Sudah 3 hari Freza di rumah orang tuanya. Selama seminggu ini, dia akan bekerja dari rumah.Rapat jarak jauh yang dilakukan Freza dan timnya saat ini, sangatlah menegangkan.Walaupun berada di rumah pulaunya, Freza tetap memantau semua pekerjaan dengan conference call.Mereka harus segera membuat rencana baru dalam menarik investor lagi. Freza hanya punya waktu 6 bulan untuk melakukannya.Akan ada beberapa tim yang akan mengajukan proposal ke beberapa target investor, baik investor lama atau baru.Selain itu, mereka akan membahas proyek yang harus mereka kerjakan dalam waktu dekat. Proyek ini tidak bernilai besar, tetapi tetap harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.Freza termasuk orang yang sangat detail dan mau hasil sempurna, apa pun proyek atau pekerjaan yang dilakukan.Setelah hampir 5 jam mengurung di ruang kerjanya, dia pun mengakhiri panggilan hari ini. Dan akan dilanjutkan besok pagi lagi.Dia hanya perlu menerima laporan-laporan melalui email. Yang akan dibacanya nanti.Deng
Ivo hari ini datang untuk langsung rapat bersama Ruma dan Freza, di rumah pulau keluarga besar Freza, membahas perkembangan perusahaan.Sudah hampir seminggu Freza masih di rumah, karena ingin ikut mendampingi Rere sementara ini.Akhir minggu ini, dia sudah kembali lagi ke Surabaya. Datang ke kantor secara langsung.Mereka bertiga membicarakan hal sangat serius, karena menyangkut perusahaan yang ada di Jakarta juga.Performa Big Star tidak baik-baik saja. Investor utama Big Star group sedang bergejolak untuk ikut menarik dananya.Hal ini berdampak pada beberapa bisnis lain yang juga dijalani Big Star. Dengan bisnis terbesarnya adalah properti, yang berkantor di Surabaya.“Kita harus meyakinkan mereka bahwa kita masih bisa berkembang. Bahwa kita bisa memberi keuntungan bagi mereka.”“Mereka begitu rakus. Seharusnya mereka itu mendukung kita saat senang dan sulit. Bukan hanya saat senang saja, dapat untung banyak,” celoteh Freza sambil menyandarkan tubuh di sofa. "Kamu jangan asal bica
Pagi-pagi sekali Freza akan kembali ke Surabaya, sehingga Rere sudah sibuk membuatkan bekal untuk suaminya.Sangat jarang dia bisa melayani suaminya. Hari ini dia coba menyempatkan diri sibuk di dapur. Walaupun tubuhnya sedang tidak bisa diajak kompromi.Beberapa kali, dia harus duduk di kursi karena kepalanya sedikit berputar. Beberapa hari ini, dia muntah, tetapi tidak banyak yang dikeluarkan dari perut.Padahal, Rere sudah meminum jamu sasetan yang dijual bebas. Dia mendapatkannya dari persediaan yang ada di rumah itu. Cukup beragam obat yang disimpan.Dia harus kuat! Sedikit lagi selesai, dan bisa segera dia berikan ke Freza.“Lagi ngapain, Mbak Rere?" Rere terlonjak karena kaget dengan sapaan barusan. Hartini datang untuk menawarkan bantuan, karena Rere terlihat sedikit pucat. Wanita itu beberapa kali melewati dapur, dan beberapa kali pula dia melihat Rere yang sering beristirahat duduk. Namun, Rere menolak tawaran itu. "Baiklah, saya bantu untuk membereskan dapur saja, Mbak."
Sebuah mobil sedan baru saja berhenti di depan pintu rumah keluarga Margada. Ruma dan silvia baru saja datang dari perjalanan bisnis, yang ternyata lebih lama dari perkiraan.Hartini, pembantu senior, memanggil pembantu lain untuk membantu membawakan koper. Melihat Rere sedang melintas untuk menuju kamar Rowena, Hartini pun memintanya membantu membawa koper.Hari ini, tubuhnya sudah sedikit lebih baik. Dengan langkah ringan, Rere segera menuju luar dan membantu membawa sebuah koper dari dalam mobil.Rere mendorong koper hingga anak tangga paling bawah, lalu mengangkatnya naik ke lantai 2. Baru saja kakinya menginjak anak tangga ketiga, tubuhnya limbung. Satu kakinya tergelincir di tepi anak tangga, dan tubuhnya jatuh berguling hingga kembali lagi ke lantai.Cukup beruntung bagi Rere, karena koper yang tadi dia bawa hanya berguling hingga anak tangga terbawah, tidak sampai jatuh di tubuhnya. Karena benturan di kepala saat terjatuh, Rere tidak sadarkan diri.Kejadia itu memicu kepanikan
Freza begitu gelisah pagi itu di dalam pesawat jet pribadi milik keluarganya. Kepalanya berkecamuk. Hari ini dia menghadapi pilihan yang sulit.Sejak semalam, dia terus memikirkan keputusan yang harus diambil. Akhirnya, dia memilih untuk pulang.Suara ponselnya berdering, dan lagi, dia ragu untuk mengangkatnya. Itu pasti Ivo, pakdenya. Ponselnya terus berdering.Dengan berat, dia pun mengangkatnya. Sebelum Ivo bicara, Freza sudah bisa menebak arah pembicaraannya.Tidak lama basa basi setelah telepon diangkat, Ivo segera masuk ke topik utamanya.“Fre, kenapa kamu pulang tiba-tiba? Kalau kamu tidak muncul, bisa-bisa kita kehilangan respect dari calon investor kita.”“Pakde, ada kejadian yang sangat mendesak di rumah. Aku tidak bisa meninggalkannya. Tolong gantikan aku, please!”Ivo terus meyakinkan Freza bahwa investor dari luar ini bukanlah orang yang mudah diambil hatinya. Namun, jika mereka bisa mendapat kepercayaannya, ini adalah hasil yang sangat bagus. Mereka akan mendapat dana cu
Freza terus menyusuri lorong rumahnya untuk menuju kamar Rere, di area kamar pembantu. Langkahnya begitu yakin, tidak melambat sedikit pun.Perasaannya kini bercampur emosi setelah berbicara dengan ayahnya. Selalu saja, tidak jarang keduanya bertengkar jika ada kesempatan bertemu.Padahal, ingin juga dia merasakan momen-momen hangat bersama keluarganya, tanpa ada kepentingan pekerjaan di dalamnya. Yah, itu hanya angan-angannya saja. Sepertinya tidak akan terjadi.Dia teringat, dahulu, saat kakeknya meninggal pun, ayahnya tidak bisa mengikuti prosesi pemakaman karena sedang perjalanan bisnis. Freza sangat tidak habis pikir, apakah yang di pikiran ayahnya itu hanya tentang pekerjaan? Bukan yang lain, termasuk keluarga?Walaupun Freza mau bekerja di perusahaan Rumma, tetapi dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mau menjalani kehidupan seperti Rumma. Kehidupannya juga perlu diseimbangkan, tidak melulu tentang bisnis dan uang.Apa gunanya punya rumah sebesar pulau ini, jika bahkan
Freza segera berdiri dengan wajah yang seakan habis disiram air es, pucat, saat Silvia memasuki kamar Rere. Dahi wanita itu berkerut, dan sorot matanya terus tertuju pada kedua sosok di dalam kamar.“Kenapa kamu memeluk pembantu wanita di kamarnya, Fre? Itu tidak pantas!” Volume suara Silvia masih biasa, tetapi begitu banyak penekanan di intonasi bicaranya.Freza dan Rere hanya mampu terdiam melihat ibu Freza yang semakin mendekat. Sejenak yang lalu mereka terlalu hanyut dengan perasaan, hingga lupa jika mereka seharusnya tetap menjaga sikap. Bisa saja sewaktu-waktu ada orang memasuki kamar itu, seperti sekarang.“Ibu?”“Kenapa? Terkejut karena aku bisa memergoki kelakuan kalian yang tidak pantas itu?” Silvia sudah berdiri di hadapan Freza, sangat dekat dengan ranjang Rere.“Sudah lama ibu curiga dengan kelakuanmu. Dengan sikap khawatirmu yang berlebihan kepada seorang pembantu. Apa hubungan kalian sebenarnya, Fre? Tolong, jawab Ibu!”Tatapan Silvia bergantian memandang Freza dan Rere
Pagi ini keluarga Margada sedang melakukan sarapan, yaitu Rumma, Silvia, serta Freza. Saat mereka baru saja akan memulainya, seseorang yang lain ikut bergabung.“Selamat pagi semuanya!”Sapaan barusan menbuat ketiga orang di meja makan menoleh bersama. Dengan refleks, secara bersama-sama, ketiganya juga langsung berdiri, terkejut.“Eyang?” Freza yang pertama memecah keheningan.“Iya, sayang. Aku inging sarapan bersama dengan kalian.”“Mama sudah bisa bangun? Sudah bisa duduk di kursi?” Silvia mendekat ke kursi roda ibu mertuanya yang didorong oleh Rere.“Apa aku tidak boleh sembuh?”“Bukan begitu, Ma. Aku hanya terkejut karena senang. Kami senang Mama sudah bisa bergabung untuk sarapan bersama.”Rere membantu Rowena bangun dari kursi roda dan membantunya duduk di salah satu kursi. Silvia pun turut membantu.“Aku senang Mama sudah bisa bergabung di meja makan. Seharusnya Mama melakukan itu sejak dulu,” ucap Rumma menambahkan.Mendengar ucapan yang terdengar datar itu, Rowena menanggapi