Kemarin, waktu berlalu begitu saja, begitu pun dengan hari-hari selanjutnya. Lolita Cantika, gadis yang selama ini dikenal selalu ingin menempel pada tubuh si ketua BEM Universitas tetap ramai dibicarakan, tetapi dengan bahan gosip yang berbeda.
Lolita mendapatkan julukan baru di lingkungan kampusnya, yakni sebagai player kelas kakap. Hal tersebut bermula dari pesta perayaan kembalinya otaknya.
Kehadirannya bersama Richi saat pesta perayaan pribadinya dinilai negatif, oleh orang-orang yang melihat keberadaan mereka di kantin kala itu. Gosip mengenai dirinya yang merubah haluan pun berhembus sangat kencang, meski hubungan Richi dan kekasihnya tampak baik-baik saja dimuka umum.
Lolita— Fans Garis Keras Ketua BEM, Patah Hati Lagi?!
“Ck! Wartawan Kampus ngapain ngangkat berita nggak guna gini sih?! Mana Bang Richi ikut kebawa-bawa. Sampah banget!” Dumel Lolita usai membaca buletin kampus yang dikirimkan Melisa beberapa menit lalu.
Saking niatnya, kehidupan asmara Richi sampai dibawa-bawa. Sosoknya bersama kekasihnya ikut dimuat dalam berita tentangnya.
“Baca beginian, gue jadi laper.” Gumam Lolita. Mata cantiknya melirik pada jam digital yang tersemat pada sudut ponsel.
“Turun ah!” Putusnya lalu merangkak menuruni ranjang. Pagi tadi ia melewatkan sesi sarapan bersama keluarganya.
Maminya yang kejam, akhir-akhirnya ini bersikap aneh. Setelah mengetahui dirinya tak lagi menggilai Adnan, dia sering kali menawarkan anak tetangga mereka.
Katanya, “jangan sampe Loli trauma terus malah jadi lesbi.”
Maklum, sepanjang sejarah dirinya hidup, Adnan merupakan laki-laki pertama yang dirinya sukai. Rasa suka itu pun dirinya utarakan kepada keluarganya.
“Bang, lap— per!”
Mata Lolita mengerjap. Di ruang tengah yang berlokasi tepat di depan kamarnya, sekumpulan pria muda tengah menatap ke arahnya.
“Mami nyisain nasi goreng tuh di dapur. Minta Mbak panasin aja, Lol.” Ucap Argam memberi tahu.
“Hai, Lol,” sapaan mengudara bersama sebuah tangan yang melambai di udara.
“Halo, Bang.” Balas Lolita pada si pemilik sapa, yang namanya ikut terseret pada kasus romansanya bersama si Ketua BEM.
Untuk sesaat, pandangan Lolita bergeser tanpa bisa dikendalikan. Disamping tamu baru kakaknya, sosok pria yang tengah dirinya hindari terlihat memalingkan wajah.
“Lol, sekalian, ambilin gue air dingin dong!” Pinta sahabat Argam, Alex.
“Dih, apaan lo Bang, maen nyuruh-nyuruh. Biasa juga ngambil sendiri. Ogah! Gue lama di dapur!” Sahut Lolita, lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan terkutuk, dimana terdapat Adnan didalamnya.
Lolita membanting dirinya pada kursi makan. Ia kesal. Sudah hampir satu bulan dirinya sengaja menghindari Adnan, tapi Abangnya justru dengan mudahnya mempertemukan mereka.
“Mbak Loli udah bangun?”
“Belom, Mbak. Ini Lili, bukan Loli!” Ucap Lolita membuat ART-nya meringis. “Mbak, temen-temen Abang udah lama datengnya?”
“Setengah jam yang lalu mungkin, Mbak.”
“Masa sih?”
Sudah selama itu, tapi ia tak mendengar apa pun dari dalam kamarnya.
“Iya, Mbak. Temen Mas Argam yang ini agak anteng ya, Mbak?! Mas Alex aja belum ada teriak-teriak loh.”
“Soalnya gue nggak lagi main PS, Mbak.” Sosok yang tengah dibicarakan oleh ART Lolita menyahut. “Air dingin dong, Mbak,” requestnya lalu menarik kursi kosong disamping Lolita.
“Lo nggak apa-apa, Lol? Shock nggak liat si Adnan?” tanya Alex, penasaran.
“B aja tuh! Pada lagi ngapain sih? Bang Tristan tumben nggak ikut ke rumah.”
Argam tergabung ke dalam tiga serangkai. Argam, Alex dan Tristan. Sejak dulu, ketiganya selalu bersama-sama. Lolita mengenal dekat sahabat-sahabat kakaknya itu. Mereka telah bersama sedari bangku SMA.
“Tristan nggak masuk kelompok gue. Misah dia, barengan sama temen-temennya si Adnan yang laen.”
“Diacak namanya?”
“Nah, tuh, pinter lo, Lol! Dandan sono! Ada si Adnan. Cakepan dikit dong, biar dilirik. Kita masih lama di sini.”
Lolita kontan berdecih. Untuk apa pakai dandan segala. Maaf saja, otaknya sudah kembali ke tempurung. Meski rasa cintanya masih menggunung, tapi akal sehatnya memaksa untuk tak lagi menunjukkannya pada Adnan.
“Eh, beneran ini lo udah nggak suka dia?” tanya Alex, usai melihat reaksi Lolita.
“Bener lah! Kayak nggak ada yang laen aja!”
“Hahahaha,” Alex terbahak. Lengannya menarik leher Lolita untuk dirangkul. “Buset! Akhirnya Lolita kita waras juga.” Kekehnya.
“Ehem,” dehem seseorang yang baru saja memasuki area dapur.
“Argam minta tambahan kopi.” Ucap sosok itu, yang ternyata Adnan.
“Oh, oke. Mbak, kopi Mbak, buat tuan muda Argam.” Seloroh Alex mewakili. Tangannya tetap bertengger pada leher Lolita dan Lolita pun tak mengenyahkannya. Gadis itu sibuk membuang muka, menghindari pandangan yang kapan saja bisa bertemu.
“Bro, lo perlu apa lagi?”
“Nothing,” jawab Adnan.
“Ya udah, lo ke depan lagi aja. Ntar biar gue bawain sekalian kopinya.”
“Oh, oke.” Tanggap Adnan lalu memutar tubuhnya untuk meninggalkan dapur.
“Puff!” Alex tertawa ringan.
“Ngapain lo, Bang? Belom minum obat lo?” Selidik Lolita. Diantara kedua sahabat kakaknya, ia memang paling dekat dengan Alex.
“Lo liat nggak Lol, tadi?”
“Apaan?”
“Lo nggak ngeliat?”
Lolita mengernyit. ‘Apa sih maksudnya? Liat apaan?’ batinnya, tak mengerti. Sepanjang ada Adnan tadi, ia mengalihkan pandangan. Tak ingin melihat sosok yang telah mematahkan perasaannya.
“Lah, seriusan ini?” Pekik Alex sembari menarik tangannya dari leher adik sahabatnya. “Si Adnan ngeliatin tangan gue mulu, Lol! Cemburu kali dia liat kita.”
“Ngaco!”
“Sumpah ya, Lol! Gue ini laki, jelas taulah, gelagat sebangsa sendiri!”
Kalau saja Adnan tidak pernah mengatakan dirinya memiliki wanita yang disukai, Lolita mungkin akan mempercayai perkataan Alex. Sayangnya, kecemburuan tersebut tidak akan menjadi kenyataan. Adnan membencinya, sama seperti yang Lolita lakukan sekarang kepada pria itu.
“Bang, cabut sana! Gue mau sarapan! Laper b.g.t! Jadi nggak bisa bagi-bagi!”
“Siapa juga yang mau! Di depan ada pizza, wlek!”
Setelah kepergian sahabat kakaknya, Lolita menghembuskan napas. Dunia terasa melelahkan baginya, seolah dirinya tak memiliki tujuan untuk tetap melangkah maju.
“Sumpah! Harus banget tuh orang disini?!”
Di kampus, Lolita sudah semaksimal mungkin untuk tak berpapasan. Ia benar-benar menghindari pertemuan dengan mantan cemcemannya. Ia bahkan sampai mempersingkat waktunya, tak berlama-lama berkeliaran dan pulang tepat setelah jam terakhir berlangsung.
“Mbak, mikirin apa?” tanya si ART.
“Kucing tetangga, katanya berubah jadi naga, Mbak.” Beo Lolita, selalu ada-ada saja.
Lama Lolita berdiam di meja makan. Untuk tetap tak bertemu dengan Adnan, ia meminta asisten rumah tangganya untuk melihat situasi di ruang tengah. Memastikan jika teman-teman kakaknya tak lagi berada di ruangan itu.
“Gimana, Mbak? Udah pada pulang mereka?”
“Kayaknya udah sih, Mbak. Mas Argam Mbak liat masuk ke kamar, terus pintunya ditutup.”
Ah— berarti sudah aman.
Lolita bangkit, meregangkan otot-otot ditubuhnya. “Akhirnya,” helanya. Pulangnya mereka membuatnya tak harus mati terduduk di dapur. Jujur saja Lolita sudah bosan menunggu. Ia tak membawa ponselnya ikut serta, sehingga hanya berdiam tanpa melakukan kegiatan apa pun usai nasi gorengnya habis tak bersisa.
Ketika dirinya berada di ruang tamu, Lolita sempat menatap titik dimana Adnan duduk. Untuk beberapa alasan, Lolita merasa heran.
Hari ini adalah hari pertama dimana pria itu menyambangi rumahnya. Itu terjadi karena tugas kelompok bersama abangnya, tapi kenapa?
Mengapa harus di rumahnya?!
Sekelebat pertanyaan itu memenuhi benak Lolita. Bukan kah ada banyak tempat? Contohnya saja, rumah pria itu atau mungkin café, tempat para anak muda biasa berkumpul dan mengerjakan tugas agar tidak bosan.
Lolita yakin ide berkumpul di rumahnya tidak tercetus dari mulut sang kakak. Argam tak sejahat itu, dengan mengundang penyebab mengapa bobot tubuh adiknya merosot jauh. Apa lagi tanpa pemberitahuan.
Jika memang ide tersebut berasal dari Argam, kakaknya pasti memberitahunya agar dirinya mempunyai persiapan. Misalnya dengan tak keluar kamar selama pengerjaan tugas sang kakak berlangsung.
Yah, pasti begitu— karena Argam tahu benar ia sedang menjauhi Ketua BEM mereka.
“Hadeh! Lolita yang paling cantik dimuka bumi, ngapain lo mikirin itu!” Monolognya, menghardik dirinya sendiri yang masih saja memikirkan Adnan.
Hal terpenting yang harus dirinya pikirkan adalah meminta sang kakak untuk tidak lagi membawa manusia itu ke rumah mereka.
“Pakaian kamu.. Jangan pakai itu lagi untuk keluar dari kamar!”
Tubuh Lolita tersentak. Gadis muda itu terperanjat hebat.
Ditempatnya berdiri, Lolita membeku, tak mampu menggerakkan tangan dan kakinya— bahkan ketika sosok yang baru saja melewatinya, lenyap memasuki kamar sang kakak.
“Dia muncul dari mana? Katanya udah pulang?!”
“Kamu?”Berjam-jam lamanya Lolita memikirkan satu kata yang telinganya dengar dari mulut Adnan.Ia tidak salah. Telinganya sangat sehat. Ketua BEM yang menyakiti hati dan harga dirinya itu, memang menggunakan panggilan yang berbeda siang tadi.Alih-alih lo, Adnan menyebutkan kata kamu.KAMU!!!Seakan-akan mereka saling mengenal dekat, lebih dari fans dan idolanya.“Argh! Babik! Apa sih maksudnya tuh laki?!” Kesal Lolita sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.Lolita menggigit bibir bagian bawahnya. Ia sungguh ingin bercerita tentang tingkah aneh Adnan pada Melisa. Namun ia takut membuat s
Dalam satu malam, dunia yang Lolita tinggali gonjang-ganjing. Ketika dirinya terjaga di pagi harinya, cincin yang Adnan lingkarkan dijarinya masih terpasang, seolah menegaskan jika keberadaannya bukan lah mimpi belaka.Laki-laki itu juga mengirimkan pesan melalui aplikasi perpesanan yang sebelumnya pria itu blokir. Mengucapkan selamat pagi lalu menyampaikan niatnya untuk menjemput dirinya. Tentu saja dengan segenap kesadarannya, Lolita menolak niat tersebut. Ia mengatakan akan berangkat ke kampus bersama abang tersayangnya.Hell!Lolita tidak segila itu. Menerima ajakan Adnan sama saja membiarkan kehebohan terjadi. Warga kampus pasti akan mengolok-ngolok dirinya tanpa tahu kejelasan dibalik bersamanya mereka.‘Ya mana percaya sih mereka kalau diceritain. Gue paling-paling dikira nggak waras sama mereka!’ Grundel Lolita di dalam hati.“Turun, woi! Udah nyampe nih kita!”
Pejuang cintanya terkapar— begitu mungkin judul yang tepat untuk disematkan pada berita terbaru terkait Lolita Cantika. Kabar mengenai Lolita yang berhasil mendapatkan si Ketua BEM langsung menyeruak, menyebar sampai ke sudut-sudut kampus. Berita tersebut tersebar secepat kekuatan cahaya, mengalahkan si bintang utama yang tak kunjung siuman dari pingsannya. Melisa menatap sengit Adnan yang setia menemani Lolita. Pemuda itu berdiri tepat disamping Kasur yang Lolita gunakan, sedangkan Melisa duduk manis pada sisi yang berlawanan. “Kita harus ngobrol empat mata, Bang Ad-Piiiip!” Efek terlalu mendalami peran sebagai pembenci Adnan garis keras, sampai saat ini mulut Melisa secara otomatis masih melakukan sensor pada nama pemuda itu. Hal tersebut merupakan bentuk solidaritasnya terhadap Lolita. Bersama sang sahabat, keduanya meninggalkan fans club yang dulunya menaungi nama mereka. “Pergi deh lo berdua! Loli biar gue yang jagain.” Ucap Argam sembari mengibas-ngibaskan tangannya, perta
“Lolita! Lepasin gue!” Lolita mengabaikannya. Sama seperti apa yang perempuan itu lakukan ketika dirinya meminta, ia pun melakukan hal yang serupa. “Tolong! Tolongin gue! Nih cewek freak ngamuk nggak jelas!” Anak-anak kampus mungkin akan segera menolong, jika kalimat itu keluar dari mulut orang lain. Sayangnya, kalimat itu dikeluarkan oleh sosok yang sering melakukan pembulian. Alih-alih membantu, mereka justru pura-pura tak melihat rombongan Lolita. “Diem! Gue sumpelin juga mulut lo pake kaos kaki!” Seorang perundung biasanya hanya berani bertingkah saat bersama gerombolannya. Ketika tersisa seorang diri, cakar dan taringnya lenyap, bersama mentalnya yang ikut melemah. Tujuan mereka berperilaku seolah menjadi superior adalah untuk mendapatkan pengakuan. Tapi pengakuan tersebut hanya bisa didapatkan ketika berada dikoloninya. “Sampe ada dosen ke sini, gue aduin kelakuan busuk lo di kamar mandi! Liat aja siapa yang bakal menang!” Lolita jelas memiliki kartu truf. Bukan dirinya y
Keberadaan seseorang akan terlihat berarti ketika sudah melangkah pergi— mungkin demikianlah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok Lolita dalam hidup Adnan.Siapa sangka jika gadis yang dulunya Adnan anggap mengganggu, justru merupakan gadis yang dapat memikat hati dan pikirannya.Adnan merasa kehilangan setelah hidupnya menjadi begitu normal, tanpa adanya gangguan yang biasa Lolita lakukan kepadanya. Hari-harinya menjadi tidak semenyenangkan dulu, tepatnya setelah Lolita mengabaikan eksistensinya di sekitar gadis itu.“Huft!”Ibu jari Adnan menekan tombol, ‘home,’ pada layar ponselnya. Meninggalkan aplikasi perpesanan yang selama sepuluh menit sudah dirinya mainkan.Percuma saja menghubungi Lolita melalui chat dan panggilan, karena tak ada satu pun pesan darinya yang mendapatkan balasan.“Nan, Adnan!!”Nando tiba dengan napasnya yang memburu. Jika Adnan tak salah tebak, sahabatnya itu pasti berlarian demi mencarinya.“Cewek lo! Si Lolipop weleh-weleh! Gue liat dia keluar dari
Tidak!— ini pasti hanyalah mimpi. Seorang Adnan Nabawi tidak mungkin melakukan hal-hal tercela, melebihi ciuman dipipi. Selama ini ia bahkan tak pernah melihat Adnan meninggalkan shalatnya ketika di kampus.“Ngomong sekali lagi kamu mau kawin lari! Cepet!”Apa ini sebenarnya.Ia merasa jika dirinya dan Adnan berada di dimensi lain, dimana hanya ada keduanya didalamnya.Sorot mata yang tajam. Kalimat tanya yang sarat akan amarah. Seluruhnya menerjemahkan sebuah ancaman, yang kapan saja akan siap dilayangkan padanya.Benarkah pria dihadapannya ini Adnan Nabawi?Mengapa dia tampak seperti orang lain. Ah, bukan orang, tapi malaikat yang sewaktu-waktu siap mengambil nyawanya.“Lol! Lolita!”Barulah ketika sepasang tangan menepuk-nepuk kedua pipinya, kesadaran Lolita kembali. Telinganya dapat mendengar pekik histeris milik orang-orang disekitarnya.“Kamu baik-baik aja?”‘yang bener aja ini orang,’ decih Lolita, geram. Tidak ada gadis yang baik-baik saja ketika ciuman pertamanya dicuri, begi
‘Gilak! Mevvah bingit!’ Kalimat tersebut terlintas begitu saja didalam benak Lolita. Ia terpesona pada bangunan megah yang menjulang tinggi dihadapannya.Pelatarannya yang luas membuatnya dapat melihat muka menawan bangunan tersebut. Padahal ia sendiri masih berada tepat di depan gerbang yang menjadi pintu masuk utama bangunan itu.Sebenarnya, kekayaan Ketua BEM-nya tidak lagi menjadi rahasia umum. Kabar yang berhembus mengatakan, jika pemuda itu berasal dari 2 keluarga yang kekayaannya bisa dikatakan seimbang.Lokasi kediamannya bahkan telah tersebar luas. Hanya saja Lolita belum pernah melihatnya secara langsung. Satpam perumahan yang menjaga area tersebut tak sekali pun membiarkan dirinya masuk ke dalam.Kini ia melihatnya. Melihat betapa luas dan megahnya bangunan yang Adnan sebut sebagai rumah masa depannya kelak.‘Kalau gue compare sama rumah gue sendiri, kayaknya hasilnya bakalan jadi 10:1.’Uh, membayangkan untuk menghitungnya saja sudah membuat Lolita bergidik ngeri. Rumah se
Pada sudut sofa, tempat dimana dirinya harus berjauhan dengan Lolita, Adnan memangku wajahnya menggunakan tangan. Matanya tak pernah lelah untuk mengamati wajah yang akhir-akhir ini selalu menghiasi tidur malamnya.‘Cantik,’ puji Adnan, tak bersuara. Kecantikan itu baru Adnan sadari keberadaannya.Benar! Ia sungguh terlambat menyadarinya. Semua itu dikarenakan tingkah unik Lolita yang berhasil menutupi kecantikan yang seharusnya dirinya sadari sejak awal.Bagaimana bisa dirinya tak mengetahui ini lebih cepat. Senyum dan bahkan tawa lepasnya— semuanya tampak menawan untuk dilihat. Sampai mati pun, ia mungkin tak akan merasakan bosan.“Aduh! Udah mau jam 5 ternyata.” Pekik ibu Adnan sembari berdiri. “Ibu tinggal dulu ya.. Loli ngobrol sama Aulia dulu ya. Ibu tinggal sebentar.” Setelah mengatakannya, perempuan cantik itu berlari kecil menuju ruang tamu.“Tante mau pergi ya, Ul?” tanya Lolita sembari memperhatikan ibu Adnan yang tampak tergesa.“Nggak kok, Mbak. Ibu mau tugas negara, nyam
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk
“Bohong! Aku tuh tetangganya Adnan. Rumah aku ada didepan rumah dia. Kalau Lolita-Lolita itu udah kenal Adnan dari lama, nggak mungkin aku baru tau dia hidup di dunia!”Errr!!Kalimat yang Tasya lontarkan cukup pedas. Teman-temannya sampai tercengang mendengar penuturan gadis yang biasanya bersikap lembut itu.Arogan!Kalimat yang Tasya gunakan terdengar sangat arogan ditelinga teman-temannya. Semakin lama mereka mengenal Tasya, mereka semakin memahami bagaimana cara pikir gadis itu.Semua hal berkenaan dengan Adnan, entah itu benar atau tidak, Tasya bertindak seakan dirinya mengetahuinya lebih baik dari siapa pun.Tingkahnya seolah-olah dia dan Adnan hidup berbagi napas yang sama dan tidak pernah terpisahkan meski itu satu detik pun.Lambat laun, sikap terlewat halu itu tentu membuat teman-temannya merasa tak nyaman.“Lo kan cuman tetangganya, Tas. Nggak 24 ours bareng dia. Lagian dia kenal siapa, nggak mungkin laporan ke lo juga kan?”“Tapi nggak make sense kalau itu anak mereka. Si
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro