Adnan seperti yang dulu?!Hanya dengan memikirkannya saja, dada Lolita rasanya seperti tengah diremas-remas. Ia seolah ditarik mundur pada masa kelam itu. Masa dimana segala perjuangannya tak terlihat dimata teduh Adnan.Lolita tak dapat mendeskripsikan perasaannya. Hanya saja, perasaan tidak mengenakan itu terasa berbeda. Kali ini rasa perih tak memenuhi dadanya. Ada perasaan baru yang muncul, setelah provokasi yang kakaknya lakukan dan sialnya, ia menyadarinya.Perasaan itu bernama tak rela.Setelah apa yang mereka lalui beberapa hari ini— tepatnya usai keduanya terikat ikatan paling sakral di seluruh muka bumi, kembalinya Adnan seperti dahulu kala akan merobek seluruh hatinya yang tersisa.“Yang!”“Lol!”Dua seruan dengan panggilan yang berbeda menyadarkan Lolita dari lamunannya.“Eh— Udah sampe?” tanya Lolita sembari melemparkan pandangan ke luar mobil.“Gila ya, Dek! Congekan apa gimana sih?! Kita panggil-panggil, udah kayak beda alam aja lo!”“Sorry, lagi mikirin deadline tugas
Perjalanan liburan singkat yang mereka rencanakan, harus terhenti sebelum mereka sempat keluar dari area Jakarta. Alasannya tentu karena Lolita yang mereog.Awalnya gadis itu hanya meminta untuk diturunkan di pinggir jalan. Lolita ingin pulang dan meminta mereka melanjutkan agenda tanpa dirinya. Namun Adnan tak mengindahkan permintaan sang istri, lalu mengambil keputusan untuk membatalkan acara liburan yang disusunnya.“Maunya pulang ke rumah Mami! Gue nggak mau disini!”Di dalam mobil yang terparkir di halaman luas kediaman keluarga Sujatmiko, Lolita berkeras hati untuk tidak ingin turun. Permintaan maaf Adnan dan kedua sepupunya tak membuat Lolita luluh. Argam yang melihat kelakuan adiknya pun menjadi sangat kesal.“Nan, minggir! Kelamaan kalau lo bujukinnya lembut begitu,” ujar Argam. Ia sudah dongkol setengah mati dengan ketantruman adik semata wayangnya. Karena adiknya, para sepupu Adnan sampai dipulangkan ke rumah mereka.“Iya, Bang! Lo mundur aja! Biar Bang Argam yang turun tan
“Yang, maksud kamu dibawah tadi apa? Pengen dibuatin SPBU?”“Hah?” Mulut Lolita terbuka. Rahangnya jatuh ke bawah, efek terlalu terkejut mendengar pertanyaan Adnan.Pria yang baru saja menyusul keberadaan Lolita itu pun mengambil tempat duduk disamping istrinya. “Mau dari perusahaan mana, Yang? Biar aku mintain ke Ayah.”Adnan berbicara dengan mimik muka serius, sehingga membuat Lolita tahu, jika suaminya ini tidak sedang dalam mode bercanda.“Kap-Kapan gue minta dibuatin pom bensin?”“Loh, tadi. Katanya mulai dari nol— itu bukannya kode ya?”Plak!!Gemas, Lolita pun mendaratkan pukulan pada pundak Adnan. “Goblog!” makinya sedikit bernada. Lolita kira Adnan itu pintar, ternyata pemuda itu tak pandai dalam menafsirkan kata-kata.“Maksudnya tuh hubungan kita yang mulai dari nol! Bukannya minta bikinin lahan biar gue bisa ngomong begitu ke orang!”Lolita menepuk keningnya mandiri. Sulit memang jika berkata-kata dengan orang kelebihan uang. Segala hal bisa diasumsikan ke dalam ranah per-u
Malam semakin larut, tapi rasa kantuk tak kunjung singgah, menyapa diri Lolita. Padahal ini merupakan kesempatan untuk dirinya lolos dari jerat janji tak tertulisnya dengan Adnan.“Nggak naik-naik ini orang!” gumam Lolita. Ia pun melirik jam digital yang terdapat pada sudut layar ponselnya. Angka disana telah menunjukkan pukul 10 malam dan Adnan belum juga membuka pintu kamar mereka.“Sesibuk itu ya jadi ketua BEM?” monolog Lolita.Lolita tidak tahu apa yang Adnan lakukan di bawah sana. Pemuda itu hanya meminta izin untuk mengurus beberapa pekerjaan diorganisasinya. Kalau Lolita tidak salah hitung, sudah 2 jam lamanya Adnan tak kembali.“Bang Argam juga anak BEM, tapi dia nggak sesibuk ini ah perasaan.”Kata ‘sibuk,’ tak pernah tampak dari diri kakaknya. Selama di rumah, sang kakak justru terlihat sangat santai. Pekerjaannya tidak jauh dari bermain gim dan mengganggu dirinya.“Gue ngapain sih,” gumam Lolita.Sadar dengan apa yang sedang dirinya lakukan, Lolita pun mengacak pangkal ram
“Perasaan, gue kayak kenal ini motor,” gumam Lolita, memandangi kendaraan roda dua yang terparkir tepat di samping tunggangan kebanggaan milik sang kakak.“Motor Melisa kan, Yang,” sahut Adnan memberitahu.Hal tersebut kontan membuat Lolita melayangkan tatapan tajamnya. “Kok lo bisa tau?” Kelopak matanya menyipit, menyiratkan sebuah tuntutan yang harus segera dipenuhi detik ini juga.“Kan sering kamu pinjem buat mondar-mandir di kampus.” Sebisa mungkin Adnan menjawabnya dengan tenang. Toh, ia juga tak berdusta. Ia memang menghafal jenis motor dan plat nomor Melisa berkat istrinya.“Kamu nggak lagi mikir aku sama Melisa ada apa-apa kan, Yang?” tanya Adnan, serius. Berhubung istrinya adalah Lolita, sudah semestinya ia mengorek seluruh isi pikiran sang istri. Lolita dan seisi otaknya terlalu antik— itu juga yang membuat jalan pikiran mereka tak pernah bisa tersinkronisasi.
Adnan melepas selang air ditangannya saat gerbang rumah Lolita dibuka dari luar. “Assalamualaikum, Pi,” ucapnya menyambut kedatangan papi mertuanya.Fuad yang selama ini tak lagi mendapatkan sambutan pun tersentak hebat. Kaki papi Lolita itu sampai melompat ke belakang saking kagetnya.“Loh! Kamu ngapain Nan?” tanya Fuad.“Nyiram tanamannya Mami, Pi.”“Bukan itu maksud Papi, Nan. Kamu ngapain di rumah Papi?” Seingatnya tidak ada laporan dari sang istri tentang berkunjungnya anak dan menantunya. Apalagi baru kemarin putrinya membuat keributan.“Kamu nggak lagi mulangin Lolita ke Papi kan?”Wajah Fuad memucat. Meski ia memprediksi singkatnya jalinan rumah tangga sang putri, tapi Fuad tak mengira akan secepat ini. Belum juga ada setengah tahun anaknya dipersunting.“Nggak Pi!” jawab Adnan tegas. Kepalanya bahkan sampai menggeleng keras. “Adnan niat awalnya cuma
Jeng! Jeng! Jeng! Jeng!“No way! Lolita nggak mau tinggal di rumah Oma Murti!”Penolakan secara tegas Lolita layangkan. Orang tuanya sudah gila. Mereka tahu betapa tidak akurnya ia dengan sang oma, tapi bisa-bisanya malah ingin mengirimkannya ke sana.“Papi sama Mami mau bunuh Loli ya?!”“Pengen Loli mati muda! Iya?!”“Heh, sembarangan aja mulut kamu kalau jeplak Lol!” amuk Kirana. Ia melakukan semua ini juga untuk kebaikan putrinya. Tidak ada orang yang Lolita takuti selain ibu mertuanya. Mengancam dengan mengurangi uang saku pun tak lagi bisa dirinya lakukan. Konon katanya, menantunya memanjakan dompet sang putri sampai membuat mata-matanya meng-iri dengki.“Makanya jadi orang tuh, at least bisa bikin es teh. Boro-boro deh! Semua-semua nggak bisa! Hamil juga nggak mau. Lama-lama dituker tambah kamu sama ibunya Adnan!”“yang bilang Loli nggak mau hamil siapa sih?!” tanya Lolita, ngegas. “Lolita mau-mau aja kok. Masa iya mau nolak rejeki dari Tuhan!”“Nggak ngasih Adnan nafkah batin,
“Woy, Nan! Tangan lo nutupin mata gue!”Adnan menelan ludahnya kasar. Dengan kakinya, pemuda itu menutup laptop di hadapan mereka. Barulah setelahnya, ia menurunkan tangannya dari wajah Lolita.“Kok ditutup sih?! Kita kan lagi belajar.” Protes Lolita. Ia berniat membuka laptopnya kembali, tapi Adnan bergerak jauh lebih cepat untuk menyingkirkannya.“Kenapa sih? Kamu nggak pengen kita bisa gituan?”Wajah Adnan memerah. Ia bukan tidak ingin melakukannya. Hanya saja, merupakan kali pertama dirinya menonton blue film. Kegiatan intim yang dipertontonkan pengunggahnya itu membuatnya panas dingin tak jelas.“Kita harus banget nonton itu, Yang?” tanya Adnan. Suaranya serak dan terdengar sangat berat.“Kalau nggak nonton, gimana kita tau caranya gituan,” jawab Lolita sembari menggeliatkan dua jari telunjuknya.“atau lo udah pernah nonton sebelumnya?”Jika jawabannya iya, Lolita berpikir untuk terima beres saja. Ia hanya perlu terlentang dan Adnan yang mengerjakan sisanya.“No, aku baru ini non
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk
“Bohong! Aku tuh tetangganya Adnan. Rumah aku ada didepan rumah dia. Kalau Lolita-Lolita itu udah kenal Adnan dari lama, nggak mungkin aku baru tau dia hidup di dunia!”Errr!!Kalimat yang Tasya lontarkan cukup pedas. Teman-temannya sampai tercengang mendengar penuturan gadis yang biasanya bersikap lembut itu.Arogan!Kalimat yang Tasya gunakan terdengar sangat arogan ditelinga teman-temannya. Semakin lama mereka mengenal Tasya, mereka semakin memahami bagaimana cara pikir gadis itu.Semua hal berkenaan dengan Adnan, entah itu benar atau tidak, Tasya bertindak seakan dirinya mengetahuinya lebih baik dari siapa pun.Tingkahnya seolah-olah dia dan Adnan hidup berbagi napas yang sama dan tidak pernah terpisahkan meski itu satu detik pun.Lambat laun, sikap terlewat halu itu tentu membuat teman-temannya merasa tak nyaman.“Lo kan cuman tetangganya, Tas. Nggak 24 ours bareng dia. Lagian dia kenal siapa, nggak mungkin laporan ke lo juga kan?”“Tapi nggak make sense kalau itu anak mereka. Si
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro