“Kamu tidak dengar? Kamu bisa keluar dari rumah ini sekarang!” Tangan Bram menunjuk pintu depan dengan marah.“Iya, Pak.” Rere berlari ke kamarnya, ditemani ribuan air yang luluh dari matanya.Tubuhnya bergerak ke sana kemari untuk mengemasi barang-barangnya.Teman kerjanya, Riska, hanya bisa melihat pilu kepada Rere. Dia tidak bisa berbuat apa pun.Selesai memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Rere kembali mengayunkan langkah menuju ruang keluarga.Ternyata, di sana sudah ada Gina yang sedang duduk di sebelah Fika.“Hi, semua!” Tidak disangka, Zeega juga datang ke rumah Bram.Saat matanya menangkap tas besar yang dibawa Rere, langkahnya dipercepat mendekat ke ruang keluarga.“Lho, Mbak Rere mau ke mana bawa tas besar?” tanya Zeega penasaran.Sang pembantu hanya diam, tidak menjawab. Pikirannya sangat terkejut, sekaligus bingung mau pergi ke mana hari ini.Karena tahu apa yang terjadi, berdasarkan informasi Bram, Gina pun tidak berkata apa-apa.Dia cukup terprovokasi oleh suami
“Seperti yang kamu dengar. Aku ingin menjadi lebih dari sekedar teman atau sahabat,” ucap Zeega.“Maksudnya?” tanya Rere lagi, dengan muka polos.Zeega menahan tawanya saat melihat muka Rere yang lucu.“Baiklah, aku langsung saja. Aku mau jadi pacarmu. Beberapa waktu terakhir ini, aku merasakan sesuatu yang berbeda di dalam hatiku. Merasa nyaman saat bersamamu. Dan, saat kondisimu seperti ini, aku seakan bisa merasakannya.”Zeega berhenti sejenak untuk mengetahui tanggapan Rere. Namun, wanita itu hanya terdiam.“Re, apakah kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” tanya Zeega kali ini.Tanpa mereka tahu, seorang lelaki yang baru saja memasuki pintu toko kue, berjalan mendekati mereka.Tangan Zeega dihempaskannya untuk menjauhi tangan Rere.“Tidak ada perasaan untukmu! Jangan sentuh Rere!” Freza berteriak dengan kencang. Emosinya membuncah.“Mas?” Rere bangkit dari duduknya dengan terkejut.“Kaget? Ketahuan berduaan dengan Zeega?” Freza begitu berapi-api.“Bicaralah yang sopan, Mas! Se
Tiap kalimat yang disampaikan oleh dua tetangganya tadi seperti listrik yang menyengat otak hingga jantungnya. Mampu melumpuhkan tubuhnya. Bu Marni dan Bu Winda sudah berlalu, tetapi semua yang mereka ucapkan telah terekam dengan baik di kepala Rere. Kakinya sudah tidak bisa menopang beban tubuhnya, beban masalahnya. Tubuhnya terduduk di atas tanah, tempatnya berdiri saat ini. Air mata yang sempat mengering, kini harus berurai lagi. Apakah dia masih bisa menangis setelah ini? Cukup banyak dia menangis akhir-akhir ini. "Rumah orang tuaku ... ini rumah orang tuaku. Kenapa ya Allah? Kenapa?" ratap Rere di depan rumah yang sebelumnya milik orang tuanya. Apakah waktu dua bulan itu begitu lama? Hingga Rere bisa kehilangan rumah bersejarah itu tanpa dia menyadarinya. Menurut penjelasan tetangganya tadi, keluarga Pak Musni yang diberi tanggung jawab mengurusi kosannya pun tidak bisa dihubungi.Tiba-tiba Pak Musni dan keluarganya pindah keluar kota, dan tidak ada seorang pun tetangga yan
Tanpa menunggu respon selanjutnya dari Ruma, Freza segera mengutarakan kalimat untuk mengakhiri panggilan itu. Dan, tangannya segera mematikan ponselnya, agar tidak bisa menerima panggilan lagi.Wajah Freza kembali menatap tubuh mungil yang tertutup selimut di atas kasur yang tidak jauh darinya.Kakinya melangkah menuju sofa di sisi dekat Rere berbaring. Dia duduk untuk mengamati diam-diam wajah manis itu.Sejak menikah, tidak pernah keduanya tinggal di satu atap untuk waktu yang lama. Menyiksa memang bagi Freza. Sangat menyiksa, malah.Apalagi, istrinya ini bukan tipe wanita yang romantis, yang akan terus menghubungi duluan, dan seakan merindukannya tiap saat. Bukan!Rere termasuk wanita mandiri, tidak begitu memikirkan masalah asmara atau perasaannya.Tidak jarang, Freza harus menahan diri kuat-kuat jika ingin menyalurkan kerinduannya kepada istrinya. Kadang, kelakuan Rere yang tampak tidak peduli dengan hasratnya itu, membuatnya kesal.Namun, lagi-lagi, dia harus mengusir perasaan
Freza dan Rere memilih untuk melakukan sarapan di kamar. Semua makanan telah tersaji di atas meja makan, saat Freza masih di dalam kamar mandi. Baru saja bangun. Sebelum para pelayan meninggalkan kamar, Rere memberi sedikit uang tip yang disambut senang oleh dua orang pembawa makan itu. Rere memandangi bagian atas meja. Dia baru menyadari, ternyata banyak juga makanan yang dipesan olehnya dan Freza. "Sudah datang makanannya?" Freza keluar dari kamar mandi. "Iya. Ayo, makan!" Keduanya menikmati sarapan seperti belum makan tadi malam, begitu lahap. Salah satu kemiripan yang mereka punya, suka makan. Selesai menyantap semua makanan, kecuali buah-buahan yang tidak sanggup lagi dieksekusi, mereka pun berpindah ke sofa untuk duduk santai. Sejenak, mereka menurunkan makanan yang sudah begitu padat masuk ke dalam perut.Selain itu, waktu mereka keluar dari hotel pun masih nanti, jam 1 siang. Sesuai permintaan Freza kepada Merlyn. Asistennya ini akan menjemput mereka di sini.“Mas, aku
Perjalanan yang terasa lama bagi Freza itu, tidak dirasa lama oleh Sesil atau pun Rere dan Merlyn. Andai saja lelaki itu bisa kabur, atau memasang tembok pembatas, maka sudah dia lakukan. Dia ingin berteriak, tetapi takut kalau depresi Sesil kumat di pesawat, saat masih terbang di udara. Yang membuat lebih kesal, dia mendapati istrinya tidak peduli sama sekali. Terlihat cemburu pun tidak. Bahkan, wanita itu malah asyik tidur selama perjalanan. Jalan terakhir yang dilakukan Freza, akhirnya dia berpura-pura untuk tidur, walaupun tidak ngantuk. Dia sudah bangun cukup siang hari ini. Jadi, susah untuk memejamkan mata, sebenarnya. Seakan menjawab doa Freza yang terus diulang-diulang selama di pesawat, akhirnya mereka sudah mendarat di bandara pribadi milik keluarga Margada. Sebuah mobil Rolls Royce dengan nuansa black-gold, serta sebuah BMW hitam, sudah terparkir dekat berhentinya pesawat jet. Freza segera keluar pesawat diikuti Rere dan Merlyn. Sedangkan Sesil, masih sibuk dengan ba
Beberapa pelayan terlihat berbisik-bisik saat Freza menjemput Rere di kamarnya, untuk diantar menemui Rowena, nenek Freza. Sudah Rere peringatkan agar lelaki itu menjaga sikap, tetapi tetap saja berlaku semaunya. Rere takut, belum sebulan tetapi rahasia mereka bisa terbongkar. Bisa bahaya! Belum lagi dia tidak punya waktu menyicil naskah novelnya belakangan ini. Terlalu banyak urusan dan masalah. "Eyang ... aku bawa perawat pribadi baru untuk Eyang." Freza masuk dengan cengiran begitu lebar. "Asslamualaikum, Eyang," sapa Rere dengan tersenyum sopan. "Freza, sayangku. Eyang kangen sekali. Kamu ini lama-lama seperti orang di rumah ini, sibuk bekerja," rajuk neneknya. Rowena menatap Rere sekilas, lalu beralih lagi menatap cucunya. Dia tidak memedulikan Rere. "Eyang, kan, sudah bilang, untuk apa perawat? Mereka itu sangat menyebalkan. Tidak asyik. Sukanya hanya cari muka ke orang tuamu, tidak benar-benar merawat Eyang." Rowena mendengkus saat mengatakannya. Selama ini, perawat-per
Hari pertamanya sebagai perawat, tidaklah begitu sulit. Atau mungkin, belum datang masalah besar baginya. Walaupun sudah larut, dia masih membuka laptopnya, untuk sedikit menuliskan hasil risetnya. Beberapa hari terakhir, cukup sulit bagi Rere memiliki waktu untuk menulis. Terlalu banyak kejadian yang menguras emosi, sehingga otaknya tidak sanggup diajak berpikir hal lainnya. Hari ini, dia bertemu seorang pembantu yang terlihat sudah tua. Saat dia bertanya, wanita itu telah mengabdi di keluarga besar Margada selama kurang lebih 30 tahun. Waktu yang lama untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga menurut Rere. Namun, ternyata itu nyata. Ada pandangan baru dalam kepalanya. Berkarir itu tidak hanya sebatas bekerja di kantoran, melainkan di manapun seseorang bekerja dan mendapat kesuksesan, itu artinya dia berkarir. Pembantu yang sudah berumur sekitar 50 tahunan itu begitu santun. Pemaparannya begitu mengejutkan. Hal yang membuatnya senang bekerja dengan majikannya, bukanlah gaji y
- Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu
“Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D
Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya
Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny
“Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb
Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan
“Sepertinya tamu asing itu belum datang?” tanya Ivo kepada Freza yang duduk di sebelahnya.“Menunggu tamu asing itu sepertinya.”Ivo menoleh ke kiri dan kanan seakan mencari seseorang. “Aku juga belum melihat orang tuamu.”“Mungkin mereka belum selesai bersiap.” Freza mengambil gelasnya dengan santai, lau meminumnya.Acara malam ini tidak dipadati banyak tamu, tetapi terasa begitu indah dan dipersiapkan dengan sangat baik. Banyak bunga segar tersebar di dalam ruangan.Beberapa orang berdiri di dekat meja kudapan untuk memakan makanan-makanan kecil sambil menunggu acara utama dimulai.“Kamu tahu, saat kita memenangkan proyek kemarin itu, terlihat Kevin sangat tidak senang.” Ivo tertawa sambil menatap Freza.“Aku tahu.”“Aku penasaran. Bagaimana bisa proposal bisnis kita sedikit berbeda dari yang terakhir kita sepakati di rapat?” tanya Ivo lebih serius kali ini.“Ah, itu. Saat malam aku memgeceknya lagi, terasa ada yang kurang. Jadi aku meminta Gina untuk menambahkan atau menghapus yang
Rowena beberapa kali mendengkus karena Rere tidak kunjung datang. Wanita tua itu menanti kedatangan Rere, tidak seperti biasanya.Semakin sering dia ditinggal Rere untuk pekerjaan lain, semakin dia merindukan perawatnya itu.“Ternyata semakin Rere sering tidak ada, semakin terasa bahwa dia yang paling bisa merawatku.” Mata Rowena memandang keluar jendela sembari tubuhnya duduk di atas kursi roda.Nenek Freza sudah terlihat segar setelah tidur sebentar tadi, setelah acara penyambutan tamu asing. Lalu seorang perawat lain membantunya untuk bebenah diri setelah terbangun.Sejak terakhir acara tadi, dia belum melihat Rere. “Mungkin dia masih menegerjakan persiapan untuk makan malam nanti. Yasudah lah.”Bahkan hingga bersiap-siap untuk makan malam pun, Rowena dibantu oleh seorang penata gaya, dari rambut hingga pakaian.Rere belum terlihat masuk ke dalam kamar, padahal dia pun seharusnya sudah mulai bersiap.***Pintu terbuka dari luar, saat seorang wanita memasuki kamar hotel. Wajahnya be
Lutut Rere gemetar, dan dadanya sesak. Takdir selalu menempatkannya di posisi sulit akhir-akhir ini. Terutama yang berkaitan dengan suaminya.Tidak perlu waktu lama, Freza sudah memutar wajahnya untuk memandang Rere. Wajahnya terpaku saat melihat dandanan istrinya yang tidak biasa. Sungguh anggun dan cantik, walau belum menaburkan make-up di wajah.Merasa tidak dihiraukan, Rowena menarik pipi Freza untuk kembali memandangnya. Belum sempat sang nenek mengeluarkan suara, wajah Freza kembali memandang Rere secara otomatis.“Freza! Kenapa kamu tidak menghiraukan eyang?” Kini kedua lengan Rowena dilipat di depan dadanya.“Ah, eyang. Maaf maaf. Aku seperti tersihir barusan.” Freza memalingkan wajahnya sambil tertawa dan kini memandangi sang nenek.“Mbak Rere cantik sekali. Gaunnya juga indah,” puji Sesil.“Sudah-sudah, tidak perlu hiraukan dia. Kalian ke sini mau mengobrol dengan eyang, kan?” Lagi-lagi Rowena merajuk. Dengan otomatis Freza dan Sesil kembali berfokus pada sang nenek.Melihat