Lolita mendesah. Tubuhnya lesu, seperti sebuah robot yang kehabisan daya.
Satu hari bahkan belum berhasil dirinya lalui, tapi entah mengapa, ia merasa waktu disekitarnya melambat.
Pergerakan ini sangat berbeda ketika dirinya masih sering merecoki Adnan. Biasanya ia mengutuk jam digital di ponselnya, yang bergerak begitu cepat.
‘Fiuh! Berat ternyata, Bestie! Kapan sorenya ini?! Gue pengen balik, huhuhu!’
Lolita bosan. Kini ia menyadari betapa bodoh dirinya selama ini. Andai saja ia tak jatuh hati pada seorang Adnan, ia mungkin memiliki kegiatan yang berfaedah di kampus.
Contohnya saja, mengikuti salah satu organisasi fakultas, seperti apa yang dilakukan Melisa. Meskipun menjadi regu sorak dan tukang pembuat huru-hara, setidaknya hidupnya cukup berguna bagi Psikologinya tercinta.
“Kambing! Jangan-jangan, gue lagi yang selama ini dipelet. Makanya bisa bego nggak ada obat!” Gerutu Lolita. Ia melipat kedua tangannya di atas dada. Mencoba memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya.
“Wah, iya, sih! Bisa jadi!”
Tampang kuyunya berubah dengan cepat. Berekspresi selayaknya orang yang tengah berpikir keras.
“Ya kali gue yang selama ini anti cinta-cintaan, mendadak terkintil-kintil sama jelmaan Firaun!”
“Buahahaha!!” Seseorang terbahak dibelakang Lolita. Sejak Lolita bermonolog, sosok itu setia berdiri disana. Ia menantikan rangkaian kalimat-kalimat ajaib yang Lolita lontarkan.
“Bang Richi”
Lolita pun membekap mulutnya menggunakan kedua tangan.
Sial!
Ia baru saja mengata-ngatai Ketua BEM Universitas, sekaligus juga sahabat dari pemuda yang menyambanginya. Dan yang lebih parah, ia melayangkan fitnah keji tentang dunia perpeletan.
“Nih, es krim! Gue cariin di kantin, taunya lo nggak ada disana.”
“Duh, God!” Pekik Lolita, menepuk keningnya. “Si Melisa ba-tiba aja rapat, Bang. Mau ngabarin Abang tapi belum tukeran kontak.”
“Oh, jadi kode minta nomor ceritanya?” Richi kembali menyodorkan es krim ditangannya, karena Lolita tak kunjung menerima pemberiannya.
“Eh, nggak gitu ya!” Lolita membuang pandangannya ke samping. Gadis itu merasa malu. “Sumpah nggak ada maksud apa-apa, Bang Rich.” Terangnya, tak ingin Richi salah paham.
“I know, I know. Terima dulu kali es krimnya, Lol. Keburu cair ntar.”
“Oh, iya, thanks, Bang..” Gagap Lolita, canggung.
“Biasa aja kali, Lol. Kayak sama siapa aja. Kita udah sering ketemu ini, waktu lo sering..”
“Stop! Nggak usah diingetin, Please!” Potong Lolita. Semua yang berkenaan dengan kebodohannya, Lolita tak ingin lagi mendengarnya.
“Jangan sebut-sebut nama dia juga ya, Bang. Pengen nonjok komuknya gue. Sayang aja gue nggak berani,” cengirnya di akhir kalimat.
“Oke.. Apa pun yang terjadi diantara kalian berdua, gue cuman bisa bilang, lo deserve better than him, Lol.”
Richi tak memungkiri betapa sempurnanya Adnan untuk menjadi seorang pemuda. Namun jika dirinya boleh jujur, sahabatnya itu sedikit tidak berperasaan.
Terlepas dari sikap Adnan yang baik hati pada Lolita, tapi tak seharusnya dia terus membuat Lolita mengejarnya jika dirinya sendiri tak menaruh hati.
“Sini biar nggak gabut gue comblangin ke anak-anak. Farhan baru putus tuh. Nando mayan lah, dia kalau udah bucin otaknya digadein ke Pegadaian.”
Lolita mengangkat sudut bibir kirinya.
“Nah, kalau Tama. Udah punya bokin sih dia. Cuman bisa aja kalau mau lo tikung. Anaknya agak murahan dia.”
Mendengar bagaimana Richi menurunkan pasaran salah satu sahabatnya, Lolita tertawa keras. Tawanya bahkan sampai bisa membuat anak-anak disekitar mereka, menatap ke arahnya.
“Kok lo nggak nawarin diri, Bang?” Canda Lolita.
“Gue?” Beo Richi sembari mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri.
Lolita menganggukkan kepalanya. Pada dasarnya, ia memang sosok yang mudah bergaul.
“Jangan lah! Gue cowok brengsek, Lol. Cewek baek-baek kayak lo, jangan sampe jatoh ke tangan buaya kayak gue.” Ucap Richi yang lantas mendapatkan tatapan aneh dari Lolita.
“Dih, masa buaya ngaku?”
“Yeee! Dibilangin! Gue kalau ketahuan Argam deketin lo, besok udah pindah Jeruk Purut. Temen doang gue yang alim, diri sendiri mah blangsak, Lol!”
Lolita terkekeh. Baru kali ini ia menemukan orang yang mengakui kebrengsekannya. Dibandingkan mereka yang berlindung pada kedok anak baik-baik, sosok seperti Richi inilah yang seharusnya diberikan sikap hormat.
“Respect!” Lolita benar-benar mengangkat telapak tangannya pada pelipis, memberikan penghargaan tertinggi ala abdi negara pada pria yang berdiri di hadapannya.
Keduanya lalu tertawa, menertawakan kelakuan konyol mereka.
Tanpa keduanya sadari, pada sebuah sudut yang terhalang pepohonan, sosok Adnan terus memperhatikan. Pemuda itu tak beranjak, sejak menemukan sahabatnya menghampiri Lolita.
‘Cih! Belom sehari, udah pindah target?! Yakin beneran suka sama gue?” Ucap Adnan. Tangannya terkepal dikedua sisi tubuhnya. Ia tiba-tiba kesal untuk sesuatu yang dirinya tidak ketahui penyebabnya.
Hatinya tergerak untuk mengikuti Richi. Ia pikir pemuda itu akan berada di kantin, sesuai dengan apa yang dirinya dengar. Richi bahkan terlihat terburu-buru tadi.
Siapa sangka jika keduanya justru menghabiskan waktu hanya berdua. Di Tempat umum— dimana banyak mata melihat keakraban mereka.
Ibunya salah! Salah besar! Gadis seperti Lolita tidak pantas menjadi pendampingnya.
Mungkin inilah jawaban mengapa dirinya ingin mengikuti Richi. Semesta berniat menunjukkan sosok Lolita yang sebenarnya.
“Lolaaaaiiiii!!!”
Suara seseorang yang memanggil nama Lolita membuat Adnan menarik dirinya. Ia berlindung pada pohon yang besar, agar posisinya tidak diketahui.
Setelah memastikan semua aman, Adnan melangkahkan kaki. Meninggalkan tempat persembunyiannya.
“Melkadot! Lama bener sih! Es krim dari Bang Richi ampe meleleh, Anjrot!” Omel Lolita.
“Lah! Udah paling wat-wut ini, Neng! Gue aja kabur lewat jendela tadi.”
“Buset!!” Tanggap Lolita dan Richi bersamaan.
“Woi, Bang! Jatah es krim bagian gue mana? Loli doang yang dibeliin?” Tagih Melisa. “Nih es krim melehoy amat. Pada ngapain aja, Anjir! Mubazir kagak dimakan.”
“Tauk nih! Gue diajakin ghibah sama Bang Richi, Mel. Parah nih orang. Ntar nitip freezer Ibu kantin aja. Bagi dua. Bang Richi keknya lagi bokek, wkwkwk.”
“Oh, ternyata begini ya aslinya. Kirain lemah-lembut beneran.” Decak Richi, melirik si tersangka pemalsuan identitas.
“Lelembut kali dia mah, Bang. Sok-sokannya aja kalem depan Bang Ad.. Ups! Hampir kecep..”
“WEH!” Pekik Melisa. Ia baru teringat akan sesuatu ketika hampir menyebutkan nama makhluk ternista di kamus Lolita sekarang.
“Hampir aja gue lupa kan!” timpalnya.
“Apaan dah? Ampe kaget kita, Njrot!”
“Sumpah ya! Berani kesamber gledek nih gue!” Melisa mengacung-ngacungnya kedua jarinya, yang membentuk huruf ‘V,’ ke udara. “Gue tadi waktu turun tangga ngeliat Bang Ad-piiiip! Gue sensor, tenang! Jangan risau!”
“SIALUN!” Geram dengan kelakuan sahabatnya, Lolita pun mendaratkan pukulan mesra hingga tubuh Melisa terhuyung.
“Manusia itu, di pojokan sana noh! Dipohon itu.” Ungkap Melisa sembari menunjuk lokasi dimana dirinya melihat eksistensi kakak tingkatnya.
“Ngapain Bang Ad-Njing! Disitu? Nyari semut?”
Bahu Richi bergetar, hebat. Pemuda itu menahan tawanya agar tak meledak. Sungguh sangat disayangkan, gadis selucu Lolita gagal berjodoh dengan sahabatnya. Coba saja mereka menjalin asmara, ia dan teman-temannya pasti terbebas dari stresnya tugas kampus dan organisasi.
“Subhanallah.. Ampe nyebut gue gara-gara lo berdua!” Ucap Richi menggelengkan kepala.
“Nggak kebakar kan, Bang?”
“Hampir, Lol! Hampir! Udah kecium nih bau-bau gosongnya!” Seloroh Richi.
Keseruan itu berakhir tatkala suara keroncongan diperut Melisa berbunyi.
“Bener-Bener dah si Melkadot! Nggak ada jaim-jaimnya! Di depan kating nih, Dot!”
“Mohon maaf, Nyisanak! Cacing diperut nggak kenal senioritas. Mari kita berpesta! Merayakan kembalinya otak pentium tiga lo!”
“BERANG CUUUUT!” Teriak Lolita mengangkat tangan kanannya.
Kemarin, waktu berlalu begitu saja, begitu pun dengan hari-hari selanjutnya. Lolita Cantika, gadis yang selama ini dikenal selalu ingin menempel pada tubuh si ketua BEM Universitas tetap ramai dibicarakan, tetapi dengan bahan gosip yang berbeda.Lolita mendapatkan julukan baru di lingkungan kampusnya, yakni sebagai player kelas kakap. Hal tersebut bermula dari pesta perayaan kembalinya otaknya.Kehadirannya bersama Richi saat pesta perayaan pribadinya dinilai negatif, oleh orang-orang yang melihat keberadaan mereka di kantin kala itu. Gosip mengenai dirinya yang merubah haluan pun berhembus sangat kencang, meski hubungan Richi dan kekasihnya tampak baik-baik saja dimuka umum.Lolita— Fans Garis Keras Ketua BEM, Patah Hati Lagi?!“Ck! Wartawan Kampus ngapain ngangkat berita nggak guna gini sih?! Mana Bang Richi ikut kebawa-bawa. Sampah banget!” Dumel Lolita usai membaca buletin kampus yang dikirimkan Melisa beberapa menit lalu.Saking niatnya, kehidupan asmara Richi sampai dibawa-bawa.
“Kamu?”Berjam-jam lamanya Lolita memikirkan satu kata yang telinganya dengar dari mulut Adnan.Ia tidak salah. Telinganya sangat sehat. Ketua BEM yang menyakiti hati dan harga dirinya itu, memang menggunakan panggilan yang berbeda siang tadi.Alih-alih lo, Adnan menyebutkan kata kamu.KAMU!!!Seakan-akan mereka saling mengenal dekat, lebih dari fans dan idolanya.“Argh! Babik! Apa sih maksudnya tuh laki?!” Kesal Lolita sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.Lolita menggigit bibir bagian bawahnya. Ia sungguh ingin bercerita tentang tingkah aneh Adnan pada Melisa. Namun ia takut membuat s
Dalam satu malam, dunia yang Lolita tinggali gonjang-ganjing. Ketika dirinya terjaga di pagi harinya, cincin yang Adnan lingkarkan dijarinya masih terpasang, seolah menegaskan jika keberadaannya bukan lah mimpi belaka.Laki-laki itu juga mengirimkan pesan melalui aplikasi perpesanan yang sebelumnya pria itu blokir. Mengucapkan selamat pagi lalu menyampaikan niatnya untuk menjemput dirinya. Tentu saja dengan segenap kesadarannya, Lolita menolak niat tersebut. Ia mengatakan akan berangkat ke kampus bersama abang tersayangnya.Hell!Lolita tidak segila itu. Menerima ajakan Adnan sama saja membiarkan kehebohan terjadi. Warga kampus pasti akan mengolok-ngolok dirinya tanpa tahu kejelasan dibalik bersamanya mereka.‘Ya mana percaya sih mereka kalau diceritain. Gue paling-paling dikira nggak waras sama mereka!’ Grundel Lolita di dalam hati.“Turun, woi! Udah nyampe nih kita!”
Pejuang cintanya terkapar— begitu mungkin judul yang tepat untuk disematkan pada berita terbaru terkait Lolita Cantika. Kabar mengenai Lolita yang berhasil mendapatkan si Ketua BEM langsung menyeruak, menyebar sampai ke sudut-sudut kampus. Berita tersebut tersebar secepat kekuatan cahaya, mengalahkan si bintang utama yang tak kunjung siuman dari pingsannya. Melisa menatap sengit Adnan yang setia menemani Lolita. Pemuda itu berdiri tepat disamping Kasur yang Lolita gunakan, sedangkan Melisa duduk manis pada sisi yang berlawanan. “Kita harus ngobrol empat mata, Bang Ad-Piiiip!” Efek terlalu mendalami peran sebagai pembenci Adnan garis keras, sampai saat ini mulut Melisa secara otomatis masih melakukan sensor pada nama pemuda itu. Hal tersebut merupakan bentuk solidaritasnya terhadap Lolita. Bersama sang sahabat, keduanya meninggalkan fans club yang dulunya menaungi nama mereka. “Pergi deh lo berdua! Loli biar gue yang jagain.” Ucap Argam sembari mengibas-ngibaskan tangannya, perta
“Lolita! Lepasin gue!” Lolita mengabaikannya. Sama seperti apa yang perempuan itu lakukan ketika dirinya meminta, ia pun melakukan hal yang serupa. “Tolong! Tolongin gue! Nih cewek freak ngamuk nggak jelas!” Anak-anak kampus mungkin akan segera menolong, jika kalimat itu keluar dari mulut orang lain. Sayangnya, kalimat itu dikeluarkan oleh sosok yang sering melakukan pembulian. Alih-alih membantu, mereka justru pura-pura tak melihat rombongan Lolita. “Diem! Gue sumpelin juga mulut lo pake kaos kaki!” Seorang perundung biasanya hanya berani bertingkah saat bersama gerombolannya. Ketika tersisa seorang diri, cakar dan taringnya lenyap, bersama mentalnya yang ikut melemah. Tujuan mereka berperilaku seolah menjadi superior adalah untuk mendapatkan pengakuan. Tapi pengakuan tersebut hanya bisa didapatkan ketika berada dikoloninya. “Sampe ada dosen ke sini, gue aduin kelakuan busuk lo di kamar mandi! Liat aja siapa yang bakal menang!” Lolita jelas memiliki kartu truf. Bukan dirinya y
Keberadaan seseorang akan terlihat berarti ketika sudah melangkah pergi— mungkin demikianlah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok Lolita dalam hidup Adnan.Siapa sangka jika gadis yang dulunya Adnan anggap mengganggu, justru merupakan gadis yang dapat memikat hati dan pikirannya.Adnan merasa kehilangan setelah hidupnya menjadi begitu normal, tanpa adanya gangguan yang biasa Lolita lakukan kepadanya. Hari-harinya menjadi tidak semenyenangkan dulu, tepatnya setelah Lolita mengabaikan eksistensinya di sekitar gadis itu.“Huft!”Ibu jari Adnan menekan tombol, ‘home,’ pada layar ponselnya. Meninggalkan aplikasi perpesanan yang selama sepuluh menit sudah dirinya mainkan.Percuma saja menghubungi Lolita melalui chat dan panggilan, karena tak ada satu pun pesan darinya yang mendapatkan balasan.“Nan, Adnan!!”Nando tiba dengan napasnya yang memburu. Jika Adnan tak salah tebak, sahabatnya itu pasti berlarian demi mencarinya.“Cewek lo! Si Lolipop weleh-weleh! Gue liat dia keluar dari
Tidak!— ini pasti hanyalah mimpi. Seorang Adnan Nabawi tidak mungkin melakukan hal-hal tercela, melebihi ciuman dipipi. Selama ini ia bahkan tak pernah melihat Adnan meninggalkan shalatnya ketika di kampus.“Ngomong sekali lagi kamu mau kawin lari! Cepet!”Apa ini sebenarnya.Ia merasa jika dirinya dan Adnan berada di dimensi lain, dimana hanya ada keduanya didalamnya.Sorot mata yang tajam. Kalimat tanya yang sarat akan amarah. Seluruhnya menerjemahkan sebuah ancaman, yang kapan saja akan siap dilayangkan padanya.Benarkah pria dihadapannya ini Adnan Nabawi?Mengapa dia tampak seperti orang lain. Ah, bukan orang, tapi malaikat yang sewaktu-waktu siap mengambil nyawanya.“Lol! Lolita!”Barulah ketika sepasang tangan menepuk-nepuk kedua pipinya, kesadaran Lolita kembali. Telinganya dapat mendengar pekik histeris milik orang-orang disekitarnya.“Kamu baik-baik aja?”‘yang bener aja ini orang,’ decih Lolita, geram. Tidak ada gadis yang baik-baik saja ketika ciuman pertamanya dicuri, begi
‘Gilak! Mevvah bingit!’ Kalimat tersebut terlintas begitu saja didalam benak Lolita. Ia terpesona pada bangunan megah yang menjulang tinggi dihadapannya.Pelatarannya yang luas membuatnya dapat melihat muka menawan bangunan tersebut. Padahal ia sendiri masih berada tepat di depan gerbang yang menjadi pintu masuk utama bangunan itu.Sebenarnya, kekayaan Ketua BEM-nya tidak lagi menjadi rahasia umum. Kabar yang berhembus mengatakan, jika pemuda itu berasal dari 2 keluarga yang kekayaannya bisa dikatakan seimbang.Lokasi kediamannya bahkan telah tersebar luas. Hanya saja Lolita belum pernah melihatnya secara langsung. Satpam perumahan yang menjaga area tersebut tak sekali pun membiarkan dirinya masuk ke dalam.Kini ia melihatnya. Melihat betapa luas dan megahnya bangunan yang Adnan sebut sebagai rumah masa depannya kelak.‘Kalau gue compare sama rumah gue sendiri, kayaknya hasilnya bakalan jadi 10:1.’Uh, membayangkan untuk menghitungnya saja sudah membuat Lolita bergidik ngeri. Rumah se