Argam berlari menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti tepat di depan Televisi yang tengah papi dan maminya tonton.“Gam! Minggir! Kamu ngalangin Mami nonton dracin ih!”“Lima menit, Mi!” Argam membuka lebar telapak tangannya. “Argam ada perlu sama Papi.”“With me?”“Iya, Pi.” Angguk Argam.“Tapi Papi ngerasa nggak punya perlu sama kamu tuh, Gam..”Bibir Argam pun berkedut. Ia hanya ingin meminjam mobil papinya untuk pergi ke rumah Melisa. Jika saja papinya merupakan sosok yang teledor dalam menyimpan barang, ia tidak akan seperti ini— tepatnya mempermalukan diri sendiri.“Ah, anak ini! Itu tokoh laki-lakinya mau kiss si cewek! Awas-awas!” sang mami melambaikan tangannya. Layaknya pecinta drama-drama asia, beliau cukup antusias kala adegan romantis ditampilkan.“Pi, anak kamu! Jangan sampe kalian berdua tidur di teras!” ancam mami pemuda itu membuat Argam menyingkir beberapa langkah ke samping kiri.“Malem-malem gini ada perlu apa sih, Gam? Nggak bisa besok aja? Kamu ganggu quality t
“Morning Loli kesayangannya Ibu..”“Pagi cucu cantiknya, Oma.”“Mukanya kok keliatan nggak fresh. Kurang boboknya?” tanya Tatiana. Perempuan itu menuangkan susu ke dalam gelas lalu meletakkannya dihadapan Lolita.“Abangnya Loli dari semalem berisik, Bu. Kayaknya putus cinta sama sahabatnya Loli.”“Yah, kirain kamu kurang bobok karena anak Ibu.”“Eh?” pekik Lolita. ‘Maksudnya apa nih?’ Perempuan muda itu lalu melanjutkan tanda tanya-nya dalam hati. Ibu mertuanya tidak sedang berpikir yang, ‘iya-iya kan?’ Secara masih terlalu pagi untuk berkotor-kotor-ria.“Kamu nih, Ti. Mereka kan masih muda. Masih proses belajar dan menyesuaikan diri. Emangnya cucu Mama, kamu..Nyosor Khoir mulu.”“Wah, Mama! Fitnah aja kerjaannya.” Dengus Tatiana. “Sayang, jangan dengerin Oma kamu, Ibu tuh orangnya nggak rendahan. Ayah emang ganteng, tapi ya nggak gitu juga.”Khoiron yang disebut-sebut pun hanya melirik sang istri dari balik layar ponselnya. “Ehem.. Kalau ketemu berantem mulu kayak kucing sama tikus.
“Anying-lah!”“Kenapa, By?” tanya Adnan melirik Lolita yang tampak kesal usai memainkan telepon genggamnya.“Kelasku kosong! Tau gini berangkat siang aja aku!” dumel Lolita membuat Adnan terkekeh. Pria itu mengacak rambut sang kekasih. Adnan pikir ada masalah serius apa sampai istri cantiknya mengumpat tiba-tiba. “Ya udah, kamu nongki-nongki aja bareng Melisa. Nanti aku tambahin uang jajannya biar cukup sampe jam ke-2.” Ucap Adnan membawa angin segar untuk jiwa nelangsa Lolita.“Bener ya?” “Iya, By. Apa sih yang nggak buat kamu..” Sekali lagi Adnan mengacak pangkal rambut Lolita.Dibelakang keduanya, tepatnya segaris lurus dengan kursi yang Adnan tempati, tampak sepasang telapak tangan terkepal. Gadis yang menumpang pada mobil Adnan itu meradang melihat interaksi kedua manusia di depannya. Sepanjang perjalanan menuju kampus, eksistensinya seakan tak dianggap ada. Adnan yang dirinya ikuti bahkan tak mengajaknya mengobrol, meski itu hanya sekedar basa-bas
“Gece, Bang!”Argam menelan kasar air liurnya. Ia sudah menyanggupi tantangan Melisa. Tak ada jalan lagi untuk mundur. Ia memang harus melakukan apa yang Melisa perintahkan agar tidak ditinggalkan.“Ah, lama!”“Mel!” Argam mencekal pergelangan Melisa, tak membiarkan Melisa beranjak. “Sabar! Persiapan bentar.” Ucapnya, beralasan.Fiuh!Bersama dengan napas yang dirinya hembuskan, kini Argam sepenuhnya siap.“Bismillah,” lontar Argam membuat Melisa memutar bola matanya.“Nggak sekalian baca doa makan lo, Bang?! Tumbenan amat kayak orang mau berangkat perang!” nyinyir Melisa. Dimatanya, Argam terkesan seperti tengah mengulur-ngulur waktu.“Mel..” Argam memelas. Ia menatap Melisa dengan bibir yang sedikit mengerucut.“Ya udin! Cepetan! Panas nih disini!”Argam menghitung mundur dalam hati. Pada hitungan terakhir, ia mulai mengangkat pengeras suara yang dirinya pinjam.“Halo, Halo, Bandung! Ibu Kota.. Argh!” jerit Argam. Ia melirik kaki kanannya yang tertindih oleh sepatu milik Melisa.“Sa
“By..”Adnan melambaikan tangannya, memanggil sang kekasih hati yang berada tak jauh darinya.“Lo langsung caw, Nan? Nggak nongkrong-nongkrong dulu?”Adnan mengangguk. Pemuda itu menepuk pundak Farhan, “yang kita lakuin dari tadi apaan kalau bukan nongkrong?” celotehnya membuat Farhan menganga.‘Are you kidding me?’ Sahabat terdekat Adnan itu melontarkan pertanyaannya melalui sebuah tatapan.Nongkrong macam apa yang Adnan maksud? Jika itu berleha-leha sembari menunggu kelas adik junior mereka selesai, maka mengantarkan maminya berbelanja ke pasar, juga bisa disebut nongkrong sekarang. Adnan terkekeh. Ia dapat membaca tatapan yang Farhan layangkan padanya. “Main aja ke rumah. Nyokap pasti happy.” Ucapnya lalu memberikan tepukan terakhir sebagai salam perpisahan. Hal tersebut juga dirinya lakukan pada Tama dan Nando.“Makin bucin aja gue liat,” seloroh Tama. Ketiganya menatap punggung Adnan yang berlari menghampiri Lolita. “Perasaan dulu anti banget sama fans-nya yang itu,” timpalnya,
“Nan, itu si Tapasyong bukan sih?”Lolita melepaskan sabuk pengaman yang melingkupi tubuhnya. Ia bergerak maju, mencoba memastikan jika indera penglihatannya tak salah tangkap.“Iya, Njir!” Pekiknya sembari memukul dashboard mobil.“Kok dia udah nyampe sini aja, sih?!” gerutu Lolita.Mereka yang pulang terlebih dahulu saja belum sempat melewati gerbang rumah, tapi gadis itu malah sudah menyetor muka pada kedua orang tua Adnan.“Elah, mana pas banget, ibu lagi nyambut Bapak. Malesin deh!” Lolita menghempaskan tubuhnya. Ia kesal. Apa coba maunya tetangga Adnan ini?! Pulang kuliah bukannya langsung ke rumahnya sendiri, eh, malah berhenti di rumah orang lain.“Fans kamu nggak ada yang bener! Bikin bad mood aja!”“Maaf,” ucap Adnan, lirih.Adnan memarkirkan mobilnya tepat disamping milik Khoiron. “Mau dibukain, By?” tanya pemuda itu setelah menekan tombol pengunci pintu mobil.“Bisa sendiri!” jawa Lolita, ketus.Adnan menghela napasnya pendek. Dalam hati, pemuda itu beristighfar. Lagi-lagi
“Lolita, Sayang. Kamu harus hati-hati ya, sama yang namanya Tasya. Cewek yang tadi tuh. Dia itu uler berkepala manusia.”“Astagfirullah, Ibu.. Nggak boleh ngomong begitu. Fitnah nanti jatohnya..” Khoiron menegur lembut. Sekali pun istrinya tidak menyukai anak tetangga mereka, tidak sepatutnya wanitanya itu menjelek-jelekannya di depan sang menantu.“Syut! Nggak apa-apa sesekali Ibu bikin dosa. Lagi pengen!”Sekali lagi, Khoiron beristighfar. Pria itu menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan entengnya jawaban yang istrinya kemukakan.“Kalian lagi ngapain? Kirain langsung balik ke kamar masing-masing.”“Ney-Ney, Mah! Kita lagi ghibah mode on,” sahut Tatiana, menjelaskan agenda setelah makan malam mereka.“Loh, Loh! Kenapa nggak manggil Mama sih, Ti! Mama kan juga mau ikut ngeghibah bareng cucu.”“By,” panggil Adnan membuat Lolita menelengkan kepala.“Apa?”Adnan meminta Lolita untuk membuka mulutnya. Ia lalu menyuapkan potongan coklat yang baru saja dirinya buka.“Enak?”“Kemanis
Wajah yang segar dengan rambut basahnya setelah dicuci, penampilan Adnan itu berbanding terbalik dengan keadaan Lolita saat ini.Kini, istri dari pemuda itu tampak letih. Kantung mata menghiasi wajah cantiknya. Lolita benar-benar terlihat seperti manusia yang kekurangan tidur.“Baby, kalau kamu sakit, bolos aja nggak apa-apa.”“Your eyes!” maki Lolita dengan suaranya yang serak-serak basah.Semalam ia sudah menjelaskan jika dosennya memang jarang memberikan tugas. Namun dosen itu menggantinya dengan kuis yang diadakan setelah sesi presentasi materi— Kata lainnya, ia bisa kehilangan nilai kalau membolos.“Aku takut kamu pingsan kalau maksain diri, By..”“Gara-Gara kamu! Benci banget aku sama kamu! Dasar tukang bohong!”Gadis muda itu terbangun dengan pusing dikepalanya. Suara yang biasanya seperti toa pun, mendadak kehilangan kegaharannya. Lolita lelah jiwa raga karena terhanyut dalam pusaran keganasan Adnan.Adnan adalah seorang pendusta!Pria itu mengkhianati kata-katanya. Melanggar