Kali ini Ayah biarkan. Tapi jangan lakukan hal itu lagi saat kamu memegang perusahaan. Bekerja tidak boleh digabungkan dengan masalah pribadi. Kecuali, itu menyangkut masalah
Sudah selesai melayani majikannya sarapan, Rere pergi ke kamar untuk mengambil ponselnya. Dalam perjalanan, dia mengingat kembali kejadian semalam.Saat bingung untuk menjawab, akhirnya dia mengatakan, “Saya pernah kuliah sarjana, Bu. Tapi mungkin nasib tidak memungkinkan langsung mendapat kerja, jadi saya melamar jadi pembantu dulu. Agar segera punya penghasilan.”Sejenak berpikir, dia kembali berkata, “Semoga setelah beberapa bulan ini, saya punya kesempatan melamar pekerjaan lagi dan bisa mendapat kerja di kantoran, Bu.”Senyum mengembang di wajahnya jika mengingat itu.“Untung Bu Gina percaya semalem.”Dia terus berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya. Di atas nakas, Rere menemukan sebuah kartu yang terjatuh dari baju Bram tempo hari. Belum sempat dia serahkan ke tuannya karena lupa. Dengan tergesa-gesa, dia berlari ke bagian depan rumah untuk menghentikan Bram yang sudah masuk ke dalam mobil. "Pak Bram, Pak Bram!" teriak Rere sambil menuruni tangga di teras rumah. Mend