Share

[2] Perkara Pelet Cinta Lolita

“Loliiiii!!”

Brak!! Brak!! Brak!!

“Bangun! Kuliah!”

“Apa itu kuliah!” Gumam Lolita, bermonolog. Sayup-sayup gendang telinganya mendengar keributan dibalik pintu kamar yang ia tempati.

“Maaf Loli nggak kenal yang namanya kuliah! Loli taunya Abang Adnan!” Ditengah matanya yang masih tertutup rapat, Lolita cengengesan tak jelas.

“LOLITAAA!!”

“His! Nenek sihir, hus! Jangan gangguin mimpi Loli dong! Mau nikah sama Abang Adnan nih!”

Gadis muda berusia 20 tahun itu mengubah posisi tidurnya. Tangannya meraih ujung selimut yang melorot ke bawah, menariknya ke atas sampai menutupi seluruh tubuhnya.

“Lolita Cantika, anaknya Fuad Gondo Joyo! Bangun apa Mami potong uang jajan kamu!!”

Kalimat terakhir yang terdengar ditelinganya, membuat Lolita menyibak selimut. Seluruh nyawanya langsung tertarik, meninggalkan alam mimpi.

Persetan dengan pak penghulu yang menanyakan sah atau tidaknya ijab qobul! Semua itu hanyalah bunga tidur belaka. Berbeda dengan ancaman sang mami yang pasti akan menjadi kenyataan, jika ia tak segera meninggalkan pulau kapuknya.

Heol!

Uang jajannya yang sudah menipis kini semakin terancam menuju kepunahan. Ia harus segera berada di depan wajah dan bersujud dibawah kaki maminya yang durjana.

“SATU!”

“Anjing! Gawat! Nenek sihir udah mulai ngitung!” Lolita panik sampai pantatnya berkedut. Maminya ini terkenal tak pernah menarik kata-katanya. Sekali wanita itu memutuskan sesuatu, air liurnya tidak akan pernah dijilat lagi.

“DUA!”

SIALUN!” Decak Lolita.

Bruk!

Lolita melompat turun. Mengayuh tungkai kakinya untuk berlari secepat mungkin menuju gerbang kematian.

“TIG..”

Brak!!

“Mami! Annyeong! Loli udah melek!” Serunya, bertenaga.

“Liat nih! Liat!” Lolita melebarkan kedua kelopak matanya menggunakan jari-jari. Memperlihatkan pada maminya jika ia memang sudah tidak tidur lagi.

Kirana— Mamin Lolita, menghela napasnya. Ngidam apa dirinya sampai harus mempunyai anak perempuan seperti Lolita.

“Hem.. Mami tau kamu udah melek. Kalau nggak, nggak bakal mungkin bisa buka pintu!”

Tak jauh dari pintu kamarnya, Argam terkikik. Pemuda yang hanya berbeda satu tahun dengan Lolita itu mengolok-olok adiknya. Mengatai Lolita bodoh tanpa suara.

“Pasti semalem abis nyari kiat-kiat buat naklukin ketua BEM tuh, Mam. Makanya jadi bego begitu!”

“Bener, Lol?!” tanya sang mami. Nada suara meroket ke atas langit-langit rumah.

Lolita yang mendapatkan serangan brutal pun kelabakan. Kakaknya menebak dengan sangat jitu, tapi ia tidak boleh mengakuinya, terlebih dihadapan sang mami.

Terakhir kali, akibat insiden pengaduan pelet cintanya, lima puluh persen uang sakunya dirampas secara keji. Tak tanggung-tanggung, mami dan papinya bahkan memintanya untuk segera bertaubat, menghentikan segala kegilaannya mengenai si ketua BEMU.

Err!!

Cinta sucinya tidak tumbuh berkat kelicikan para iblis neraka. Perasaan itu mekar bersama tiupan harpa para malaikat kecil. Menelusupkan cinta murni, yang tak dapat dilenyapkan oleh siapa pun.

“HEH! Malah bengong! Bener nggak yang Abang kamu bilang?” Sentak Kirana. Urusan puber, anak keduanya sungguh tak lagi dapat ditolong. Papanya yang menyeramkan saja angkat dua kaki.

“LOLI!”

“Eh, gimana, Madam?! Ada yang bisa Loli bantu?”

Gemas dengan kelakuan putrinya, Kirana pun meraup wajah sang anak gadis. “Udah, fix! Abis semester ini kelar, kamu masuk pesantren aja. Mami takut kamu jadi gila gara-gara cinta-cintaan!”

“Setujuuu!” Pekik Argam.

“Eh, woy! Apa nih kok pesantren-pesantren! Mami!” Rengek Lolita. “Tadi otak Loli nge-freeze Mam, baru bangun tidur. Please kasih Loli satu kesempatan!” Jari-jari lentiknya mencoba menahan langkah kaki maminya.

“Oke— jawab jujur sekarang. Kamu nggak bisa bohongin Mami ya, Lol! Kantung mata kamu bukti kalau kamu begadang.”

Heum..” Lolita menganggukkan kepalanya. Meski terintimidasi dengan kata-kata maminya, Lolita akan sekuat tenaga untuk berbohong. Ia tidak boleh ketahuan, kalau dirinya kembali mengembangkan mantra cinta untuk meluluhkan ketua BEM Universitasnya.

“Semalem, kamu ngapain? Mami hitung tiga detik. Sat..”

“Anu— Anu.. Loli non..”

Wah! Gawat! Lolita paling tidak bisa berkelit ketika tatapan setajam elang milik maminya mulai diudarakan.

Hyung, gimana ini?! Masa ngaku, Hyung?!

“Mi! Ampun-haseyo! Nggak lagi-lagi nyari kombinasi mantra pelet.”

Sadar jika dirinya hanya mengulur-ngulur waktu dan mencoba mengelabui sang mami, Lolita pun tancap gas. Melangkahkan kakinya mundur tanpa kaca spion.

Gadis itu meraih pinggiran daun pintu, membantingnya cepat agar tak terkena tempelengan. Untuk sesaat, demi kemaslahatan bersama, khususnya saja dirinya— Ia harus menghindari kanjeng ratu pemilik dunia hitam dan mencoba bertahan dengan uang saku seadanya.

“Huwaa! Loli nggak mau dibuang ke pesantren. Ntar pasti dikira menyekutukan Tuhan. Padahal ini demi Abang Adnan loh, huhuhuhu!!”

Sungguh hidup yang tragis!

DITEMPAT yang sejatinya tak jauh dari bangunan rumah Lolita, pria yang gadis itu idam-idamkan tengah menikmati sepotong roti hasil panggangan ibunya. Disaat Lolita masih penuh dengan air liur di wajahnya, si tampan sudah siap sedia untuk bertolak ke kampus.

Adnan memang memiliki manajemen waktu yang baik. Baginya waktu merupakan sesuatu yang paling berharga— dimana tak ada satu pun manusia bisa membelinya jika sudah terlewati.

Jadi dibandingkan menyesal karena tidak menggunakan waktu sebaik mungkin, Adnan lebih suka melewatinya dengan serangkaian tugas yang seharusnya terselesaikan. Ia tidak suka menunda apa pun, seperti sang ibu, contohnya.

“Maaf ya, Ayah. Ibu tadi niatnya mau gosok seragam yang buat ke panti pagi ini, eh ternyata Ibu lupa.”

“Iya, Bu. Ayah nggak marah loh. Ibu jangan sedih begitu dong mukanya. Masih keburu kok jamnya.”

Untung saja ayahnya merupakan sosok terhebat. Beliau selalu maklum pada kekurangan istrinya.

Andai saja Adnan diberikan pilihan, ia ingin mempunyai istri yang benar-benar sempurna. Ibunya sendiri sudah sempurna. Dia cantik, pintar, bahkan sangat dermawan. Namun semua itu masih kurang jika diselaraskan dengan keminusan sang ibu yang juga menggunung. Sekurang-kurangnya, calon istrinya harus selembut tantenya.

Sayangnya— Entah karena pelet yang diberikan oleh adik juniornya, atau memang karena ia yang tak habis pikir dengan kelakuan gadis itu, setiap malamnya mereka justru dipertemukan melalui mimpi.

Betapa menyebalkannya gadis bernama Lolita itu. Behaviornya yang berbeda malah bisa menjerat alam bawah sadarnya.

“Mas Adnan, gantengnya Ibu. Kok nggak diabisin, Sayang?” tanya Tatiana— Ibu Adnan. “Masih loh itu ropang-nya, Nak.”

“Mas Adnan tiba-tiba kenyang, Bu.” Jawab Adnan. Akibat memikirkan Lolita, ia tak lagi berselera.

“Nggak boleh begitu, Mas!” Tegur Khoiron— ayah Adnan. “Di luar sana banyak yang nggak bisa makan seenak kamu. Ayah aja ini mau ke panti asuhan, masa anaknya malah buang-buang makanan!”

“Iya loh! Oma sama Opa di kampung pasti sedih kalau tau cucu kesayangannya nggak nafsu makan begini. Habisin ya, Sayang?”

Mau tak mau Adnan kembali mengambil potongan roti yang dirinya sisakan. Pikirannya carut-marut. Ia takut kalau masalah pelet itu benar-benar mengenai dirinya.

“Ayah..”

“Ya, Mas?”

“Pelet itu beneran ada nggak to?”

“Astagfirullahaladzim! Mas Adnan!”

Adnan tersentak sampai melemparkan roti ditangannya.

Apakah ia membuat kesalahan, sampai ayahnya terlihat sangat marah?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Puroha firdaus
gak up² sii kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status