“Gece, Bang!”Argam menelan kasar air liurnya. Ia sudah menyanggupi tantangan Melisa. Tak ada jalan lagi untuk mundur. Ia memang harus melakukan apa yang Melisa perintahkan agar tidak ditinggalkan.“Ah, lama!”“Mel!” Argam mencekal pergelangan Melisa, tak membiarkan Melisa beranjak. “Sabar! Persiapan bentar.” Ucapnya, beralasan.Fiuh!Bersama dengan napas yang dirinya hembuskan, kini Argam sepenuhnya siap.“Bismillah,” lontar Argam membuat Melisa memutar bola matanya.“Nggak sekalian baca doa makan lo, Bang?! Tumbenan amat kayak orang mau berangkat perang!” nyinyir Melisa. Dimatanya, Argam terkesan seperti tengah mengulur-ngulur waktu.“Mel..” Argam memelas. Ia menatap Melisa dengan bibir yang sedikit mengerucut.“Ya udin! Cepetan! Panas nih disini!”Argam menghitung mundur dalam hati. Pada hitungan terakhir, ia mulai mengangkat pengeras suara yang dirinya pinjam.“Halo, Halo, Bandung! Ibu Kota.. Argh!” jerit Argam. Ia melirik kaki kanannya yang tertindih oleh sepatu milik Melisa.“Sa
“By..”Adnan melambaikan tangannya, memanggil sang kekasih hati yang berada tak jauh darinya.“Lo langsung caw, Nan? Nggak nongkrong-nongkrong dulu?”Adnan mengangguk. Pemuda itu menepuk pundak Farhan, “yang kita lakuin dari tadi apaan kalau bukan nongkrong?” celotehnya membuat Farhan menganga.‘Are you kidding me?’ Sahabat terdekat Adnan itu melontarkan pertanyaannya melalui sebuah tatapan.Nongkrong macam apa yang Adnan maksud? Jika itu berleha-leha sembari menunggu kelas adik junior mereka selesai, maka mengantarkan maminya berbelanja ke pasar, juga bisa disebut nongkrong sekarang. Adnan terkekeh. Ia dapat membaca tatapan yang Farhan layangkan padanya. “Main aja ke rumah. Nyokap pasti happy.” Ucapnya lalu memberikan tepukan terakhir sebagai salam perpisahan. Hal tersebut juga dirinya lakukan pada Tama dan Nando.“Makin bucin aja gue liat,” seloroh Tama. Ketiganya menatap punggung Adnan yang berlari menghampiri Lolita. “Perasaan dulu anti banget sama fans-nya yang itu,” timpalnya,
“Nan, itu si Tapasyong bukan sih?”Lolita melepaskan sabuk pengaman yang melingkupi tubuhnya. Ia bergerak maju, mencoba memastikan jika indera penglihatannya tak salah tangkap.“Iya, Njir!” Pekiknya sembari memukul dashboard mobil.“Kok dia udah nyampe sini aja, sih?!” gerutu Lolita.Mereka yang pulang terlebih dahulu saja belum sempat melewati gerbang rumah, tapi gadis itu malah sudah menyetor muka pada kedua orang tua Adnan.“Elah, mana pas banget, ibu lagi nyambut Bapak. Malesin deh!” Lolita menghempaskan tubuhnya. Ia kesal. Apa coba maunya tetangga Adnan ini?! Pulang kuliah bukannya langsung ke rumahnya sendiri, eh, malah berhenti di rumah orang lain.“Fans kamu nggak ada yang bener! Bikin bad mood aja!”“Maaf,” ucap Adnan, lirih.Adnan memarkirkan mobilnya tepat disamping milik Khoiron. “Mau dibukain, By?” tanya pemuda itu setelah menekan tombol pengunci pintu mobil.“Bisa sendiri!” jawa Lolita, ketus.Adnan menghela napasnya pendek. Dalam hati, pemuda itu beristighfar. Lagi-lagi
“Lolita, Sayang. Kamu harus hati-hati ya, sama yang namanya Tasya. Cewek yang tadi tuh. Dia itu uler berkepala manusia.”“Astagfirullah, Ibu.. Nggak boleh ngomong begitu. Fitnah nanti jatohnya..” Khoiron menegur lembut. Sekali pun istrinya tidak menyukai anak tetangga mereka, tidak sepatutnya wanitanya itu menjelek-jelekannya di depan sang menantu.“Syut! Nggak apa-apa sesekali Ibu bikin dosa. Lagi pengen!”Sekali lagi, Khoiron beristighfar. Pria itu menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan entengnya jawaban yang istrinya kemukakan.“Kalian lagi ngapain? Kirain langsung balik ke kamar masing-masing.”“Ney-Ney, Mah! Kita lagi ghibah mode on,” sahut Tatiana, menjelaskan agenda setelah makan malam mereka.“Loh, Loh! Kenapa nggak manggil Mama sih, Ti! Mama kan juga mau ikut ngeghibah bareng cucu.”“By,” panggil Adnan membuat Lolita menelengkan kepala.“Apa?”Adnan meminta Lolita untuk membuka mulutnya. Ia lalu menyuapkan potongan coklat yang baru saja dirinya buka.“Enak?”“Kemanis
Wajah yang segar dengan rambut basahnya setelah dicuci, penampilan Adnan itu berbanding terbalik dengan keadaan Lolita saat ini.Kini, istri dari pemuda itu tampak letih. Kantung mata menghiasi wajah cantiknya. Lolita benar-benar terlihat seperti manusia yang kekurangan tidur.“Baby, kalau kamu sakit, bolos aja nggak apa-apa.”“Your eyes!” maki Lolita dengan suaranya yang serak-serak basah.Semalam ia sudah menjelaskan jika dosennya memang jarang memberikan tugas. Namun dosen itu menggantinya dengan kuis yang diadakan setelah sesi presentasi materi— Kata lainnya, ia bisa kehilangan nilai kalau membolos.“Aku takut kamu pingsan kalau maksain diri, By..”“Gara-Gara kamu! Benci banget aku sama kamu! Dasar tukang bohong!”Gadis muda itu terbangun dengan pusing dikepalanya. Suara yang biasanya seperti toa pun, mendadak kehilangan kegaharannya. Lolita lelah jiwa raga karena terhanyut dalam pusaran keganasan Adnan.Adnan adalah seorang pendusta!Pria itu mengkhianati kata-katanya. Melanggar
“Cinta nggak selamanya indah, Pren! Liat aja si Adnan..” Nando menggelengkan kepala seraya mendecakkan mulutnya.“Perasaan baru ge married, gelutbae kerjaannya..” timpal pemuda itu yang tak habis pikir dengan keseharian rumah tangga sahabatnya.“Yah, begitulah kalau kawinnya nggak mikir dua kali.. Impulsif sih dia. Dijauhin, ngajak kawin.. Orang mah dijauhin tuh ngedeketin.. At least PDKT pelan-pelan, bukannya maksa ngehalalin..” Ucap Tama, mengkritik gaya sat-set Adnan yang kelewat ekstrim.“Tauk! Dikira kawin enak apa yak!”“Ya emang enak!” Sahut Adnan, membalas perkataan Nando. Sahutan Adnan itu membuat ketiga sahabatnya tercengang.“Han, lo juga mikir apa yang ada dikepala gue kan?” tanya Nando sembari menatap Farhan.Farhan mengangguk singkat. Otak ketiganya tak bisa diajak berpositif thinking. Enak yang Adnan sebutkan pastilah merujuk pada arti lain dari kata kawin. Sekotor itulah isi pikiran ketiganya, terlebih kala melihat wajah ambigu Adnan.“Alig! Gue kirain dia yang paling
Adnan menerobos masuk ke dalam klinik kampusnya. Pemuda itu menghampiri salah satu petugas kesehatan yang cukup dirinya kenal.“Suster Neli, Lolita anak Psikologi yang dibawa kesini karena pingsan..” Adnan mencoba mengatur napasnya yang terengah. “Dia dimana, ya, Sus?” tanya Adnan, melengkapi kalimatnya yang terputus.“Tuh, disitu!” Suster Neli menunjuk satu-satunya bilik yang tertutupi oleh tirai. “Udah sadar kok anaknya. Langsung masuk aja, lagi diperiksa dokter anaknya.” Ucap sang suster, menginfokan keadaan gadis yang Adnan cari. “Makasih, Suster..” Ucap Adnan lalu kembali memacu langkahnya.Adnan kemudian menyibak tirai dihadapannya, “Baby!” teriaknya, membuat para tenaga kesehatan disana kompak berdesis.“Harap tenang! ini klinik, bukan medan perang!” tegur dokter yang saat ini tengah menangani Lolita. Wanita itu menarik tangan dan stetoskop yang dirinya gunakan untuk memeriksa pasiennya. “Overall, nggak ada masalah. Sepertinya kamu cuma kelelahan..”“Saya resepkan vitamin, nan
Lolita baru saja menghempaskan punggungnya saat Adnan menaiki mobilnya.“Mau langsung pulang ke rumah?”“Eum, tapi ke rumahnya Mami ya..”Mendengar kata rumah yang keluar dari mulutnya, seketika saja membuat Lolita ingin bertemu dengan maminya.Dulu sebelum dirinya menikah, hanya ada satu rumah yang menjadi tempat kepulangannya. Di rumah itu, ia benar-benar merasa kembali.Sayangnya, perasaan tersebut belum kunjung dapat dirinya rasakan ketika pulang ke rumah orang tua Adnan. Meski orang-orang didalamnya menyambut dirinya dengan sangat hangat, mereka tetaplah orang asing yang kini berubah menjadi keluarganya.“Anything for you, By..”“Adnan, Go!” seru Lolita sembari mengacungkan jarinya ke depan. Seruan wanita muda itu bernada, menirukan tokoh kartun yang kesehariannya mengendarai gerobak sapi.Untungnya, Adnan merupakan tipe menantu yang tidak durhaka.