“Nan, itu si Tapasyong bukan sih?”Lolita melepaskan sabuk pengaman yang melingkupi tubuhnya. Ia bergerak maju, mencoba memastikan jika indera penglihatannya tak salah tangkap.“Iya, Njir!” Pekiknya sembari memukul dashboard mobil.“Kok dia udah nyampe sini aja, sih?!” gerutu Lolita.Mereka yang pulang terlebih dahulu saja belum sempat melewati gerbang rumah, tapi gadis itu malah sudah menyetor muka pada kedua orang tua Adnan.“Elah, mana pas banget, ibu lagi nyambut Bapak. Malesin deh!” Lolita menghempaskan tubuhnya. Ia kesal. Apa coba maunya tetangga Adnan ini?! Pulang kuliah bukannya langsung ke rumahnya sendiri, eh, malah berhenti di rumah orang lain.“Fans kamu nggak ada yang bener! Bikin bad mood aja!”“Maaf,” ucap Adnan, lirih.Adnan memarkirkan mobilnya tepat disamping milik Khoiron. “Mau dibukain, By?” tanya pemuda itu setelah menekan tombol pengunci pintu mobil.“Bisa sendiri!” jawa Lolita, ketus.Adnan menghela napasnya pendek. Dalam hati, pemuda itu beristighfar. Lagi-lagi
“Lolita, Sayang. Kamu harus hati-hati ya, sama yang namanya Tasya. Cewek yang tadi tuh. Dia itu uler berkepala manusia.”“Astagfirullah, Ibu.. Nggak boleh ngomong begitu. Fitnah nanti jatohnya..” Khoiron menegur lembut. Sekali pun istrinya tidak menyukai anak tetangga mereka, tidak sepatutnya wanitanya itu menjelek-jelekannya di depan sang menantu.“Syut! Nggak apa-apa sesekali Ibu bikin dosa. Lagi pengen!”Sekali lagi, Khoiron beristighfar. Pria itu menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan entengnya jawaban yang istrinya kemukakan.“Kalian lagi ngapain? Kirain langsung balik ke kamar masing-masing.”“Ney-Ney, Mah! Kita lagi ghibah mode on,” sahut Tatiana, menjelaskan agenda setelah makan malam mereka.“Loh, Loh! Kenapa nggak manggil Mama sih, Ti! Mama kan juga mau ikut ngeghibah bareng cucu.”“By,” panggil Adnan membuat Lolita menelengkan kepala.“Apa?”Adnan meminta Lolita untuk membuka mulutnya. Ia lalu menyuapkan potongan coklat yang baru saja dirinya buka.“Enak?”“Kemanis
Wajah yang segar dengan rambut basahnya setelah dicuci, penampilan Adnan itu berbanding terbalik dengan keadaan Lolita saat ini.Kini, istri dari pemuda itu tampak letih. Kantung mata menghiasi wajah cantiknya. Lolita benar-benar terlihat seperti manusia yang kekurangan tidur.“Baby, kalau kamu sakit, bolos aja nggak apa-apa.”“Your eyes!” maki Lolita dengan suaranya yang serak-serak basah.Semalam ia sudah menjelaskan jika dosennya memang jarang memberikan tugas. Namun dosen itu menggantinya dengan kuis yang diadakan setelah sesi presentasi materi— Kata lainnya, ia bisa kehilangan nilai kalau membolos.“Aku takut kamu pingsan kalau maksain diri, By..”“Gara-Gara kamu! Benci banget aku sama kamu! Dasar tukang bohong!”Gadis muda itu terbangun dengan pusing dikepalanya. Suara yang biasanya seperti toa pun, mendadak kehilangan kegaharannya. Lolita lelah jiwa raga karena terhanyut dalam pusaran keganasan Adnan.Adnan adalah seorang pendusta!Pria itu mengkhianati kata-katanya. Melanggar
“Cinta nggak selamanya indah, Pren! Liat aja si Adnan..” Nando menggelengkan kepala seraya mendecakkan mulutnya.“Perasaan baru ge married, gelutbae kerjaannya..” timpal pemuda itu yang tak habis pikir dengan keseharian rumah tangga sahabatnya.“Yah, begitulah kalau kawinnya nggak mikir dua kali.. Impulsif sih dia. Dijauhin, ngajak kawin.. Orang mah dijauhin tuh ngedeketin.. At least PDKT pelan-pelan, bukannya maksa ngehalalin..” Ucap Tama, mengkritik gaya sat-set Adnan yang kelewat ekstrim.“Tauk! Dikira kawin enak apa yak!”“Ya emang enak!” Sahut Adnan, membalas perkataan Nando. Sahutan Adnan itu membuat ketiga sahabatnya tercengang.“Han, lo juga mikir apa yang ada dikepala gue kan?” tanya Nando sembari menatap Farhan.Farhan mengangguk singkat. Otak ketiganya tak bisa diajak berpositif thinking. Enak yang Adnan sebutkan pastilah merujuk pada arti lain dari kata kawin. Sekotor itulah isi pikiran ketiganya, terlebih kala melihat wajah ambigu Adnan.“Alig! Gue kirain dia yang paling
Adnan menerobos masuk ke dalam klinik kampusnya. Pemuda itu menghampiri salah satu petugas kesehatan yang cukup dirinya kenal.“Suster Neli, Lolita anak Psikologi yang dibawa kesini karena pingsan..” Adnan mencoba mengatur napasnya yang terengah. “Dia dimana, ya, Sus?” tanya Adnan, melengkapi kalimatnya yang terputus.“Tuh, disitu!” Suster Neli menunjuk satu-satunya bilik yang tertutupi oleh tirai. “Udah sadar kok anaknya. Langsung masuk aja, lagi diperiksa dokter anaknya.” Ucap sang suster, menginfokan keadaan gadis yang Adnan cari. “Makasih, Suster..” Ucap Adnan lalu kembali memacu langkahnya.Adnan kemudian menyibak tirai dihadapannya, “Baby!” teriaknya, membuat para tenaga kesehatan disana kompak berdesis.“Harap tenang! ini klinik, bukan medan perang!” tegur dokter yang saat ini tengah menangani Lolita. Wanita itu menarik tangan dan stetoskop yang dirinya gunakan untuk memeriksa pasiennya. “Overall, nggak ada masalah. Sepertinya kamu cuma kelelahan..”“Saya resepkan vitamin, nan
Lolita baru saja menghempaskan punggungnya saat Adnan menaiki mobilnya.“Mau langsung pulang ke rumah?”“Eum, tapi ke rumahnya Mami ya..”Mendengar kata rumah yang keluar dari mulutnya, seketika saja membuat Lolita ingin bertemu dengan maminya.Dulu sebelum dirinya menikah, hanya ada satu rumah yang menjadi tempat kepulangannya. Di rumah itu, ia benar-benar merasa kembali.Sayangnya, perasaan tersebut belum kunjung dapat dirinya rasakan ketika pulang ke rumah orang tua Adnan. Meski orang-orang didalamnya menyambut dirinya dengan sangat hangat, mereka tetaplah orang asing yang kini berubah menjadi keluarganya.“Anything for you, By..”“Adnan, Go!” seru Lolita sembari mengacungkan jarinya ke depan. Seruan wanita muda itu bernada, menirukan tokoh kartun yang kesehariannya mengendarai gerobak sapi.Untungnya, Adnan merupakan tipe menantu yang tidak durhaka.
Sore hari Adnan berjalan sangat menyenangkan. Disaat istrinya beristirahat, membantu ibu mertuanya menyirami tanaman sembari mendengarkan cerita tentang masa kecil sang istri.“Dia anaknya emang nggak pernah bisa diem, Sayang. Ada aja tingkahnya. Abangnya aja sekarang bisa santai begitu, dulu mah kerjaannya nangis diisengin sama dia.”“Argam nangis, Mi?”“Iya.. Karena kesel sih jatohnya. Abis istri kamu itu kalau Abangnya belom nangis, belom berhenti ngerusuhnya.”“Heran Mami tuh.. Pokoknya kalau bukan Papi yang turun tangan, pecah rumah kaca rumah Mami.”Adnan terkekeh. Sikap keras kepala istrinya memang tampak mendominasi dalam berbagai hal. Contoh nyatanya ya saat wanita itu bersikeras mendapatkannya.Dulunya Adnan juga terheran-heran, bahkan sampai mempertanyakan apakah istrinya masih mempunyai urat malu atau tidak. Pasalnya, karena aksi PDKT-nya yang terlewat pantang untuk mundur, tak sedikit orang yang mencibir dan mengolok-ngolok wajah temboknya.Sekarang pun istrinya masih har
Argam memelototi layar ponselnya, memastikan jika angka nol yang dikirimkan papinya, tidak kurang barang satu pun.Pemuda itu tak ingin rugi besar jika hanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp. 30.000,00 saja. Uang sejumlah itu tak mengcover seluruh jajanannya yang telah dihabiskan oleh sang adik.“Jangan main tangan lagi ke adek kamu, Argam! Papi nggak pernah ngajarin kamu nyelesein masalah pake kekerasan.”“Tau nih, Abang! KDRT tuh penyakit ya! Kalau kebawa sampe Abang nikah gimana?!”“Loli juga.. Papi udah sering bilangin, kalau bukan punya Loli, Loli tanya dulu ke yang punya. Bukan asal ambil aja.”Lolita yang mengira akan dibela sepenuhnya pun mencebikkan bibirnya. Ia lupa kalau papinya manusia paling adil, apalagi jika menyangkut jatah masing-masing anaknya.“Ayo, pada minta maaf! Masalahnya kan udah selesai, nggak baik adek kakak gontok-gontokkan.”“Abang maaf.. Kalau Abang masih nggak ikhlas, Loli muntahin deh jajanannya.” Cengir Lolita dengan seringaian setipis tisu yang luput