Lolita baru saja menghempaskan punggungnya saat Adnan menaiki mobilnya.“Mau langsung pulang ke rumah?”“Eum, tapi ke rumahnya Mami ya..”Mendengar kata rumah yang keluar dari mulutnya, seketika saja membuat Lolita ingin bertemu dengan maminya.Dulu sebelum dirinya menikah, hanya ada satu rumah yang menjadi tempat kepulangannya. Di rumah itu, ia benar-benar merasa kembali.Sayangnya, perasaan tersebut belum kunjung dapat dirinya rasakan ketika pulang ke rumah orang tua Adnan. Meski orang-orang didalamnya menyambut dirinya dengan sangat hangat, mereka tetaplah orang asing yang kini berubah menjadi keluarganya.“Anything for you, By..”“Adnan, Go!” seru Lolita sembari mengacungkan jarinya ke depan. Seruan wanita muda itu bernada, menirukan tokoh kartun yang kesehariannya mengendarai gerobak sapi.Untungnya, Adnan merupakan tipe menantu yang tidak durhaka.
Sore hari Adnan berjalan sangat menyenangkan. Disaat istrinya beristirahat, membantu ibu mertuanya menyirami tanaman sembari mendengarkan cerita tentang masa kecil sang istri.“Dia anaknya emang nggak pernah bisa diem, Sayang. Ada aja tingkahnya. Abangnya aja sekarang bisa santai begitu, dulu mah kerjaannya nangis diisengin sama dia.”“Argam nangis, Mi?”“Iya.. Karena kesel sih jatohnya. Abis istri kamu itu kalau Abangnya belom nangis, belom berhenti ngerusuhnya.”“Heran Mami tuh.. Pokoknya kalau bukan Papi yang turun tangan, pecah rumah kaca rumah Mami.”Adnan terkekeh. Sikap keras kepala istrinya memang tampak mendominasi dalam berbagai hal. Contoh nyatanya ya saat wanita itu bersikeras mendapatkannya.Dulunya Adnan juga terheran-heran, bahkan sampai mempertanyakan apakah istrinya masih mempunyai urat malu atau tidak. Pasalnya, karena aksi PDKT-nya yang terlewat pantang untuk mundur, tak sedikit orang yang mencibir dan mengolok-ngolok wajah temboknya.Sekarang pun istrinya masih har
Argam memelototi layar ponselnya, memastikan jika angka nol yang dikirimkan papinya, tidak kurang barang satu pun.Pemuda itu tak ingin rugi besar jika hanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp. 30.000,00 saja. Uang sejumlah itu tak mengcover seluruh jajanannya yang telah dihabiskan oleh sang adik.“Jangan main tangan lagi ke adek kamu, Argam! Papi nggak pernah ngajarin kamu nyelesein masalah pake kekerasan.”“Tau nih, Abang! KDRT tuh penyakit ya! Kalau kebawa sampe Abang nikah gimana?!”“Loli juga.. Papi udah sering bilangin, kalau bukan punya Loli, Loli tanya dulu ke yang punya. Bukan asal ambil aja.”Lolita yang mengira akan dibela sepenuhnya pun mencebikkan bibirnya. Ia lupa kalau papinya manusia paling adil, apalagi jika menyangkut jatah masing-masing anaknya.“Ayo, pada minta maaf! Masalahnya kan udah selesai, nggak baik adek kakak gontok-gontokkan.”“Abang maaf.. Kalau Abang masih nggak ikhlas, Loli muntahin deh jajanannya.” Cengir Lolita dengan seringaian setipis tisu yang luput
“Mas Adnan, kenapa bisa begini?”Keluarga Adnan tiba lebih cepat, sedangkan dari pihak Lolita, Argam tampak mewakili setelah bergegas meninggalkan rumah menggunakan kuda besinya.“Adnannya ngeyel, Yah! Loli udah bilang biarin aja, dianya malah turun, terus nolongin adeknya!”Lolita bukannya tidak mempunyai hati nurani, hanya saja, karena membantu orang yang tidak mereka kenal, sekarang mereka harus berurusan dengan pihak berwajib.Mungkin jika mereka langsung pergi, mereka sudah berleha-leha di rumah, mengistirahatkan diri setelah menjalani drama yang terjadi seharian ini.Melihat raut penuh kekhawatiran menantunya, Tatiana pun mengalungkan lengannya. “It’s okay, Sayang.. Nggak akan ada apa-apa. Kamu sama Adnan kan nggak ngelakuin salah apa-apa.” Ujarnya, mencoba menenangkan istri anaknya.Bisa jadi ini merupakan pengalaman pertama Lolita yang mengharuskan diri perempuan itu untuk berurusan dengan kepolisian.“Loli takut dipenjara, Mama..”“Hais, nggak mungkin, Loli. Masa iya, orang
Lolita berhenti meronta ketika dirinya dihadapkan langsung dengan keadaan korban.Anak itu terlihat sangat kasihan. Dibeberapa bagian tubuhnya terbalut perban, begitu juga dengan kepala kecilnya.Tatapan matanya yang kosong sungguh berbanding terbalik dengan masa kecilnya. Di usia anak itu, ia tumbuh dengan dipenuhi cinta keluarganya. Ia juga tak pernah menderita sakit yang membuat sinar dimatanya menghilang, seolah keinginan untuk bertahan hidup tak ada di dalamnya.Sebenarnya, seberapa dalam luka yang ia derita sampai-sampai ia tak meringis kesakitan walau dipenuhi dengan luka-luka ditubuhnya?!“Hi, Adek..” sapa Lolita, melambaikan tangannya. Ia menyembunyikan rasa takutnya, mencoba terlihat seramah mungkin agar tak menakuti anak yang Adnan tolong.“Dokter, itu Mamanya aku?”“Hiya!!” pekik Lolita dengan tubuh yang reflek melompat ke belakang. Tangannya menarik ujung kemeja yang Adnan kenakan, “Mam-Ma?” beonya mengulang kata terpenting yang membuatnya begitu terkejut setelah mendenga
Beberapa minggu kemudian, disaat beberapa hal menjadi rumit karena keberadaan Awi disisi Lolita dan Adnan, orang tua Awi pun akhirnya ditemukan oleh pihak berwajib. Berawal dari adanya laporan kehilangan seorang pria yang mencari-cari istri serta anaknya, Awi pun dapat bertemu dengan ayah kandungnya. Namun sayang, anak yang sebenarnya bernama Fatur itu, tak bisa mengingat dan mengenali ayahnya sendiri. Memang mengejutkan, namun setelah diberikan penjelasan, ayah Awi pun menerima kondisi putranya. Pria itu berkata jika hal tersebut lebih baik dibandingkan ia kehilangan anak satu-satunya untuk seumur hidupnya. Sejurus dengan terbukanya tabir orang tua Awi, ibu kandung Awi pun dibekuk ditempat persembunyiannya. Perempuan itu terbukti menjadi tersangka utama atas pembuangan dan tindak kekerasan anaknya kandungnya. Ayah Awi tentu saja tak menyangka, jika istri yang dirinya cintai hingga rela mengadu nasib sebagai buruh perkebunan, ternyata tega menyakiti buah hati mereka. Sesal dirasak
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk
“Bohong! Aku tuh tetangganya Adnan. Rumah aku ada didepan rumah dia. Kalau Lolita-Lolita itu udah kenal Adnan dari lama, nggak mungkin aku baru tau dia hidup di dunia!”Errr!!Kalimat yang Tasya lontarkan cukup pedas. Teman-temannya sampai tercengang mendengar penuturan gadis yang biasanya bersikap lembut itu.Arogan!Kalimat yang Tasya gunakan terdengar sangat arogan ditelinga teman-temannya. Semakin lama mereka mengenal Tasya, mereka semakin memahami bagaimana cara pikir gadis itu.Semua hal berkenaan dengan Adnan, entah itu benar atau tidak, Tasya bertindak seakan dirinya mengetahuinya lebih baik dari siapa pun.Tingkahnya seolah-olah dia dan Adnan hidup berbagi napas yang sama dan tidak pernah terpisahkan meski itu satu detik pun.Lambat laun, sikap terlewat halu itu tentu membuat teman-temannya merasa tak nyaman.“Lo kan cuman tetangganya, Tas. Nggak 24 ours bareng dia. Lagian dia kenal siapa, nggak mungkin laporan ke lo juga kan?”“Tapi nggak make sense kalau itu anak mereka. Si
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro