“Loliiiii!!”
Brak!! Brak!! Brak!!
“Bangun! Kuliah!”
“Apa itu kuliah!” Gumam Lolita, bermonolog. Sayup-sayup gendang telinganya mendengar keributan dibalik pintu kamar yang ia tempati.
“Maaf Loli nggak kenal yang namanya kuliah! Loli taunya Abang Adnan!” Ditengah matanya yang masih tertutup rapat, Lolita cengengesan tak jelas.
“LOLITAAA!!”
“His! Nenek sihir, hus! Jangan gangguin mimpi Loli dong! Mau nikah sama Abang Adnan nih!”
Gadis muda berusia 20 tahun itu mengubah posisi tidurnya. Tangannya meraih ujung selimut yang melorot ke bawah, menariknya ke atas sampai menutupi seluruh tubuhnya.
“Lolita Cantika, anaknya Fuad Gondo Joyo! Bangun apa Mami potong uang jajan kamu!!”
Kalimat terakhir yang terdengar ditelinganya, membuat Lolita menyibak selimut. Seluruh nyawanya langsung tertarik, meninggalkan alam mimpi.
Persetan dengan pak penghulu yang menanyakan sah atau tidaknya ijab qobul! Semua itu hanyalah bunga tidur belaka. Berbeda dengan ancaman sang mami yang pasti akan menjadi kenyataan, jika ia tak segera meninggalkan pulau kapuknya.
Heol!
Uang jajannya yang sudah menipis kini semakin terancam menuju kepunahan. Ia harus segera berada di depan wajah dan bersujud dibawah kaki maminya yang durjana.
“SATU!”
“Anjing! Gawat! Nenek sihir udah mulai ngitung!” Lolita panik sampai pantatnya berkedut. Maminya ini terkenal tak pernah menarik kata-katanya. Sekali wanita itu memutuskan sesuatu, air liurnya tidak akan pernah dijilat lagi.
“DUA!”
“SIALUN!” Decak Lolita.
Bruk!
Lolita melompat turun. Mengayuh tungkai kakinya untuk berlari secepat mungkin menuju gerbang kematian.
“TIG..”
Brak!!
“Mami! Annyeong! Loli udah melek!” Serunya, bertenaga.
“Liat nih! Liat!” Lolita melebarkan kedua kelopak matanya menggunakan jari-jari. Memperlihatkan pada maminya jika ia memang sudah tidak tidur lagi.
Kirana— Mamin Lolita, menghela napasnya. Ngidam apa dirinya sampai harus mempunyai anak perempuan seperti Lolita.
“Hem.. Mami tau kamu udah melek. Kalau nggak, nggak bakal mungkin bisa buka pintu!”
Tak jauh dari pintu kamarnya, Argam terkikik. Pemuda yang hanya berbeda satu tahun dengan Lolita itu mengolok-olok adiknya. Mengatai Lolita bodoh tanpa suara.
“Pasti semalem abis nyari kiat-kiat buat naklukin ketua BEM tuh, Mam. Makanya jadi bego begitu!”
“Bener, Lol?!” tanya sang mami. Nada suara meroket ke atas langit-langit rumah.
Lolita yang mendapatkan serangan brutal pun kelabakan. Kakaknya menebak dengan sangat jitu, tapi ia tidak boleh mengakuinya, terlebih dihadapan sang mami.
Terakhir kali, akibat insiden pengaduan pelet cintanya, lima puluh persen uang sakunya dirampas secara keji. Tak tanggung-tanggung, mami dan papinya bahkan memintanya untuk segera bertaubat, menghentikan segala kegilaannya mengenai si ketua BEMU.
Err!!
Cinta sucinya tidak tumbuh berkat kelicikan para iblis neraka. Perasaan itu mekar bersama tiupan harpa para malaikat kecil. Menelusupkan cinta murni, yang tak dapat dilenyapkan oleh siapa pun.
“HEH! Malah bengong! Bener nggak yang Abang kamu bilang?” Sentak Kirana. Urusan puber, anak keduanya sungguh tak lagi dapat ditolong. Papanya yang menyeramkan saja angkat dua kaki.
“LOLI!”
“Eh, gimana, Madam?! Ada yang bisa Loli bantu?”
Gemas dengan kelakuan putrinya, Kirana pun meraup wajah sang anak gadis. “Udah, fix! Abis semester ini kelar, kamu masuk pesantren aja. Mami takut kamu jadi gila gara-gara cinta-cintaan!”
“Setujuuu!” Pekik Argam.
“Eh, woy! Apa nih kok pesantren-pesantren! Mami!” Rengek Lolita. “Tadi otak Loli nge-freeze Mam, baru bangun tidur. Please kasih Loli satu kesempatan!” Jari-jari lentiknya mencoba menahan langkah kaki maminya.
“Oke— jawab jujur sekarang. Kamu nggak bisa bohongin Mami ya, Lol! Kantung mata kamu bukti kalau kamu begadang.”
“Heum..” Lolita menganggukkan kepalanya. Meski terintimidasi dengan kata-kata maminya, Lolita akan sekuat tenaga untuk berbohong. Ia tidak boleh ketahuan, kalau dirinya kembali mengembangkan mantra cinta untuk meluluhkan ketua BEM Universitasnya.
“Semalem, kamu ngapain? Mami hitung tiga detik. Sat..”
“Anu— Anu.. Loli non..”
Wah! Gawat! Lolita paling tidak bisa berkelit ketika tatapan setajam elang milik maminya mulai diudarakan.
‘Hyung, gimana ini?! Masa ngaku, Hyung?!’
“Mi! Ampun-haseyo! Nggak lagi-lagi nyari kombinasi mantra pelet.”
Sadar jika dirinya hanya mengulur-ngulur waktu dan mencoba mengelabui sang mami, Lolita pun tancap gas. Melangkahkan kakinya mundur tanpa kaca spion.
Gadis itu meraih pinggiran daun pintu, membantingnya cepat agar tak terkena tempelengan. Untuk sesaat, demi kemaslahatan bersama, khususnya saja dirinya— Ia harus menghindari kanjeng ratu pemilik dunia hitam dan mencoba bertahan dengan uang saku seadanya.
“Huwaa! Loli nggak mau dibuang ke pesantren. Ntar pasti dikira menyekutukan Tuhan. Padahal ini demi Abang Adnan loh, huhuhuhu!!”
Sungguh hidup yang tragis!
DITEMPAT yang sejatinya tak jauh dari bangunan rumah Lolita, pria yang gadis itu idam-idamkan tengah menikmati sepotong roti hasil panggangan ibunya. Disaat Lolita masih penuh dengan air liur di wajahnya, si tampan sudah siap sedia untuk bertolak ke kampus.
Adnan memang memiliki manajemen waktu yang baik. Baginya waktu merupakan sesuatu yang paling berharga— dimana tak ada satu pun manusia bisa membelinya jika sudah terlewati.
Jadi dibandingkan menyesal karena tidak menggunakan waktu sebaik mungkin, Adnan lebih suka melewatinya dengan serangkaian tugas yang seharusnya terselesaikan. Ia tidak suka menunda apa pun, seperti sang ibu, contohnya.
“Maaf ya, Ayah. Ibu tadi niatnya mau gosok seragam yang buat ke panti pagi ini, eh ternyata Ibu lupa.”
“Iya, Bu. Ayah nggak marah loh. Ibu jangan sedih begitu dong mukanya. Masih keburu kok jamnya.”
Untung saja ayahnya merupakan sosok terhebat. Beliau selalu maklum pada kekurangan istrinya.
Andai saja Adnan diberikan pilihan, ia ingin mempunyai istri yang benar-benar sempurna. Ibunya sendiri sudah sempurna. Dia cantik, pintar, bahkan sangat dermawan. Namun semua itu masih kurang jika diselaraskan dengan keminusan sang ibu yang juga menggunung. Sekurang-kurangnya, calon istrinya harus selembut tantenya.
Sayangnya— Entah karena pelet yang diberikan oleh adik juniornya, atau memang karena ia yang tak habis pikir dengan kelakuan gadis itu, setiap malamnya mereka justru dipertemukan melalui mimpi.
Betapa menyebalkannya gadis bernama Lolita itu. Behaviornya yang berbeda malah bisa menjerat alam bawah sadarnya.
“Mas Adnan, gantengnya Ibu. Kok nggak diabisin, Sayang?” tanya Tatiana— Ibu Adnan. “Masih loh itu ropang-nya, Nak.”
“Mas Adnan tiba-tiba kenyang, Bu.” Jawab Adnan. Akibat memikirkan Lolita, ia tak lagi berselera.
“Nggak boleh begitu, Mas!” Tegur Khoiron— ayah Adnan. “Di luar sana banyak yang nggak bisa makan seenak kamu. Ayah aja ini mau ke panti asuhan, masa anaknya malah buang-buang makanan!”
“Iya loh! Oma sama Opa di kampung pasti sedih kalau tau cucu kesayangannya nggak nafsu makan begini. Habisin ya, Sayang?”
Mau tak mau Adnan kembali mengambil potongan roti yang dirinya sisakan. Pikirannya carut-marut. Ia takut kalau masalah pelet itu benar-benar mengenai dirinya.
“Ayah..”
“Ya, Mas?”
“Pelet itu beneran ada nggak to?”
“Astagfirullahaladzim! Mas Adnan!”
Adnan tersentak sampai melemparkan roti ditangannya.
Apakah ia membuat kesalahan, sampai ayahnya terlihat sangat marah?
“Ya Ampun, malang banget sih nasib Incess!” Monolog Lolita setelah satu kakinya berhasil menapaki bagian luar jendela kamarnya.Lolita tampaknya harus mengadakan syukuran 7 hari 7 malam. Mengapa tidak— dikarenakan sang mami yang tak menyukai naik-turun tangga, rumah barunya tak harus membuatnya bergelantungan bagaikan Tarzan saat ingin kabur. Ternyata ada gunanya juga memiliki rumah sederhana.“Hiyak!!”Satu gerakan terakhir dan dirinya sukses keluar rumah tanpa perlu berpapasan dengan sang mami.“Berhasil juga gue!”Sebenarnya Lolita tak ingin bersusah-payah keluar. Ia bisa membolos dan mengunci dirinya sampai Bapak Fuad tercinta pulang dari dinasnya.Tapi..Ah! Para pejuang cinta pasti mengerti bagaimana rasanya sehari tak berjumpa dengan gebetan tersayang. Rasanya tuh seperti hidup segan, mati pun tak mau.Unwell sekali-lah kalau menurut Lolita.“Sepi amat yak? Jangan-Jangan gue ditinggal Abang lagi!”Sebelumnya Lolita sudah memohon pada Argam agar setidaknya berbelas kasih, membe
“Mel! Lo bukannya pernah cerita ya, kalau bokap lo ada kenalan dukun sakti. Bisa nggak Mel, lo ajakin gue kesana?!”Lolita mengguncang-guncang lengan Melisa. Jalannya sudah buntu, mungkin satu-satunya cara untuk dapat meluluhkan hati Adnan memang melalui dukun sakti. Bukannya malah sok menjadi dukun seperti yang selama ini dirinya lakukan.“Please, bawa gue ya Mel!”“Heh! Dugong! yang bener aja lo! Bokap gue aja udah pensiun, kenapa jadi giliran lo, yang sukarela, buat jadi human yang tersesat!” “Kepepet, Mel. Tuhan pasti maklum! Gue kan hamba yang tidak berdaya!”“Si Dodol!” Melisa tak bisa menahan tangannya untuk tidak menoyor kepala Lolita. Mana ada gadis setambeng sahabatnya ini. Sudah diperlihatkan kenyataan, matanya tetap saja buta, tak mau mengakui kekalahannya.“Pake cara yang bener-bener aja sih, Lol! Kena azab lo ntar!”Bukan apa-apa ya.. Jika Lolita terkena azab, dirinya pun pasti ikut merasakan pedihnya teguran dari Sang Maha Kuasa itu. Secara Lolita kemana-mana selalu b
Plak!“Anjing! Sakit!” Jerit keduanya, bersamaan.Bukan mimpi! Semuanya nyata! Kartu nama digenggamannya pun tidak menghilang, meski wanita yang mengaku menjadi ibu dari pujaan hatinya, tak lagi terlihat didepan mata.“Real, Mel!”Panas dipipinya membuktikan jika dirinya memang tidak sedang berhalusinasi.“Ho’oh!”“Aaakk!! Gue bakalan jadi bininya Bang Adnan kan, Mel?!” Girang Lolita. “Khitbah itu ngelamar kan ya?”“Setahu gue gitu, Lol!”Mendengar suara tak bertenaga Melisa, Lolita pun geram. “Heh!” Hardiknya dengan telapak tangan mendaratkan tamparan pada paha sahabatnya.“Lo kayaknya nggak seneng amat! Jangan bilang kalau lo nggak bahagia ya, Mel!”“Apaan sih, Combro!”“Ya lo kan salah satu fans Bang Adnan juga!” Ucap Lolita, menyampaikan apa yang melatar belakangi pemikirannya.Di kampus, siapa sih yang tidak jatuh hati pada pemuda bernama Muhammad Adnan Nabawi itu. Selain parasnya yang rupawan, tunggangannya pun menjadi yang paling mentereng dibandingkan anak orang kaya lainnya.
“Lol, lo beneran?”Melisa turut prihatin atas patah hati terbesar sahabatnya. Lolita menyukai kakak tingkat mereka sejak memasuki dunia perkuliahan.Kala itu si Ketua BEMU saat ini belum memiliki jabatan yang penting. Dia hanyalah salah satu panitia OSPEK di dalam grup kecil yang mempertemukan dirinya dengan Lolita.Ada satu peristiwa yang membuat sahabatnya jatuh hati, dan peristiwa itulah yang mungkin membekas pada benak Lolita.“Kalau kata orang jaman dulu, Lol. Sebelum bendera kuning ada di depan rumah, tandanya lo masih punya kesempatan.”“Ck, Mel! Lo nggak denger tadi Bang Adnan bilang apaan?” Decak Lolita santai, seolah dirinya baik-baik saja.“Udahlah! Cinta nggak harus memiliki kok. Gue nggak sebebal itu, Mel! Gue bukan tipenya, dia sendiri yang bilang.”“Lol, huhuhu!”Melisa mengulurkan lengannya, merangkul tubuh Lolita dari samping.“Tragis banget kisah cinta lo, Lolai! Kenapa nggak dari satu tahun lalu aja Bang Adnan ngomong begitu sih. Sia-sia parah kegoblokan lo selama i
Lolita mendesah. Tubuhnya lesu, seperti sebuah robot yang kehabisan daya.Satu hari bahkan belum berhasil dirinya lalui, tapi entah mengapa, ia merasa waktu disekitarnya melambat.Pergerakan ini sangat berbeda ketika dirinya masih sering merecoki Adnan. Biasanya ia mengutuk jam digital di ponselnya, yang bergerak begitu cepat.‘Fiuh! Berat ternyata, Bestie! Kapan sorenya ini?! Gue pengen balik, huhuhu!’Lolita bosan. Kini ia menyadari betapa bodoh dirinya selama ini. Andai saja ia tak jatuh hati pada seorang Adnan, ia mungkin memiliki kegiatan yang berfaedah di kampus.Contohnya saja, mengikuti salah satu organisasi fakultas, seperti apa yang dilakukan Melisa. Meskipun menjadi regu sorak dan tukang pembuat huru-hara, setidaknya hidupnya cukup berguna bagi Psikologinya tercinta.“Kambing! Jangan-jangan, gue lagi yang selama ini dipelet. Makanya bisa bego nggak ada obat!” Gerutu Lolita. Ia melipat kedua tangannya di atas dada. Mencoba memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya.“Wah,
Kemarin, waktu berlalu begitu saja, begitu pun dengan hari-hari selanjutnya. Lolita Cantika, gadis yang selama ini dikenal selalu ingin menempel pada tubuh si ketua BEM Universitas tetap ramai dibicarakan, tetapi dengan bahan gosip yang berbeda.Lolita mendapatkan julukan baru di lingkungan kampusnya, yakni sebagai player kelas kakap. Hal tersebut bermula dari pesta perayaan kembalinya otaknya.Kehadirannya bersama Richi saat pesta perayaan pribadinya dinilai negatif, oleh orang-orang yang melihat keberadaan mereka di kantin kala itu. Gosip mengenai dirinya yang merubah haluan pun berhembus sangat kencang, meski hubungan Richi dan kekasihnya tampak baik-baik saja dimuka umum.Lolita— Fans Garis Keras Ketua BEM, Patah Hati Lagi?!“Ck! Wartawan Kampus ngapain ngangkat berita nggak guna gini sih?! Mana Bang Richi ikut kebawa-bawa. Sampah banget!” Dumel Lolita usai membaca buletin kampus yang dikirimkan Melisa beberapa menit lalu.Saking niatnya, kehidupan asmara Richi sampai dibawa-bawa.
“Kamu?”Berjam-jam lamanya Lolita memikirkan satu kata yang telinganya dengar dari mulut Adnan.Ia tidak salah. Telinganya sangat sehat. Ketua BEM yang menyakiti hati dan harga dirinya itu, memang menggunakan panggilan yang berbeda siang tadi.Alih-alih lo, Adnan menyebutkan kata kamu.KAMU!!!Seakan-akan mereka saling mengenal dekat, lebih dari fans dan idolanya.“Argh! Babik! Apa sih maksudnya tuh laki?!” Kesal Lolita sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.Lolita menggigit bibir bagian bawahnya. Ia sungguh ingin bercerita tentang tingkah aneh Adnan pada Melisa. Namun ia takut membuat s
Dalam satu malam, dunia yang Lolita tinggali gonjang-ganjing. Ketika dirinya terjaga di pagi harinya, cincin yang Adnan lingkarkan dijarinya masih terpasang, seolah menegaskan jika keberadaannya bukan lah mimpi belaka.Laki-laki itu juga mengirimkan pesan melalui aplikasi perpesanan yang sebelumnya pria itu blokir. Mengucapkan selamat pagi lalu menyampaikan niatnya untuk menjemput dirinya. Tentu saja dengan segenap kesadarannya, Lolita menolak niat tersebut. Ia mengatakan akan berangkat ke kampus bersama abang tersayangnya.Hell!Lolita tidak segila itu. Menerima ajakan Adnan sama saja membiarkan kehebohan terjadi. Warga kampus pasti akan mengolok-ngolok dirinya tanpa tahu kejelasan dibalik bersamanya mereka.‘Ya mana percaya sih mereka kalau diceritain. Gue paling-paling dikira nggak waras sama mereka!’ Grundel Lolita di dalam hati.“Turun, woi! Udah nyampe nih kita!”