Di toilet, Rere segera mencuci mukanya yang sudah tampak seperti adonan tepung yang di-templok-in sembarang ke wajahnya. Dalam sekejap, bedak bayi serta polesan lip-balm yang dia gunakan di wajah pun luntur, kemudian hanya menyisakan muka alaminya. Pikirannya memutar ulang ingatan saat di dalam mobil Zeega, sewaktu berangkat tadi. Sempat lelaki itu terlihat menahan tawa, tetapi Rere tak acuh karena sedang grogi.Namun, sekarang semuanya jelas. Wajahnya sudah berantakan sejak berangkat tadi. Dia merutuki diri sendiri, merasa begitu bodoh dan jelek. Hatinya sakit jika membayangkan perasaan malu yang sejak tadi dipendam oleh teman jalannya, Zeega. Kedua tangannya masih memegangi wajahnya setelah dicuci. Saat itu pula, dia menyadari sebuah cincin masih tersemat di jemarinya. Perasaan takut segera menyergap. Tanpa menunda, kakinya segera berlari keluar toilet menuju toko perhiasan. Di depan toko, sudah tidak terlihat Zeega. Wajah Rere begitu tegang saat memasuki area dalam toko yang ter
Melihat ekspresi wajah Rere yang begitu lucu, Freza tidak mampu menyembunyikan tawanya. Suaranya begitu keras, membumbung ke langit-langit cafe. “Pasti itu tadi ekspresi kamu waktu Zeega bilang kayak gitu tadi, ya?” selidik Freza. Dia menggoda Rere setelah wanita itu menceritakan beberapa kejadian yang dialami di mall, saat tadi mereka berboncengan motor menuju cafe. Dengan emosi yang belum stabil, Rere menggerakkan lengan dengan kekuatan penuh untuk melemparkan tas tangannya tepat ke muka Freza. Sebagai anggota karate, refleks lelaki itu cukup baik hingga mampu menghindar tepat pada waktunya. “Ketawa lagi, aku lempar lagi, pakai piring nanti,” tambah Rere. Freza mengatupkan kedua tangannya pertanda meminta ampun kepada Rere. Sebelum pertengkaran melebar, sang pramusaji datang membawa pesanan mereka. Energi yang sudah terkuras cukup banyak membuat Rere memakan nasi gorengnya begitu cepat dan lahap.Freza mencoba mengutarakan pikirannya lagi. “Kamu sih, lelaki kayak begitu, kok,
Tidak terasa sudah selesai masa-masa perkuliahan bagi Rere dan teman-teman seangkatannya, termasuk Freza dan beberapa mahasiswa lain yang juga telat pun mampu mengikuti wisuda di periode yang sama.Masih terasa aneh bagi Rere bahwa, saat wisuda beberapa hari yang lalu tidak diikuti oleh Zeega. Padahal, tiga bulan sebelumnya, dia malah takut saat mau masuk ke kampus akan bertemu temannya itu, setelah kejadian di mall yang memalukan itu. Namun, dia malah disuguhi berita bahwa sehari setelah kejadian tidak mengenakan di mall, Zeega memutuskan pindah kuliah dan tidak ada lagi kabarnya.Karena menjadi misteri, bahkan setelah beberapa bulan pun kepergian Zeega yang tiba-tiba masih menjadi berita segar yang selalu diperbincangkan di beberapa kesempatan. Rere pun terkadang masih bertanya-tanya, bahkan sesekali membicarakan hal ini kepada Freza.“Apaan sih, Re. Udah lama, masih dibahas juga. Kita ini sudah wisuda, yang berlalu biarlah berlalu,” jawab Freza ketus.“Iya sih. Tapi, aku itu kasian
Rere terus terpojok hingga tubuhnya membentur meja wastafel, hingga dia tidak bisa kabur ke mana pun.“Mas, kamu mau apa? Aku mau keluar dulu, biar kamu bisa ganti piama,” kata Rere lirih sambil berusaha mendorong tubuh tinggi besar itu. Sayangnya, usahanya tidak membuahkan hasil. Tubuh kecilnya tidak mampu menyingkirkan lelaki di hadapannya.Kedua tangan Freza melingkari pinggang Rere, tanpa berucap sepatah kata pun. Wajah wanita itu menjadi semerah kepiting rebus. Napasnya tidak beraturan. Dia tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi terhadap keduanya di dalam sini. Sedangkan Freza, hanya senyum-senyum menikmati kegugupan istrinya itu.Rere menutup matanya seketika. Dan detik berikutnya, sebuah suara ponsel dari arah kamar, membuatnya membuka mata kembali.“Ada telepon, Mas. Jangan-jangan itu Ibu. Aku angkat dulu, ya?” Tangan Rere berusaha melepaskan rengkuhan lengan Freza di pinggangnya. Dia berlari secepatnya saat kesempatan kabur terbuka lebar. Lelaki itu terus tersenyum me
Rere membuka surat tersebut dan membacanya. Isi surat tersebut tidaklah banyak, tetapi cukup mampu membuat air matanya tidak mau berhenti.[Rere sayang,Ini adalah hadiah untuk pernikahanmu. Maaf, Ibu tidak memiliki harta untuk bisa diberikan.Satu yang pasti, Ibu akan selalu mendoakan untuk kesuksesanmu, dan agar pernikahanmu dengan Nak Freza dilimpahi kebahagiaan.Ibu tidak khawatir menyerahkanmu kepada Nak Freza, karena dia begitu baik, terhadapmu dan juga Ibu.Ibu berharap, kamu mau menggunakan hadiah dari Ibu ini. Untuk menjaga dirimu, saat mungkin Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi suatu saat nanti.Ibu sayang Rere selalu.]Dia letakkan surat itu kembali ke dalam kotak, dan mengambil selembar hijab berwarna pelangi dari dalamnya. Warna hijab itu begitu indah. Pelangi yang akan selalu menghiasi hidup Rere, meskipun ibunya sudah tidak lagi di sisinya. Rere memeluk hijab itu sambil berucap terima kasih yang begitu dalam. Meskipun ibunya tidak di sini, dia yakin bahwa sang ibu
Langkah kaki Freza berjalan cepat memasuki bandara. Seorang wanita paruh baya, dengan lipstik merah merona melengkapi penampilannya yang cantik dan elegan. Wanita yang berdiri di bagian dalam pintu masuk itu tersenyum dan menyambut kedatangannya.“Selamat datang, Tuan Muda. Mari ikuti saya.” Wanita bernama Merlyn tersebut merupakan asisten pribadi Freza.Tubuh mereka menjauh dari keramaian bandara untuk penerbangan regular. Menuju area bandara yang lebih sepi, kemudian masuk ke sebuah lounge yang hampir tidak ada orang di sana.Lounge itu dilengkapi dengan fasilitas mewah, untuk memanjakan para penumpang pesawat jet pribadi. Merlyn terus berjalan melewati sofa tunggu, meja yang menghidangkan makanan dari berbagai negara, lalu sedikit berbelok menuju sebuah pintu yang agak tersembunyi.Sidik jarinya ditekankan pada sebuah sensor di pintu untuk membuatnya terbuka. Ruangan itu lebih kecil dari lounge yang barusan mereka lewati, tetapi semua fasilitas yang ada tidak kalah mewah dan lengka
Selesai mengantarkan Fika hingga naik ke mobil jemputan sekolah, Rere kembali ke dalam dan memulai pekerjaannya.“Akhirnya anak itu mau juga disuruh siap-siap. Ayo Rere, semangat!” ujarnya menyemangati diri sendiri.Dia langsung menuju dapur. Ada tumpukan piring kotor yang sepertinya sudah ada sejak kemarin.Pandangannya beralih pada selembar kertas yang tertempel di pintu kulkas. Kata majikan perempuannya, itu catatan yang dia perlu tahu. Setelah membaca cepat, ternyata sebagian isinya tentang penggunaan peralatan otomatis.“Berarti nyuci piringnya pakai alat cuci otomatis, ya? Mmm … mana, ya?” Kepalanya celingukan mencari alat cuci piring di sekitar situ.Dibukanya sebuah pintu kotak di bawah meja, dengan kaca gelap di bagian depannya. Itu adalah oven, bukan alat cuci piring.Di sebelahnya, ada beberapa pintu-pintu lain yang dia buka satu per satu untuk memastikan isinya. Akhirnya dia bisa menemukan yang dicari.Segera saja dia masukkan semua piring yang kotor. Sesuai instruksi di c
“Assalamualaikum, Eyang.” Freza mendekati tempat tidur neneknya, lalu mencium tangan wanita tua itu.Sudah hampir enam bulan, sang nenek terbaring di ranjang karena penyakit stroke-nya. Menurut dokter, neneknya bisa segera berjalan kembali, selama rajin mengikuti terapi. Namun, dia urung karena merasa tidak diperhatikan oleh keluarganya. Rasanya lebih baik cepat diambil nyawa saja.Matanya berbinar saat melihat satu-satunya orang yang paling dia rindukan akhirnya datang.“Waalaikumussalam. Freza … sayang ….” kata Rowena.“Eyang, aku sudah lulus kuliah, lho.” Senyumnya begitu lebar saat mengabarkan berita bahagia tersebut.“Alhamdulillah. Berarti ada yang temani Eyang lagi di rumah ini.”Bagi Rowena, hanya cucunya yang paling memahami dan mengerti dirinya. Selalu bersedia mendengarkan kenangan-kenangan masa lalu yang membangkitkan gairahnya, serta mampu membuat senyum itu merekah. Senyum yang jarang lagi tampak belakangan ini. Karena semua orang di rumah besar itu lebih memilih menyib