Sesampainya di Surabaya, Freza tidak langsung berangkat ke kantor Big Star, melainkan ke sebuah ruko yang sudah dipersiapkan Merlyn sesuai instruksinya.Untuk menghindari adanya karyawan Big Star yang tahu, dia memutuskan untuk memesan ojek online, lebih aman pikirnya.Hari ini, dia pun tidak meminta Merlyn untuk ikut serta. Asisten pribadinya itu langsung menuju gedung Big Star untuk menyiapkan beberapa dokumen yang harus dia pelajari sebelum rapat siang ini.Sampai di depan sebuah ruko, Freza mengenakan masker, karena kali ini dia tidak ingin dikenali terlebih dahulu. Ternyata, di dalam sudah ada empat orang karyawan laki-laki dan seorang perempuan. Mereka semua akan bekerja dengan Freza di ruko tersebut.Yang mereka tahu, ini adalah perusahaan rintisan untuk mengerjakan proyek di bidang properti dengan lebih mengedepankan kecanggihan teknologi. Sehingga, beberapa dari karyawan itu ahli di bidang teknologi dan perangkat lunak.Untuk meyakinkan bahwa dirinya adalah pemimpin tim terse
Sebelum makan siang berakhir, Freza sudah kembali ke kantor Big Star. Hari ini akan ada meeting untuk meninjau hasil kerja timnya. Karena dua bulan lagi akan ada eksibisi besar bagi industri real estate dan apartment, maka akan jadi kesempatan bagi Freza dan timnya untuk bangkit. Eksibisi yang akan dilakukan di sebuah hotel di Nusa Tenggara itu akan mempertemukan calon investor, calon customer, dengan beberapa perusahaan ternama di bidang properti. Mengingat investor dan customer yang datang berasal dari dalam dan luar negeri, perusahaan yang diundang pun adalah perusahaan yang sudah memiliki nama dan pengalaman tinggi. Tujuan Freza hanya satu, dia harus bisa mendapatkan proyek dari eksibisi yang eksklusif itu. Kesempatan yang hanya bisa dirasakan oleh sedikit perusahaan. Karena pihak penyelenggara sangat selektif terhadap undangan yang diajukan. “Kita tidak punya banyak waktu. Dua bulan adalah waktu yang sangat sempit untuk melakukan persiapan.” Semua peserta rapat sangat seriu
Merlyn merapikan pakaian serba hitamnya saat keluar dari mobil merahnya. Diliriknya jam di pergelangan tangan, masih lima menit lagi sebelum rapat Freza berakhir. “Bagus, masih tepat waktu. Untung saja jalanan tidak macet.” Wanita anggun itu menyapukan punggung tangannya untuk menghilangkan keringat yang muncul di keningnya. Tentu saja bukan keringat karena kepanasan. Melainkan keringat dingin, takut jika dia datang setelah rapat berakhir. Sebisa mungkin dia menghindari pertanyaan-pertanyaan dari tuannya tentang keberadaannya selama Freza rapat. Langkahnya berjalan cepat untuk masuk ke gedung Big Star. Dia melewati lobi dan terus menuju lift khusus yang langsung ke ruangan Direktur. Ada dokumen yang perlu dia letakkan di atas meja. Beberapa tugas tambahan dari Freza. “Dari mana Merlyn?” Begitu kagetnya wanita berambut cokelat itu saat membuka pintu kantor Freza, sebuah suara menyapanya dari dalam ruangan. “Ah, Tuan Freza. Sudah selesai meetingnya? Saya kira baru akan selesai?”
Selama perjalanan ke kamarnya, Rowena terus menggerutu karena usulnya ditolak oleh Silvia. Bukan tanpa alasan. Silvia tidak menyetujui usulan ibu mertuanya itu karena takut Freza akan semakin menjauh dari keluarganya jika sampai tahu itu hanya bohongan. Saat ini hubungan Freza dan kedua orang tuanya sedang sedikit menegang. Jangan sampai ada masalah lain yang muncul. Rere hanya mendengarkan saat sang nenek bersungut-sungut kesal. Kadang dia pun tersenyum saat mendengar kata-kata ocehan Rowena. Dia terus mendorong kursi roda sang nenek hingga masuk ke dalam kamar. “Kamu tahu, Silvia itu menantu yang aneh! Dia sepertinya tidak ingin punya cucu. Tidak ingin Freza segera menikah.” Merasa tidak ada tanggapan dari Rere, Rowena sedikit berteriak kepada perawatnya itu, “Heh, Rere! Kamu dengar tidak omonganku barusan?” “Oh, iya, Eyang. Saya dengar semuanya.” “Terus, kenapa kamu hanya diam saja? Aku ini mengajakmu bicara.” “I-iya, Eyang, maafkan saya. Saya tidak tahu harus menanggapi apa
Freza mengendarai mobil ditemani Merlyn di bangku sebelahnya. Roda mobil berhenti di pinggir trotoar, setelah akhirnya terbebas dari kemacetan kota.Keduanya memasuki sebuah toko bunga yang ada di pinggiran trotoar tersebut. Banyak bunga-bunga segar dipajang di depan toko hingga ke dalam ruangan.“Pilihkan aku bunga yang bagus!” ucap Freza langsung kepada Merlyn yang sudah berdiri di sebelahnya, di atas sepatu hak tinggi kuningnya.“Tuan Muda perlu setangkai bunga, seperti mawar merah, atau buket dengan berbagai macam bunga?”Merlyn bertanya sambil mengambil setangkai mawar merah di salah satu keranjang bunga. Dia mencium aroma bunga itu.“Setangkai bunga? Jauh-jauh membelah kemacetan hanya untuk setangkai bunga? Yang benar saja. Pilih yang bagus dan buket yang besar!”“Baik, Tuan. Kita coba masuk saja langsung bertemu pemilik tokonya.”Merlyn mendahului Freza untuk masuk ke dalam ruangan kecil di depan mereka.Belum sempat wanita itu sampai di pintu toko, kakinya terpeleset sedikit k
Bimbang dengan situasi yang ada, akhirnya Rere hanya berdiam di dalam ballroom, tidak mengejar Freza yang tadi langsung pergi dengan begitu marah.Setelah melihat kejadian tadi, suaminya itu tidak memicu pertengkaran seperti biasanya. Dia hanya memandang ke arah Rere dan Zeega sejenak, lalu ke arah ibunya, dan akhirnya memutar tubuhnya untuk melangkah keluar dari ruangan besar hotel.Sejenak Rere berkeinginan untuk mengejar. Namun, akal sehatnya memintanya untuk tinggal. Tidak mungkin dia berlari meninggalkan Silvia. Akan muncul berbagai pertanyaan nantinya.Walaupun hal barusan juga pasti memancing rasa penasaran ibu mertuanya itu.“Apa yang terjadi dengan Freza?” tanya Silvia saat tinggal Rere dan dirinya di dalam ballroom.“Saya kurang tahu, Bu. Tadi Pak Freza berteriak dan langsung pergi.”Pikiran Rere menjadi tidak tenang. Di satu sisi dia seharusnya meredam kemarahan suaminya. Satu sisi lain, dia teringat kalimat Zeega sebelum lelaki itu pergi.“Aku tahu siapa yang membeli rumah
Dipandangnya jam di atas nakas kecil di sebelah kasur, sudah tengah malam, tetapi mata Rere belum bisa terpejam.Bersyukur pertemuan dengan event organizer tadi berjalan lancar. Dia sudah tidak peduli jika ada yang menggunjing tentang mukanya yang sembab.“Mukamu kenapa, Re?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Silvia setelah rapat malam tadi.Dengan gelengan lembut, Rere hanya menjawab bahwa dia mendapat berita tidak baik dari teman yang dia temui sebelumnya. Untung saja ibu mertuanya itu percaya, sehingga tidak ada lagi pertanyaan lainnya.Walaupun hanya Silvia yang bertanya langsung, tetapi Rere mendengar beberapa orang berbisik-bisik sekaligus menatap wajahnya di tengah rapat.Melihat muka Rere yang tidak baik-baik saja, Silvia menawarkan Rere untuk menyelesaikan hal dengan temannya itu, jika memang masih diperlukan.“Kalau begitu, apa saya boleh meminta izin malam ini hingga besok, Bu? Saya akan kembali pada pagi hari, lusa.” Rere menyambut tawaran Silvia dengan jawaban lugas.Seper
Sampai di kamar hotel Freza, Rere masih memikirkan tentang pertemuannya dengan Kevian tadi pagi. Bahkan selama di perjalanan, hingga saat pergi ke penerbitan bukunya siang tadi, pikirannya terus melayang.Tubuh Rere terus bergerak miring ke kiri dan kanan, tak tenang. Sampai-sampai, dia pun lupa kalau sampai saat ini Freza masih belum kembali ke kamar hotelnya. Tidak juga menghubungi Rere.Sesekali wanita itu terduduk di atas tempat tidur. Namun, kembali lagi berbaring. Begitu terus hingga larut malam.“Saya mau Mbak Rere membantu saya untuk mempresentasikan sebuah proyek di depan calon investor. Saya dengar, Mbak Rere ini sangat pintar. Kebetulan, karyawan saya yang biasa melakukannya sedang cuti. Tidak sampai seharian. Bagaimana? Saya akan izin ke tante Silvia jika perlu.”Kata-kata itu terus berputar dan berulang di kepalanya. Ini sungguh syarat yang sulit menurutnya. Tapi, dia hanya punya waktu sampai besok pagi untuk memberi keputusan.Bagaimana bisa dia melakukan presentasi mewa