Malam semakin larut, tapi rasa kantuk tak kunjung singgah, menyapa diri Lolita. Padahal ini merupakan kesempatan untuk dirinya lolos dari jerat janji tak tertulisnya dengan Adnan.“Nggak naik-naik ini orang!” gumam Lolita. Ia pun melirik jam digital yang terdapat pada sudut layar ponselnya. Angka disana telah menunjukkan pukul 10 malam dan Adnan belum juga membuka pintu kamar mereka.“Sesibuk itu ya jadi ketua BEM?” monolog Lolita.Lolita tidak tahu apa yang Adnan lakukan di bawah sana. Pemuda itu hanya meminta izin untuk mengurus beberapa pekerjaan diorganisasinya. Kalau Lolita tidak salah hitung, sudah 2 jam lamanya Adnan tak kembali.“Bang Argam juga anak BEM, tapi dia nggak sesibuk ini ah perasaan.”Kata ‘sibuk,’ tak pernah tampak dari diri kakaknya. Selama di rumah, sang kakak justru terlihat sangat santai. Pekerjaannya tidak jauh dari bermain gim dan mengganggu dirinya.“Gue ngapain sih,” gumam Lolita.Sadar dengan apa yang sedang dirinya lakukan, Lolita pun mengacak pangkal ram
“Perasaan, gue kayak kenal ini motor,” gumam Lolita, memandangi kendaraan roda dua yang terparkir tepat di samping tunggangan kebanggaan milik sang kakak.“Motor Melisa kan, Yang,” sahut Adnan memberitahu.Hal tersebut kontan membuat Lolita melayangkan tatapan tajamnya. “Kok lo bisa tau?” Kelopak matanya menyipit, menyiratkan sebuah tuntutan yang harus segera dipenuhi detik ini juga.“Kan sering kamu pinjem buat mondar-mandir di kampus.” Sebisa mungkin Adnan menjawabnya dengan tenang. Toh, ia juga tak berdusta. Ia memang menghafal jenis motor dan plat nomor Melisa berkat istrinya.“Kamu nggak lagi mikir aku sama Melisa ada apa-apa kan, Yang?” tanya Adnan, serius. Berhubung istrinya adalah Lolita, sudah semestinya ia mengorek seluruh isi pikiran sang istri. Lolita dan seisi otaknya terlalu antik— itu juga yang membuat jalan pikiran mereka tak pernah bisa tersinkronisasi.
Adnan melepas selang air ditangannya saat gerbang rumah Lolita dibuka dari luar. “Assalamualaikum, Pi,” ucapnya menyambut kedatangan papi mertuanya.Fuad yang selama ini tak lagi mendapatkan sambutan pun tersentak hebat. Kaki papi Lolita itu sampai melompat ke belakang saking kagetnya.“Loh! Kamu ngapain Nan?” tanya Fuad.“Nyiram tanamannya Mami, Pi.”“Bukan itu maksud Papi, Nan. Kamu ngapain di rumah Papi?” Seingatnya tidak ada laporan dari sang istri tentang berkunjungnya anak dan menantunya. Apalagi baru kemarin putrinya membuat keributan.“Kamu nggak lagi mulangin Lolita ke Papi kan?”Wajah Fuad memucat. Meski ia memprediksi singkatnya jalinan rumah tangga sang putri, tapi Fuad tak mengira akan secepat ini. Belum juga ada setengah tahun anaknya dipersunting.“Nggak Pi!” jawab Adnan tegas. Kepalanya bahkan sampai menggeleng keras. “Adnan niat awalnya cuma
Jeng! Jeng! Jeng! Jeng!“No way! Lolita nggak mau tinggal di rumah Oma Murti!”Penolakan secara tegas Lolita layangkan. Orang tuanya sudah gila. Mereka tahu betapa tidak akurnya ia dengan sang oma, tapi bisa-bisanya malah ingin mengirimkannya ke sana.“Papi sama Mami mau bunuh Loli ya?!”“Pengen Loli mati muda! Iya?!”“Heh, sembarangan aja mulut kamu kalau jeplak Lol!” amuk Kirana. Ia melakukan semua ini juga untuk kebaikan putrinya. Tidak ada orang yang Lolita takuti selain ibu mertuanya. Mengancam dengan mengurangi uang saku pun tak lagi bisa dirinya lakukan. Konon katanya, menantunya memanjakan dompet sang putri sampai membuat mata-matanya meng-iri dengki.“Makanya jadi orang tuh, at least bisa bikin es teh. Boro-boro deh! Semua-semua nggak bisa! Hamil juga nggak mau. Lama-lama dituker tambah kamu sama ibunya Adnan!”“yang bilang Loli nggak mau hamil siapa sih?!” tanya Lolita, ngegas. “Lolita mau-mau aja kok. Masa iya mau nolak rejeki dari Tuhan!”“Nggak ngasih Adnan nafkah batin,
“Woy, Nan! Tangan lo nutupin mata gue!”Adnan menelan ludahnya kasar. Dengan kakinya, pemuda itu menutup laptop di hadapan mereka. Barulah setelahnya, ia menurunkan tangannya dari wajah Lolita.“Kok ditutup sih?! Kita kan lagi belajar.” Protes Lolita. Ia berniat membuka laptopnya kembali, tapi Adnan bergerak jauh lebih cepat untuk menyingkirkannya.“Kenapa sih? Kamu nggak pengen kita bisa gituan?”Wajah Adnan memerah. Ia bukan tidak ingin melakukannya. Hanya saja, merupakan kali pertama dirinya menonton blue film. Kegiatan intim yang dipertontonkan pengunggahnya itu membuatnya panas dingin tak jelas.“Kita harus banget nonton itu, Yang?” tanya Adnan. Suaranya serak dan terdengar sangat berat.“Kalau nggak nonton, gimana kita tau caranya gituan,” jawab Lolita sembari menggeliatkan dua jari telunjuknya.“atau lo udah pernah nonton sebelumnya?”Jika jawabannya iya, Lolita berpikir untuk terima beres saja. Ia hanya perlu terlentang dan Adnan yang mengerjakan sisanya.“No, aku baru ini non
“Morning Abang tercintanya Loli,” sapa Lolita sembari menarik kursi kosong disamping Argam. Lolita menghempaskan dirinya disana lalu memasang senyuman yang membuang Argam muak.“Muka Abang kok kusut amat sih. Semalem begadang ngerjain tugas ya?” timpal gadis yang kini sepenuhnya telah menjadi seorang wanita.“Gara-gara lo!” ungkap Argam tak santai. Ia tidak berniat melindungi adik semata wayangnya. Biar saja kedua orang tuanya tahu kelakuan anak perempuan mereka malam tadi. “Bisa nggak sih kalau lagi gini,” telapak tangannya bertepuk untuk dijadikan simbol, “suaranya nggak usah kenceng-kenceng!”“Tetangga kamar lo perjaka ya!”Papi Lolita kontan menyeburkan kopi hitam didalam mulutnya. Kini ia memahami arti dibalik tepuk tangan penuh emosi anak sulungnya.“Ya Ampun, Loli! Kalian udah uh-ah uh-ah?” tanya mami Lolita dengan senyum mengembang. Wanita yang melahirkan Lolita itu tampak gembira mendapati sang putri telah melakukan perannya sebagai seorang istri.Malu-malu, Lolita menganggu
“Lolita Cantika!”“Saya!” Lolita mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia tidak sadar jika dirinya bangkit berdiri setelah namanya dipanggil. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Ia mengedikan dagunya, seakan bertanya ada apa kepada teman-temannya.“Lol, duduk lagi!” Di sebelahnya, Melisa menarik-narik ujung kemeja yang Lolita kenakan. Matanya mengedip satu lali.“Saya pikir kamu begitu memperhatikan materi yang saya sampaikan, tidak tahunya saking memperhatikannya kamu sampai tidak dengar saya panggil-panggil! Keluar kamu dari kelas saya!”“Bu saya...”“Tidak ada alasan! Silahkan keluar Lolita Cantika!” Dosen wanita itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah pintu kelas. Setiap kata dalam kalimatnya pun seolah mengandung uranium. Tidak mau menurut, maka bersiaplah terkena rudal nuklir.“Lol, cepetan! Ntar sekelas ikutan kena!”Teman sekelasnya mulai ribut. Mereka semua memang tidak setia kawan. Kalau semua kelas terkena imbas dari hukumannya kan malah enak. Mereka jadi kosong 3 sks ke d
“Adnan, lepas!!”“Nggak mau!”“Diliatin orang-orang Adnan!”“Biarin! Kalau mereka punya mata, mereka emang harus liat, Yang.”Budak cinta yang sungguh membagongkan. Dulu dirinyalah yang menempel, mencari-cari keberadaan Adnan. Namun sekarang posisi itu menjadi terbalik.‘Aslik! Gue malu banget!’Ternyata menjadi Adnan dahulu kala sangat tidak enak. Selain rasa malu yang tidak bisa dirinya abaikan keberadaanya, timbul juga perasaan risih dan ingin melayangkan bogem mentah, supaya Adnan sadar dari kegilaannya.“Yang, ikut aku ke ruang BEM. Kita disana aja sambil nungguin jam kelas ke-2 kamu.”“Heh! Ngadi-ngadi! Kena grebek warga kampus, nyaho!”“Nggak bakalan, Yang! Disana kan juga pasti ada anak-anak lain.”Benar juga sih. Anggota BEM kan bukan hanya Adnan, Abangnya dan antek-antek mereka saja. Apalagi anak-anak BEM-Fakultasnya saja lebih suka nangkring di BEM-Universitas. Katanya, disana lebih banyak anak dari berbagai prodi— itu membuat tempat tersebut menjadi lebih seru.Katanya.. L