Home / Romansa / PEMBANTU NAIK KELAS / Bab 1. Cincin Berlian

Share

PEMBANTU NAIK KELAS
PEMBANTU NAIK KELAS
Author: artfinger

Bab 1. Cincin Berlian

Author: artfinger
last update Last Updated: 2022-05-23 08:26:24

TIIN. TIIN.

Sebuah klakson mobil terdengar begitu nyaring, yang membuat kesal beberapa anak kos di bangunan tempat mobil itu menghentikan lajunya.

Mobil sport dua pintu berwarna putih, dilengkapi suara knalpot Akrapovic itu menanti seseorang.

Rere berlari tunggang langgang dari kamarnya menuju sumber suara yang membuat kegaduhan barusan.

Ternyata benar, suara klakson tadi berasal dari mobil seseorang yang sudah dia nanti sejak setengah jam yang lalu.

Bahkan, dia sudah begitu sulit memilah dan memilih baju untuk hari ini sejak dua jam yang lalu. Akhirnya, sebuah dress merah selutut yang warnanya agak pudar, dilengkapi lengan tiga per empat, serta dandanan ala kadarnya pun membuatnya begitu percaya diri untuk mendekati mobil tersebut.

Saat tiba di pintu gerbang, salah satu anak kos laki-laki di rumahnya sedang berdiri memegang pagar, dan berbicara dengan tamunya.

“Wih, mobil baru lagi, bree?” tanya anak kos itu, “Mau jemput siapa? Turunlah! Nggak sopan, dong, cuma ngebunyiin klakson doang.”

“Freza, nggak usah ikut campur deh. Aku yang punya rumah ngerasa biasa saja. Zeega sopan, kok.” Segera saja Rere menjawab kalimat Freza, lelaki yang menyewa salah satu kamar kos di rumahnya.

Rere segera meminta maaf kepada Zeega atas kelakuan Freza, yang dibalas segera oleh Zeega, “Nggak pa-pa Re, dia bener.”

Zeega melenggang turun dari mobil sport-nya, dan segera membukakan pintu bagi Rere. Yang dibukakan pintu langsung senyum-senyum sendiri kegirangan, tetapi hanya sebuah senyum simpul yang berani dia tunjukkan.

“Terima kasih ya.”

“Dengan senang hati, tuan putri.” Zeega menjawab dengan sedikit membungkuk dan satu tangannya dilambaikan, serta tangan lainnya di depan dada. Adegan yang sudah pasti membuat para kaum hawa seperti diterbangkan ke awan, merasa sangat dihargai dan dihormati.

“Lebay,” ledek Freza dengan senyum sinisnya. Mata Rere langsung saja melotot ke arah Freza dan memonyongkan bibirnya.

Tidak perlu waktu lama, Zeega sudah melangkah memasuki mobil, sambil melambaikan tangan ke arah Freza dengan tatapan hormat dan sedikit membungkuk.

Maklum, meskipun Freza seakan akrab dengan mereka, sebenarnya dia satu tingkat di atas mereka berdua. Namun, karena beberapa masalah yang terjadi pada Freza, dia telat satu tahun sehingga saat ini berada di semester terakhir bersama Rere dan Zeega.

Dengan tak acuh, tubuh Freza berbalik untuk memasuki area bangunan kos dan tidak menyambut salam dari Zeega.

Seakan, dia merasa tidak menyukai Zeega. Padahal, Zeega terkenal selalu berperilaku baik di kampus.

***

Hanya perlu 20 menit bagi Zeega untuk melajukan mobil, hingga tiba di sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota. Waktu yang cukup singkat bagi seorang lelaki yang begitu pandai mengemudi, didukung dengan lalu lintas yang belum begitu ramai saat siang hari.

Berbeda dengan Rere yang merasa waktu 20 menit itu begitu lama. Selama perjalanan, mulut Rere seakan kelu, tak mampu berucap sepatah kata pun. Kedua tangannya saling ditelungkupkan, sembari punggungnya bersandar ke kursi.

Sesekali dia mencuri pandang ke pria di sebelahnya, yang terlihat begitu anggun mengemudi. Dan segera mengalihkan lirikan mata saat wajah Zeega seakan tertuju padanya.

Zeega tidak memasuki gedung parkiran, melainkan berhenti di depan lobby dan menyerahkan kunci pada petugas valet parking.

Tak lupa, lagi-lagi tindakan Zeega membukakan pintu bagi Rere, mampu melelehkan diri wanita itu hingga rasanya lutunya lunglai. Namun, dia tidak boleh sampai jatuh.

Beberapa orang melirik ke arah pasangan yang baru turun dari mobil itu.

Dengan tak acuh, mereka terus melenggang melewati beberapa pasang mata yang mengawasi. Bagi Rere, pandangan itu membuatnya sedikit sombong.

Dia merasa bahwa orang-orang itu iri dan tidak habis pikir bagaimana bisa seorang lelaki tinggi, tampan, dengan kulit yang begitu putih bak pualam bisa berjalan bersama seorang wanita berkulit kuning langsat, disertai dandanan yang sangat minimalis.

Apalagi mereka turun dari mobil yang tidak biasa.

Zeega menuntun untuk memasuki pintu masuk gedung perbelanjaan, dan mereka menuju ke area yang lebih sepi.

Di area ini banyak diperjual-belikan barang-barang dari brand ternama, sehingga pantas jika memang tidak banyak pengunjung.

Langkah kaki pria berambut hitam dengan gaya french-crop itu menuju sebuah toko perhiasan. Rere bingung.

Belum sempat dia bertanya, suara ponsel Zeega berbunyi dan langsung diangkat oleh pemiliknya.

“Re, kamu pilih-pilih dulu cincin yang menurut kamu bagus ya. Aku angkat telepon dulu sebentar.” Kaki pria itu melangkah keluar toko untuk menjawab telepon.

Kalimat terakhir tadi membuat tubuh Rere kaku. Dia berusaha mencerna kalimat Zeega, tetapi tetap saja bingung dan tidak menemukan jawaban dari kebingungannya.

Jantungnya yang dari tadi sudah berdetak kencang, kini terpacu menjadi semakin kencang. Bagaimana bisa aku milih cincin? Cincin untuk apa? tanyanya dalam hati.

Rere berusaha mengingat kejadian beberapa hari terakhir. Memang mereka berdua sering bersama di kampus, untuk mengerjakan tugas, makan siang, bahkan sesekali Zeega mengantar-jemputnya.

Beberapa kali pria itu memang meminta tolong untuk dibantu belajar dan mengerjakan tugas. Selain itu, kelakuan Zeega terasa begitu baik terhadap Rere.

Namun, dia selalu membuang jauh-jauh pikiran bahwa Zeega memang menyukainya. Selain karena status sosial mereka berbeda, dia pun bukan wanita populer dan cantik di kampus, meskipun juga tidak termasuk cewek jelek.

Contohnya hari ini, laki-laki itu memperlakukan Rere layaknya sang putri. Tangannya memegang dadanya, menahan detakan jantungnya yang semakin cepat.

Apa maksud semua ini, pikirnya.

“Nona, maaf. Ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang wanita penjaga toko.

Sontak saja Rere kembali tersadar dan memandang ke sumber suara.

Saat tubuhnya mendekat ke meja kaca transparan yang memamerkan beberapa perhiasan, wanita tadi seakan menahan tawanya. Sesekali dia berbalik muka ke belakang untuk mengatur napas.

Rere tidak peduli dengan tingkah pelayan toko di hadapannya.

“Mbak, coba lihat yang ini dan itu,” pinta Rere kepada sang pramuniaga.

Dua buah cincin kini diletakkan di atas meja untuk diteliti oleh Rere. Dia mengangkat salah satu cincin dan melihat dari berbagai sudut. Cicin itu bertatahkan emas puti dan batu-batu permata berukuran kecil.

Dia pun mencoba cincin yang satu lagi. Hanya ada satu batu permata berukuran cukup besar pada cincin kedua tersebut.

Dia memasukkan cincin itu di salah satu jarinya, dan menjulurkannya untuk melihat apakah terlihat indah. Saat dia mendekati sebuah cermin bundar di atas meja untuk melihat keserasian cincin dengan jarinya, dia mendapati ada yang aneh dengan wajahnya.

Hah! Bagaimana bisa? Berarti dari tadi pelayan toko ini ngetawain aku? gumamnya dalam hati. Dia segera berlari keluar toko tanpa melepaskan cincin tersebut.

Related chapters

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 2. Will You Marry Me?

    Di toilet, Rere segera mencuci mukanya yang sudah tampak seperti adonan tepung yang di-templok-in sembarang ke wajahnya. Dalam sekejap, bedak bayi serta polesan lip-balm yang dia gunakan di wajah pun luntur, kemudian hanya menyisakan muka alaminya. Pikirannya memutar ulang ingatan saat di dalam mobil Zeega, sewaktu berangkat tadi. Sempat lelaki itu terlihat menahan tawa, tetapi Rere tak acuh karena sedang grogi.Namun, sekarang semuanya jelas. Wajahnya sudah berantakan sejak berangkat tadi. Dia merutuki diri sendiri, merasa begitu bodoh dan jelek. Hatinya sakit jika membayangkan perasaan malu yang sejak tadi dipendam oleh teman jalannya, Zeega. Kedua tangannya masih memegangi wajahnya setelah dicuci. Saat itu pula, dia menyadari sebuah cincin masih tersemat di jemarinya. Perasaan takut segera menyergap. Tanpa menunda, kakinya segera berlari keluar toilet menuju toko perhiasan. Di depan toko, sudah tidak terlihat Zeega. Wajah Rere begitu tegang saat memasuki area dalam toko yang ter

    Last Updated : 2022-05-23
  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 3. Cinta Monyet

    Melihat ekspresi wajah Rere yang begitu lucu, Freza tidak mampu menyembunyikan tawanya. Suaranya begitu keras, membumbung ke langit-langit cafe. “Pasti itu tadi ekspresi kamu waktu Zeega bilang kayak gitu tadi, ya?” selidik Freza. Dia menggoda Rere setelah wanita itu menceritakan beberapa kejadian yang dialami di mall, saat tadi mereka berboncengan motor menuju cafe. Dengan emosi yang belum stabil, Rere menggerakkan lengan dengan kekuatan penuh untuk melemparkan tas tangannya tepat ke muka Freza. Sebagai anggota karate, refleks lelaki itu cukup baik hingga mampu menghindar tepat pada waktunya. “Ketawa lagi, aku lempar lagi, pakai piring nanti,” tambah Rere. Freza mengatupkan kedua tangannya pertanda meminta ampun kepada Rere. Sebelum pertengkaran melebar, sang pramusaji datang membawa pesanan mereka. Energi yang sudah terkuras cukup banyak membuat Rere memakan nasi gorengnya begitu cepat dan lahap.Freza mencoba mengutarakan pikirannya lagi. “Kamu sih, lelaki kayak begitu, kok,

    Last Updated : 2022-05-23
  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 4. Prosesi Akad

    Tidak terasa sudah selesai masa-masa perkuliahan bagi Rere dan teman-teman seangkatannya, termasuk Freza dan beberapa mahasiswa lain yang juga telat pun mampu mengikuti wisuda di periode yang sama.Masih terasa aneh bagi Rere bahwa, saat wisuda beberapa hari yang lalu tidak diikuti oleh Zeega. Padahal, tiga bulan sebelumnya, dia malah takut saat mau masuk ke kampus akan bertemu temannya itu, setelah kejadian di mall yang memalukan itu. Namun, dia malah disuguhi berita bahwa sehari setelah kejadian tidak mengenakan di mall, Zeega memutuskan pindah kuliah dan tidak ada lagi kabarnya.Karena menjadi misteri, bahkan setelah beberapa bulan pun kepergian Zeega yang tiba-tiba masih menjadi berita segar yang selalu diperbincangkan di beberapa kesempatan. Rere pun terkadang masih bertanya-tanya, bahkan sesekali membicarakan hal ini kepada Freza.“Apaan sih, Re. Udah lama, masih dibahas juga. Kita ini sudah wisuda, yang berlalu biarlah berlalu,” jawab Freza ketus.“Iya sih. Tapi, aku itu kasian

    Last Updated : 2022-05-23
  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 5. Hadiah dari Ibu

    Rere terus terpojok hingga tubuhnya membentur meja wastafel, hingga dia tidak bisa kabur ke mana pun.“Mas, kamu mau apa? Aku mau keluar dulu, biar kamu bisa ganti piama,” kata Rere lirih sambil berusaha mendorong tubuh tinggi besar itu. Sayangnya, usahanya tidak membuahkan hasil. Tubuh kecilnya tidak mampu menyingkirkan lelaki di hadapannya.Kedua tangan Freza melingkari pinggang Rere, tanpa berucap sepatah kata pun. Wajah wanita itu menjadi semerah kepiting rebus. Napasnya tidak beraturan. Dia tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi terhadap keduanya di dalam sini. Sedangkan Freza, hanya senyum-senyum menikmati kegugupan istrinya itu.Rere menutup matanya seketika. Dan detik berikutnya, sebuah suara ponsel dari arah kamar, membuatnya membuka mata kembali.“Ada telepon, Mas. Jangan-jangan itu Ibu. Aku angkat dulu, ya?” Tangan Rere berusaha melepaskan rengkuhan lengan Freza di pinggangnya. Dia berlari secepatnya saat kesempatan kabur terbuka lebar. Lelaki itu terus tersenyum me

    Last Updated : 2022-05-23
  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 6. Hari Pertama Bekerja

    Rere membuka surat tersebut dan membacanya. Isi surat tersebut tidaklah banyak, tetapi cukup mampu membuat air matanya tidak mau berhenti.[Rere sayang,Ini adalah hadiah untuk pernikahanmu. Maaf, Ibu tidak memiliki harta untuk bisa diberikan.Satu yang pasti, Ibu akan selalu mendoakan untuk kesuksesanmu, dan agar pernikahanmu dengan Nak Freza dilimpahi kebahagiaan.Ibu tidak khawatir menyerahkanmu kepada Nak Freza, karena dia begitu baik, terhadapmu dan juga Ibu.Ibu berharap, kamu mau menggunakan hadiah dari Ibu ini. Untuk menjaga dirimu, saat mungkin Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi suatu saat nanti.Ibu sayang Rere selalu.]Dia letakkan surat itu kembali ke dalam kotak, dan mengambil selembar hijab berwarna pelangi dari dalamnya. Warna hijab itu begitu indah. Pelangi yang akan selalu menghiasi hidup Rere, meskipun ibunya sudah tidak lagi di sisinya. Rere memeluk hijab itu sambil berucap terima kasih yang begitu dalam. Meskipun ibunya tidak di sini, dia yakin bahwa sang ibu

    Last Updated : 2022-05-23
  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 7. Berita Pertunangan

    Langkah kaki Freza berjalan cepat memasuki bandara. Seorang wanita paruh baya, dengan lipstik merah merona melengkapi penampilannya yang cantik dan elegan. Wanita yang berdiri di bagian dalam pintu masuk itu tersenyum dan menyambut kedatangannya.“Selamat datang, Tuan Muda. Mari ikuti saya.” Wanita bernama Merlyn tersebut merupakan asisten pribadi Freza.Tubuh mereka menjauh dari keramaian bandara untuk penerbangan regular. Menuju area bandara yang lebih sepi, kemudian masuk ke sebuah lounge yang hampir tidak ada orang di sana.Lounge itu dilengkapi dengan fasilitas mewah, untuk memanjakan para penumpang pesawat jet pribadi. Merlyn terus berjalan melewati sofa tunggu, meja yang menghidangkan makanan dari berbagai negara, lalu sedikit berbelok menuju sebuah pintu yang agak tersembunyi.Sidik jarinya ditekankan pada sebuah sensor di pintu untuk membuatnya terbuka. Ruangan itu lebih kecil dari lounge yang barusan mereka lewati, tetapi semua fasilitas yang ada tidak kalah mewah dan lengka

    Last Updated : 2022-05-31
  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 8. Di Luar Ekspektasi

    Selesai mengantarkan Fika hingga naik ke mobil jemputan sekolah, Rere kembali ke dalam dan memulai pekerjaannya.“Akhirnya anak itu mau juga disuruh siap-siap. Ayo Rere, semangat!” ujarnya menyemangati diri sendiri.Dia langsung menuju dapur. Ada tumpukan piring kotor yang sepertinya sudah ada sejak kemarin.Pandangannya beralih pada selembar kertas yang tertempel di pintu kulkas. Kata majikan perempuannya, itu catatan yang dia perlu tahu. Setelah membaca cepat, ternyata sebagian isinya tentang penggunaan peralatan otomatis.“Berarti nyuci piringnya pakai alat cuci otomatis, ya? Mmm … mana, ya?” Kepalanya celingukan mencari alat cuci piring di sekitar situ.Dibukanya sebuah pintu kotak di bawah meja, dengan kaca gelap di bagian depannya. Itu adalah oven, bukan alat cuci piring.Di sebelahnya, ada beberapa pintu-pintu lain yang dia buka satu per satu untuk memastikan isinya. Akhirnya dia bisa menemukan yang dicari.Segera saja dia masukkan semua piring yang kotor. Sesuai instruksi di c

    Last Updated : 2022-06-02
  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 9. Permainan di Drama Korea

    “Assalamualaikum, Eyang.” Freza mendekati tempat tidur neneknya, lalu mencium tangan wanita tua itu.Sudah hampir enam bulan, sang nenek terbaring di ranjang karena penyakit stroke-nya. Menurut dokter, neneknya bisa segera berjalan kembali, selama rajin mengikuti terapi. Namun, dia urung karena merasa tidak diperhatikan oleh keluarganya. Rasanya lebih baik cepat diambil nyawa saja.Matanya berbinar saat melihat satu-satunya orang yang paling dia rindukan akhirnya datang.“Waalaikumussalam. Freza … sayang ….” kata Rowena.“Eyang, aku sudah lulus kuliah, lho.” Senyumnya begitu lebar saat mengabarkan berita bahagia tersebut.“Alhamdulillah. Berarti ada yang temani Eyang lagi di rumah ini.”Bagi Rowena, hanya cucunya yang paling memahami dan mengerti dirinya. Selalu bersedia mendengarkan kenangan-kenangan masa lalu yang membangkitkan gairahnya, serta mampu membuat senyum itu merekah. Senyum yang jarang lagi tampak belakangan ini. Karena semua orang di rumah besar itu lebih memilih menyib

    Last Updated : 2022-06-03

Latest chapter

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 82.

    - Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 81. Kita Bisa Jadi Saudara

    “Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 80. Konsekuensi

    Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 79. Pernikahan yang Terungkap

    Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 78. Tatapan Freza

    “Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 77. Masa Kecil Freza

    Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 76. Jujur atau Tidak?

    “Sepertinya tamu asing itu belum datang?” tanya Ivo kepada Freza yang duduk di sebelahnya.“Menunggu tamu asing itu sepertinya.”Ivo menoleh ke kiri dan kanan seakan mencari seseorang. “Aku juga belum melihat orang tuamu.”“Mungkin mereka belum selesai bersiap.” Freza mengambil gelasnya dengan santai, lau meminumnya.Acara malam ini tidak dipadati banyak tamu, tetapi terasa begitu indah dan dipersiapkan dengan sangat baik. Banyak bunga segar tersebar di dalam ruangan.Beberapa orang berdiri di dekat meja kudapan untuk memakan makanan-makanan kecil sambil menunggu acara utama dimulai.“Kamu tahu, saat kita memenangkan proyek kemarin itu, terlihat Kevin sangat tidak senang.” Ivo tertawa sambil menatap Freza.“Aku tahu.”“Aku penasaran. Bagaimana bisa proposal bisnis kita sedikit berbeda dari yang terakhir kita sepakati di rapat?” tanya Ivo lebih serius kali ini.“Ah, itu. Saat malam aku memgeceknya lagi, terasa ada yang kurang. Jadi aku meminta Gina untuk menambahkan atau menghapus yang

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 75. Niat Rere

    Rowena beberapa kali mendengkus karena Rere tidak kunjung datang. Wanita tua itu menanti kedatangan Rere, tidak seperti biasanya.Semakin sering dia ditinggal Rere untuk pekerjaan lain, semakin dia merindukan perawatnya itu.“Ternyata semakin Rere sering tidak ada, semakin terasa bahwa dia yang paling bisa merawatku.” Mata Rowena memandang keluar jendela sembari tubuhnya duduk di atas kursi roda.Nenek Freza sudah terlihat segar setelah tidur sebentar tadi, setelah acara penyambutan tamu asing. Lalu seorang perawat lain membantunya untuk bebenah diri setelah terbangun.Sejak terakhir acara tadi, dia belum melihat Rere. “Mungkin dia masih menegerjakan persiapan untuk makan malam nanti. Yasudah lah.”Bahkan hingga bersiap-siap untuk makan malam pun, Rowena dibantu oleh seorang penata gaya, dari rambut hingga pakaian.Rere belum terlihat masuk ke dalam kamar, padahal dia pun seharusnya sudah mulai bersiap.***Pintu terbuka dari luar, saat seorang wanita memasuki kamar hotel. Wajahnya be

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 74. Gaun Pembawa Bencana

    Lutut Rere gemetar, dan dadanya sesak. Takdir selalu menempatkannya di posisi sulit akhir-akhir ini. Terutama yang berkaitan dengan suaminya.Tidak perlu waktu lama, Freza sudah memutar wajahnya untuk memandang Rere. Wajahnya terpaku saat melihat dandanan istrinya yang tidak biasa. Sungguh anggun dan cantik, walau belum menaburkan make-up di wajah.Merasa tidak dihiraukan, Rowena menarik pipi Freza untuk kembali memandangnya. Belum sempat sang nenek mengeluarkan suara, wajah Freza kembali memandang Rere secara otomatis.“Freza! Kenapa kamu tidak menghiraukan eyang?” Kini kedua lengan Rowena dilipat di depan dadanya.“Ah, eyang. Maaf maaf. Aku seperti tersihir barusan.” Freza memalingkan wajahnya sambil tertawa dan kini memandangi sang nenek.“Mbak Rere cantik sekali. Gaunnya juga indah,” puji Sesil.“Sudah-sudah, tidak perlu hiraukan dia. Kalian ke sini mau mengobrol dengan eyang, kan?” Lagi-lagi Rowena merajuk. Dengan otomatis Freza dan Sesil kembali berfokus pada sang nenek.Melihat

DMCA.com Protection Status