“Lol, lo beneran?”
Melisa turut prihatin atas patah hati terbesar sahabatnya. Lolita menyukai kakak tingkat mereka sejak memasuki dunia perkuliahan.
Kala itu si Ketua BEMU saat ini belum memiliki jabatan yang penting. Dia hanyalah salah satu panitia OSPEK di dalam grup kecil yang mempertemukan dirinya dengan Lolita.
Ada satu peristiwa yang membuat sahabatnya jatuh hati, dan peristiwa itulah yang mungkin membekas pada benak Lolita.
“Kalau kata orang jaman dulu, Lol. Sebelum bendera kuning ada di depan rumah, tandanya lo masih punya kesempatan.”
“Ck, Mel! Lo nggak denger tadi Bang Adnan bilang apaan?” Decak Lolita santai, seolah dirinya baik-baik saja.
“Udahlah! Cinta nggak harus memiliki kok. Gue nggak sebebal itu, Mel! Gue bukan tipenya, dia sendiri yang bilang.”
“Lol, huhuhu!”
Melisa mengulurkan lengannya, merangkul tubuh Lolita dari samping.
“Tragis banget kisah cinta lo, Lolai! Kenapa nggak dari satu tahun lalu aja Bang Adnan ngomong begitu sih. Sia-sia parah kegoblokan lo selama ini, hiks!”
Lolita mencebikkan bibirnya. “Lo jangan ngata-ngatain gue dong, Mel. Mana belasungkawanya? Gue lagi patah hati ini,” gerutunya, menagih tenggang rasa pada sang sahabat sejati.
“Kan lo nggak metong, Lol! Ngapain pake belasungkawa segala coba! Kejadian ini malah harus kita rayain, Ogeb! Akhirnya setelah sekian purnama, sohib gue waras, hehehehe.”
“The Fuck!” Maki Lolita. Sempat-sempatnya Melisa terkekeh di atas penderitaannya. Mana meminta diadakan perayaan. Hatinya loh, sedang berduka cita.
“Gue traktir di kantin fakultas aja yak?! Tapinya ke Bang Argam dulu. Gue nggak punya duit, Mel! Tinggal recehan buat beli nasi kucing di depan komplek.”
“Nelangsa banget sih idup lo, Lol! Sadar nggak sih, kalau itu semua gara-gara Bang Adnan?”
Jika saja Lolita mau membuka lebar-lebar kelopak matanya, gadis itu tentu akan lebih awal menyadari benarnya kalimat Melisa.
Semuanya memang dikarenakan Adnan. Pemuda itu selalu menjadi alasan pada setiap terpotongnya uang saku miliknya.
“Coba lo nggak segala bucin sampe melet Bang Adnan, duit jajan lo yang kepotong bakalan bisa buat traktir temen sekelas, Lol!”
“Lah, iya juga yak, Mel! Gue ternyata bego banget yak selama ini.” Gumam Lolita. Keduanya berbincang sembari melangkahkan kaki. Berniat mencari Argam ditempat biasanya anak itu berkumpul bersama teman-teman organisasinya.
“Lo nyadarnya kenapa telat banget dah, Lol! Kelakuan lo selama ini bener-bener diluar nurul yak.”
“Butuh Elsa nggak sih kita?”
“Astajim, Lolai!! Patah hati sih, patah hati. Tapi jangan ajakin anak orang sesat dong! Anggur merah nggak baik buat perawan kayak kita.”
Dan sepanjang perjalanan, kedua gadis itu berceloteh kesana-kemari. Membicarakan hal-hal random sampai keduanya tiba di dekat pintu ruang BEM, yang lokasinya berada tak jauh dari fakultas psikologi mereka.
“Lolita tuh!”
“Bahaha, Anjir! Denger-denger si Lolita dikasih lampu ijo ya, Bro, sama nyokap lo?”
“Kesini pasti mau mepet lo nih, Nan. Siapin mental, Nan. Siapa tahu lo bakal dipelet lagi.”
Suara-Suara sumbang menyambut kedatangan Lolita dan Melisa. Mereka yang sedang bersama Adnan bahkan tak mau repot, untuk menurunkan volume suara mereka. Berghibah-ria seolah orang yang mereka bicarakan, merupakan sosok tak kasat mata.
“Lol,” Melisa mencekal lengan Lolita, “lo yakin mau nyari Bang Argam didalem? Chat aja udah. Suruh dia yang keluar.”
Lolita menghela napasnya yang berat. “Lo tunggu sini aja, Mel. Biar gue yang masuk. Jam segini Bang Argam pasti molor lagi.”
Kakak yang sedikit tidak Lolita cintai itu memang selalu berangkat pagi. Pukul berapa pun jam kuliah dan kegiatan organisasinya dimulai, pukul tujuh pasti sudah melesatkan kuda besinya.
Meski demikian, bukan berarti Argam adalah orang yang rajin. Pemuda itu hanya berpindah tempat tidur. Jika berada di rumah, mami mereka pasti akan mengomel sepanjang jalur rel kereta api.
“Nggak, Lol! Gue temenin. Pokoknya susah, seneng, kita harus bareng. Lagian gue udah biasa kok kalau harus ada di situasi yang malu-maluin bareng lo.”
“Sialan!” Umpat Lolita membuat Melisa menyengir kuda.
Keduanya melanjutkan langkah, mengaktifkan tombol budek sementara agar misi menemui Argam berhasil dijalankan.
“Eh, Neng Loli. Mau nyamperin Bang Adnan ya?” Goda salah satu teman terdekat Adnan.
Di kampus, siapa yang tidak mengetahui jika Lolita sangat tergila-gila pada Adnan. Gadis itu selalu mencari cara untuk bisa mendapatkan perhatian si Ketua BEM Universitas.
Bukan hanya satu kali Lolita menyambangi Adnan ke ruang BEM Universitas. Tepatnya hampir setiap hari dan itu ditujukan khusus demi Adnan seorang. Padahal kakak kandung Lolita— Argam, juga menjabat sebagai salah satu orang penting di puncak organisasi kampus.
“Sorry Bang! Bisa minggir, nggak?! Lo ngalangin jalan gue!”
“Duh, maaf, Lol! Jadi nggak bisa liat wajah Babang Ganteng yak?!” Pemuda yang menggoda Lolita itu lantas menyingkir, memberikan akses agar Lolita dapat bertatap muka dengan idola kesayangannya.
Namun yang terjadi tidak seperti biasanya— Anggapan bahwa Lolita ingin menemui adnan dipatahkan oleh terus melangkahnya kaki-kaki jenjang gadis itu.
Yah, gadis itu benar-benar hanya ingin menggunakan jalanan yang tertutup oleh Adnan dan teman-temannya. Ia bahkan tak melirik Adnan walau satu detik lamanya. Pandangannya lurus, tak berbelok pada si Ketua BEM yang berdiri bersandarkan dinding beton.
“Njir, doi kesini kagak buat ketemu lo, Bro. Tumben banget.” Ucap sahabat terdekat Adnan, Farhan.
“Jinnya udah ilang kali,” sahutan dari sahabat Adnan yang lain menggema.
“Halah! Mana ada, Nan! Strategi ini namanya! After dapet lampu ijo dari Tante Tiana, dia sok jual mahal,” papar Tama dengan asumsinya untuk menyanggah sahutan Nando.
“Lo nggak inget, dia ngejar-ngejar si Adnan dari kapan? MABA, Coy! Ya kali mendadak nggak suka! Gue sih nggak percaya ya, kalau dia tiba-tiba nggak naksir Adnan lagi!” timpalnya, menyampaikan apa yang dirinya pikirkan atas perubahan Lolita.
“Bener sih! Rada aneh juga kalau mendadak doi dingin gitu ke Adnan.”
Ditengah pembahasan seputar Lolita, Adnan diam termenung. Ia yang selama ini tak pernah memperhatikan Lolita, sempat memusatkan perhatiannya pada wajah gadis itu.
‘Dia marah?’ batin Adnan, menyuarakan penilaiannya atas ekspresi Lolita di dalam hati.
Mungkin kah dirinya sudah sangat keterlaluan?
Apakah kata-katanya sudah menyakiti gadis itu, sampai untuk meliriknya pun, Lolita tak sudi?!
Bukan kah ia hanya meminta Lolita untuk berhenti bertingkah memuakkan? Tapi mengapa gadis itu justru bertindak berlebihan, bertingkah seolah-olah mereka tidak saling mengenal sebelumnya.
“Nan, Adnan!”
Lambaian tangan yang dilakukan oleh Nand di depan mata Adnan, membuatnya tersadar dari lamunan.
“Mikirin apa lo? Jangan bilang, lo lagi mikirin si Lolita?!” Tebak Nando, diikuti oleh tatapan ingin tahu kedua sahabat Adnan yang lainnya.
“Ngaco lo! Gue lagi mikir, si Richi lama banget ke toiletnya. Bentar lagi kita ada kelas. Bisa-bisa kita telat gara-gara nungguin tuh anak.” Dusta Adnan, tak ingin mengaku.
“Kirain, Bro! Siapa tau kan, lo ngerasa kehilangan. Tiap hari doi nempel kayak parasit, jadi pas nggak ada, lo mendadak something’s wrong gitu. Wkwkwk!” Nando meledakkan tawa, diikuti oleh Tama dan Farhan.
Kalimat panjang Nando itu dibalas dengusan oleh Adnan. Ia yakin tidak akan merasakan seperti apa yang Nando katakan.
Mulai detik ini, hidupnya akan terbebas dari segala bentuk perilaku menyimpang Lolita. Ia mana mungkin merasa kehilangan untuk sesuatu yang bahkan dianggap ada saja, tidak.
“Awas aja ya, Lol! Gue sumpahin lo berdua mencret kalau ngibulin gue!”
“Yeee! Bertiga dong! Kan Loli ngajakin Bang Richi juga. Masa dia selamet sendirian sih, Bang?!”
Samar-samar telinga Adnan menangkap pembicaraan Lolita dan Argam. Suara itu juga dilapisi oleh tawa seseorang yang Adnan kenali pemiliknya.
“Nggak bisa Lol, kalau sekarang. Gue kelas bentar lagi.”
“Lo nyusul aja abis kelas, Bang. Hari ini gue sama Melisa pengen ngerayain kembalinya otak gue.”
“Heh! yang lo pake pesta duit gue, kenapa gue nggak diajakin?!” Protes Argam.
Kini pemilik suara-suara yang merasuk ke gendang telinga Adnan mulai terlihat batang hidungnya.
Benar saja, di antara suara-suara tersebut, Richi sahabatnya, ikut berada diantara Lolita dan lawan bicaranya.
“Ngajakin Abang mah bikin bengkak pengeluaran. Temen-temen Abang kan banyak. Miskin loh, ntar, Bang!” Ujar Lolita. “Loli gini kan buat menghemat uang saku Abang.” Alibinya sebelum mencium pipi Argam.
“Thanks supply duit jajannya Abang Gadun. Nanti malem ya?” Sebelah matanya mengerling, jenaka. “Bang Richi, jangan lupa nanti yak,” Lolita melambaikan tangannya, berdad-ria sebelum mengajak Melisa untuk hengkang.
Sekali lagi, gadis itu hanya melewati Adnan dan kumpulannya. Tidak ada sapaan, apalagi binar damba.
‘Harus sejauh ini berubahnya? Belom sehari padahal!’
Lolita mendesah. Tubuhnya lesu, seperti sebuah robot yang kehabisan daya.Satu hari bahkan belum berhasil dirinya lalui, tapi entah mengapa, ia merasa waktu disekitarnya melambat.Pergerakan ini sangat berbeda ketika dirinya masih sering merecoki Adnan. Biasanya ia mengutuk jam digital di ponselnya, yang bergerak begitu cepat.‘Fiuh! Berat ternyata, Bestie! Kapan sorenya ini?! Gue pengen balik, huhuhu!’Lolita bosan. Kini ia menyadari betapa bodoh dirinya selama ini. Andai saja ia tak jatuh hati pada seorang Adnan, ia mungkin memiliki kegiatan yang berfaedah di kampus.Contohnya saja, mengikuti salah satu organisasi fakultas, seperti apa yang dilakukan Melisa. Meskipun menjadi regu sorak dan tukang pembuat huru-hara, setidaknya hidupnya cukup berguna bagi Psikologinya tercinta.“Kambing! Jangan-jangan, gue lagi yang selama ini dipelet. Makanya bisa bego nggak ada obat!” Gerutu Lolita. Ia melipat kedua tangannya di atas dada. Mencoba memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya.“Wah,
Kemarin, waktu berlalu begitu saja, begitu pun dengan hari-hari selanjutnya. Lolita Cantika, gadis yang selama ini dikenal selalu ingin menempel pada tubuh si ketua BEM Universitas tetap ramai dibicarakan, tetapi dengan bahan gosip yang berbeda.Lolita mendapatkan julukan baru di lingkungan kampusnya, yakni sebagai player kelas kakap. Hal tersebut bermula dari pesta perayaan kembalinya otaknya.Kehadirannya bersama Richi saat pesta perayaan pribadinya dinilai negatif, oleh orang-orang yang melihat keberadaan mereka di kantin kala itu. Gosip mengenai dirinya yang merubah haluan pun berhembus sangat kencang, meski hubungan Richi dan kekasihnya tampak baik-baik saja dimuka umum.Lolita— Fans Garis Keras Ketua BEM, Patah Hati Lagi?!“Ck! Wartawan Kampus ngapain ngangkat berita nggak guna gini sih?! Mana Bang Richi ikut kebawa-bawa. Sampah banget!” Dumel Lolita usai membaca buletin kampus yang dikirimkan Melisa beberapa menit lalu.Saking niatnya, kehidupan asmara Richi sampai dibawa-bawa.
“Kamu?”Berjam-jam lamanya Lolita memikirkan satu kata yang telinganya dengar dari mulut Adnan.Ia tidak salah. Telinganya sangat sehat. Ketua BEM yang menyakiti hati dan harga dirinya itu, memang menggunakan panggilan yang berbeda siang tadi.Alih-alih lo, Adnan menyebutkan kata kamu.KAMU!!!Seakan-akan mereka saling mengenal dekat, lebih dari fans dan idolanya.“Argh! Babik! Apa sih maksudnya tuh laki?!” Kesal Lolita sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.Lolita menggigit bibir bagian bawahnya. Ia sungguh ingin bercerita tentang tingkah aneh Adnan pada Melisa. Namun ia takut membuat s
Dalam satu malam, dunia yang Lolita tinggali gonjang-ganjing. Ketika dirinya terjaga di pagi harinya, cincin yang Adnan lingkarkan dijarinya masih terpasang, seolah menegaskan jika keberadaannya bukan lah mimpi belaka.Laki-laki itu juga mengirimkan pesan melalui aplikasi perpesanan yang sebelumnya pria itu blokir. Mengucapkan selamat pagi lalu menyampaikan niatnya untuk menjemput dirinya. Tentu saja dengan segenap kesadarannya, Lolita menolak niat tersebut. Ia mengatakan akan berangkat ke kampus bersama abang tersayangnya.Hell!Lolita tidak segila itu. Menerima ajakan Adnan sama saja membiarkan kehebohan terjadi. Warga kampus pasti akan mengolok-ngolok dirinya tanpa tahu kejelasan dibalik bersamanya mereka.‘Ya mana percaya sih mereka kalau diceritain. Gue paling-paling dikira nggak waras sama mereka!’ Grundel Lolita di dalam hati.“Turun, woi! Udah nyampe nih kita!”
Pejuang cintanya terkapar— begitu mungkin judul yang tepat untuk disematkan pada berita terbaru terkait Lolita Cantika. Kabar mengenai Lolita yang berhasil mendapatkan si Ketua BEM langsung menyeruak, menyebar sampai ke sudut-sudut kampus. Berita tersebut tersebar secepat kekuatan cahaya, mengalahkan si bintang utama yang tak kunjung siuman dari pingsannya. Melisa menatap sengit Adnan yang setia menemani Lolita. Pemuda itu berdiri tepat disamping Kasur yang Lolita gunakan, sedangkan Melisa duduk manis pada sisi yang berlawanan. “Kita harus ngobrol empat mata, Bang Ad-Piiiip!” Efek terlalu mendalami peran sebagai pembenci Adnan garis keras, sampai saat ini mulut Melisa secara otomatis masih melakukan sensor pada nama pemuda itu. Hal tersebut merupakan bentuk solidaritasnya terhadap Lolita. Bersama sang sahabat, keduanya meninggalkan fans club yang dulunya menaungi nama mereka. “Pergi deh lo berdua! Loli biar gue yang jagain.” Ucap Argam sembari mengibas-ngibaskan tangannya, perta
“Lolita! Lepasin gue!” Lolita mengabaikannya. Sama seperti apa yang perempuan itu lakukan ketika dirinya meminta, ia pun melakukan hal yang serupa. “Tolong! Tolongin gue! Nih cewek freak ngamuk nggak jelas!” Anak-anak kampus mungkin akan segera menolong, jika kalimat itu keluar dari mulut orang lain. Sayangnya, kalimat itu dikeluarkan oleh sosok yang sering melakukan pembulian. Alih-alih membantu, mereka justru pura-pura tak melihat rombongan Lolita. “Diem! Gue sumpelin juga mulut lo pake kaos kaki!” Seorang perundung biasanya hanya berani bertingkah saat bersama gerombolannya. Ketika tersisa seorang diri, cakar dan taringnya lenyap, bersama mentalnya yang ikut melemah. Tujuan mereka berperilaku seolah menjadi superior adalah untuk mendapatkan pengakuan. Tapi pengakuan tersebut hanya bisa didapatkan ketika berada dikoloninya. “Sampe ada dosen ke sini, gue aduin kelakuan busuk lo di kamar mandi! Liat aja siapa yang bakal menang!” Lolita jelas memiliki kartu truf. Bukan dirinya y
Keberadaan seseorang akan terlihat berarti ketika sudah melangkah pergi— mungkin demikianlah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok Lolita dalam hidup Adnan.Siapa sangka jika gadis yang dulunya Adnan anggap mengganggu, justru merupakan gadis yang dapat memikat hati dan pikirannya.Adnan merasa kehilangan setelah hidupnya menjadi begitu normal, tanpa adanya gangguan yang biasa Lolita lakukan kepadanya. Hari-harinya menjadi tidak semenyenangkan dulu, tepatnya setelah Lolita mengabaikan eksistensinya di sekitar gadis itu.“Huft!”Ibu jari Adnan menekan tombol, ‘home,’ pada layar ponselnya. Meninggalkan aplikasi perpesanan yang selama sepuluh menit sudah dirinya mainkan.Percuma saja menghubungi Lolita melalui chat dan panggilan, karena tak ada satu pun pesan darinya yang mendapatkan balasan.“Nan, Adnan!!”Nando tiba dengan napasnya yang memburu. Jika Adnan tak salah tebak, sahabatnya itu pasti berlarian demi mencarinya.“Cewek lo! Si Lolipop weleh-weleh! Gue liat dia keluar dari
Tidak!— ini pasti hanyalah mimpi. Seorang Adnan Nabawi tidak mungkin melakukan hal-hal tercela, melebihi ciuman dipipi. Selama ini ia bahkan tak pernah melihat Adnan meninggalkan shalatnya ketika di kampus.“Ngomong sekali lagi kamu mau kawin lari! Cepet!”Apa ini sebenarnya.Ia merasa jika dirinya dan Adnan berada di dimensi lain, dimana hanya ada keduanya didalamnya.Sorot mata yang tajam. Kalimat tanya yang sarat akan amarah. Seluruhnya menerjemahkan sebuah ancaman, yang kapan saja akan siap dilayangkan padanya.Benarkah pria dihadapannya ini Adnan Nabawi?Mengapa dia tampak seperti orang lain. Ah, bukan orang, tapi malaikat yang sewaktu-waktu siap mengambil nyawanya.“Lol! Lolita!”Barulah ketika sepasang tangan menepuk-nepuk kedua pipinya, kesadaran Lolita kembali. Telinganya dapat mendengar pekik histeris milik orang-orang disekitarnya.“Kamu baik-baik aja?”‘yang bener aja ini orang,’ decih Lolita, geram. Tidak ada gadis yang baik-baik saja ketika ciuman pertamanya dicuri, begi
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk
“Bohong! Aku tuh tetangganya Adnan. Rumah aku ada didepan rumah dia. Kalau Lolita-Lolita itu udah kenal Adnan dari lama, nggak mungkin aku baru tau dia hidup di dunia!”Errr!!Kalimat yang Tasya lontarkan cukup pedas. Teman-temannya sampai tercengang mendengar penuturan gadis yang biasanya bersikap lembut itu.Arogan!Kalimat yang Tasya gunakan terdengar sangat arogan ditelinga teman-temannya. Semakin lama mereka mengenal Tasya, mereka semakin memahami bagaimana cara pikir gadis itu.Semua hal berkenaan dengan Adnan, entah itu benar atau tidak, Tasya bertindak seakan dirinya mengetahuinya lebih baik dari siapa pun.Tingkahnya seolah-olah dia dan Adnan hidup berbagi napas yang sama dan tidak pernah terpisahkan meski itu satu detik pun.Lambat laun, sikap terlewat halu itu tentu membuat teman-temannya merasa tak nyaman.“Lo kan cuman tetangganya, Tas. Nggak 24 ours bareng dia. Lagian dia kenal siapa, nggak mungkin laporan ke lo juga kan?”“Tapi nggak make sense kalau itu anak mereka. Si
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro