Tiap kalimat yang disampaikan oleh dua tetangganya tadi seperti listrik yang menyengat otak hingga jantungnya. Mampu melumpuhkan tubuhnya. Bu Marni dan Bu Winda sudah berlalu, tetapi semua yang mereka ucapkan telah terekam dengan baik di kepala Rere. Kakinya sudah tidak bisa menopang beban tubuhnya, beban masalahnya. Tubuhnya terduduk di atas tanah, tempatnya berdiri saat ini. Air mata yang sempat mengering, kini harus berurai lagi. Apakah dia masih bisa menangis setelah ini? Cukup banyak dia menangis akhir-akhir ini. "Rumah orang tuaku ... ini rumah orang tuaku. Kenapa ya Allah? Kenapa?" ratap Rere di depan rumah yang sebelumnya milik orang tuanya. Apakah waktu dua bulan itu begitu lama? Hingga Rere bisa kehilangan rumah bersejarah itu tanpa dia menyadarinya. Menurut penjelasan tetangganya tadi, keluarga Pak Musni yang diberi tanggung jawab mengurusi kosannya pun tidak bisa dihubungi.Tiba-tiba Pak Musni dan keluarganya pindah keluar kota, dan tidak ada seorang pun tetangga yan
Tanpa menunggu respon selanjutnya dari Ruma, Freza segera mengutarakan kalimat untuk mengakhiri panggilan itu. Dan, tangannya segera mematikan ponselnya, agar tidak bisa menerima panggilan lagi.Wajah Freza kembali menatap tubuh mungil yang tertutup selimut di atas kasur yang tidak jauh darinya.Kakinya melangkah menuju sofa di sisi dekat Rere berbaring. Dia duduk untuk mengamati diam-diam wajah manis itu.Sejak menikah, tidak pernah keduanya tinggal di satu atap untuk waktu yang lama. Menyiksa memang bagi Freza. Sangat menyiksa, malah.Apalagi, istrinya ini bukan tipe wanita yang romantis, yang akan terus menghubungi duluan, dan seakan merindukannya tiap saat. Bukan!Rere termasuk wanita mandiri, tidak begitu memikirkan masalah asmara atau perasaannya.Tidak jarang, Freza harus menahan diri kuat-kuat jika ingin menyalurkan kerinduannya kepada istrinya. Kadang, kelakuan Rere yang tampak tidak peduli dengan hasratnya itu, membuatnya kesal.Namun, lagi-lagi, dia harus mengusir perasaan
Freza dan Rere memilih untuk melakukan sarapan di kamar. Semua makanan telah tersaji di atas meja makan, saat Freza masih di dalam kamar mandi. Baru saja bangun. Sebelum para pelayan meninggalkan kamar, Rere memberi sedikit uang tip yang disambut senang oleh dua orang pembawa makan itu. Rere memandangi bagian atas meja. Dia baru menyadari, ternyata banyak juga makanan yang dipesan olehnya dan Freza. "Sudah datang makanannya?" Freza keluar dari kamar mandi. "Iya. Ayo, makan!" Keduanya menikmati sarapan seperti belum makan tadi malam, begitu lahap. Salah satu kemiripan yang mereka punya, suka makan. Selesai menyantap semua makanan, kecuali buah-buahan yang tidak sanggup lagi dieksekusi, mereka pun berpindah ke sofa untuk duduk santai. Sejenak, mereka menurunkan makanan yang sudah begitu padat masuk ke dalam perut.Selain itu, waktu mereka keluar dari hotel pun masih nanti, jam 1 siang. Sesuai permintaan Freza kepada Merlyn. Asistennya ini akan menjemput mereka di sini.“Mas, aku
Perjalanan yang terasa lama bagi Freza itu, tidak dirasa lama oleh Sesil atau pun Rere dan Merlyn. Andai saja lelaki itu bisa kabur, atau memasang tembok pembatas, maka sudah dia lakukan. Dia ingin berteriak, tetapi takut kalau depresi Sesil kumat di pesawat, saat masih terbang di udara. Yang membuat lebih kesal, dia mendapati istrinya tidak peduli sama sekali. Terlihat cemburu pun tidak. Bahkan, wanita itu malah asyik tidur selama perjalanan. Jalan terakhir yang dilakukan Freza, akhirnya dia berpura-pura untuk tidur, walaupun tidak ngantuk. Dia sudah bangun cukup siang hari ini. Jadi, susah untuk memejamkan mata, sebenarnya. Seakan menjawab doa Freza yang terus diulang-diulang selama di pesawat, akhirnya mereka sudah mendarat di bandara pribadi milik keluarga Margada. Sebuah mobil Rolls Royce dengan nuansa black-gold, serta sebuah BMW hitam, sudah terparkir dekat berhentinya pesawat jet. Freza segera keluar pesawat diikuti Rere dan Merlyn. Sedangkan Sesil, masih sibuk dengan ba
Beberapa pelayan terlihat berbisik-bisik saat Freza menjemput Rere di kamarnya, untuk diantar menemui Rowena, nenek Freza. Sudah Rere peringatkan agar lelaki itu menjaga sikap, tetapi tetap saja berlaku semaunya. Rere takut, belum sebulan tetapi rahasia mereka bisa terbongkar. Bisa bahaya! Belum lagi dia tidak punya waktu menyicil naskah novelnya belakangan ini. Terlalu banyak urusan dan masalah. "Eyang ... aku bawa perawat pribadi baru untuk Eyang." Freza masuk dengan cengiran begitu lebar. "Asslamualaikum, Eyang," sapa Rere dengan tersenyum sopan. "Freza, sayangku. Eyang kangen sekali. Kamu ini lama-lama seperti orang di rumah ini, sibuk bekerja," rajuk neneknya. Rowena menatap Rere sekilas, lalu beralih lagi menatap cucunya. Dia tidak memedulikan Rere. "Eyang, kan, sudah bilang, untuk apa perawat? Mereka itu sangat menyebalkan. Tidak asyik. Sukanya hanya cari muka ke orang tuamu, tidak benar-benar merawat Eyang." Rowena mendengkus saat mengatakannya. Selama ini, perawat-per
Hari pertamanya sebagai perawat, tidaklah begitu sulit. Atau mungkin, belum datang masalah besar baginya. Walaupun sudah larut, dia masih membuka laptopnya, untuk sedikit menuliskan hasil risetnya. Beberapa hari terakhir, cukup sulit bagi Rere memiliki waktu untuk menulis. Terlalu banyak kejadian yang menguras emosi, sehingga otaknya tidak sanggup diajak berpikir hal lainnya. Hari ini, dia bertemu seorang pembantu yang terlihat sudah tua. Saat dia bertanya, wanita itu telah mengabdi di keluarga besar Margada selama kurang lebih 30 tahun. Waktu yang lama untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga menurut Rere. Namun, ternyata itu nyata. Ada pandangan baru dalam kepalanya. Berkarir itu tidak hanya sebatas bekerja di kantoran, melainkan di manapun seseorang bekerja dan mendapat kesuksesan, itu artinya dia berkarir. Pembantu yang sudah berumur sekitar 50 tahunan itu begitu santun. Pemaparannya begitu mengejutkan. Hal yang membuatnya senang bekerja dengan majikannya, bukanlah gaji y
Sudah 3 hari Freza di rumah orang tuanya. Selama seminggu ini, dia akan bekerja dari rumah.Rapat jarak jauh yang dilakukan Freza dan timnya saat ini, sangatlah menegangkan.Walaupun berada di rumah pulaunya, Freza tetap memantau semua pekerjaan dengan conference call.Mereka harus segera membuat rencana baru dalam menarik investor lagi. Freza hanya punya waktu 6 bulan untuk melakukannya.Akan ada beberapa tim yang akan mengajukan proposal ke beberapa target investor, baik investor lama atau baru.Selain itu, mereka akan membahas proyek yang harus mereka kerjakan dalam waktu dekat. Proyek ini tidak bernilai besar, tetapi tetap harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.Freza termasuk orang yang sangat detail dan mau hasil sempurna, apa pun proyek atau pekerjaan yang dilakukan.Setelah hampir 5 jam mengurung di ruang kerjanya, dia pun mengakhiri panggilan hari ini. Dan akan dilanjutkan besok pagi lagi.Dia hanya perlu menerima laporan-laporan melalui email. Yang akan dibacanya nanti.Deng
Ivo hari ini datang untuk langsung rapat bersama Ruma dan Freza, di rumah pulau keluarga besar Freza, membahas perkembangan perusahaan.Sudah hampir seminggu Freza masih di rumah, karena ingin ikut mendampingi Rere sementara ini.Akhir minggu ini, dia sudah kembali lagi ke Surabaya. Datang ke kantor secara langsung.Mereka bertiga membicarakan hal sangat serius, karena menyangkut perusahaan yang ada di Jakarta juga.Performa Big Star tidak baik-baik saja. Investor utama Big Star group sedang bergejolak untuk ikut menarik dananya.Hal ini berdampak pada beberapa bisnis lain yang juga dijalani Big Star. Dengan bisnis terbesarnya adalah properti, yang berkantor di Surabaya.“Kita harus meyakinkan mereka bahwa kita masih bisa berkembang. Bahwa kita bisa memberi keuntungan bagi mereka.”“Mereka begitu rakus. Seharusnya mereka itu mendukung kita saat senang dan sulit. Bukan hanya saat senang saja, dapat untung banyak,” celoteh Freza sambil menyandarkan tubuh di sofa. "Kamu jangan asal bica