‘Gilak! Mevvah bingit!’ Kalimat tersebut terlintas begitu saja didalam benak Lolita. Ia terpesona pada bangunan megah yang menjulang tinggi dihadapannya.Pelatarannya yang luas membuatnya dapat melihat muka menawan bangunan tersebut. Padahal ia sendiri masih berada tepat di depan gerbang yang menjadi pintu masuk utama bangunan itu.Sebenarnya, kekayaan Ketua BEM-nya tidak lagi menjadi rahasia umum. Kabar yang berhembus mengatakan, jika pemuda itu berasal dari 2 keluarga yang kekayaannya bisa dikatakan seimbang.Lokasi kediamannya bahkan telah tersebar luas. Hanya saja Lolita belum pernah melihatnya secara langsung. Satpam perumahan yang menjaga area tersebut tak sekali pun membiarkan dirinya masuk ke dalam.Kini ia melihatnya. Melihat betapa luas dan megahnya bangunan yang Adnan sebut sebagai rumah masa depannya kelak.‘Kalau gue compare sama rumah gue sendiri, kayaknya hasilnya bakalan jadi 10:1.’Uh, membayangkan untuk menghitungnya saja sudah membuat Lolita bergidik ngeri. Rumah se
Pada sudut sofa, tempat dimana dirinya harus berjauhan dengan Lolita, Adnan memangku wajahnya menggunakan tangan. Matanya tak pernah lelah untuk mengamati wajah yang akhir-akhir ini selalu menghiasi tidur malamnya.‘Cantik,’ puji Adnan, tak bersuara. Kecantikan itu baru Adnan sadari keberadaannya.Benar! Ia sungguh terlambat menyadarinya. Semua itu dikarenakan tingkah unik Lolita yang berhasil menutupi kecantikan yang seharusnya dirinya sadari sejak awal.Bagaimana bisa dirinya tak mengetahui ini lebih cepat. Senyum dan bahkan tawa lepasnya— semuanya tampak menawan untuk dilihat. Sampai mati pun, ia mungkin tak akan merasakan bosan.“Aduh! Udah mau jam 5 ternyata.” Pekik ibu Adnan sembari berdiri. “Ibu tinggal dulu ya.. Loli ngobrol sama Aulia dulu ya. Ibu tinggal sebentar.” Setelah mengatakannya, perempuan cantik itu berlari kecil menuju ruang tamu.“Tante mau pergi ya, Ul?” tanya Lolita sembari memperhatikan ibu Adnan yang tampak tergesa.“Nggak kok, Mbak. Ibu mau tugas negara, nyam
“Apa?! Menikah sekarang juga?!”Pekik kekagetan menggema di ruang tamu kediaman Lolita. Pekikan tersebut berasal dari mulut Kirana— mami Lolita.“Mbak, ini gimana juntrungannya kok tiba-tiba harus nikah sekarang?! Kita aja nggak pernah bahas apa-apa!”— yang Kirana maksudkan adalah tentang konsep pernikahan. Keluarga besannya baru datang sekali untuk melamar dan setelah itu, mereka menghilang bagai kentut yang tersapu angin.Sebulan berselang tanpa kabar berita, mereka justru datang membawa serta sang putri lengkap bersama penghulu. Siapa yang tidak akan shock. Jantung yang terpasang di dadanya tak copot saja sudah syukur Alhamdulillah.“Sebelumnya kami benar-benar meminta maaf, Mbak Karina.”“Kirana!” Sewot mami Lolita, membenarkan namanya yang salah sebut.Lihatlah! Mereka bahkan melupakan nama calon besannya sendiri, tapi mendadak ingin melangsungkan pernikahan detik ini juga.‘Pasti ada yang salah,’ pikir Kirana, membatin.“Lol! Kamu nggak lagi hamil kan?”“Buset!!” Tubuh Lolita te
Ting! Ting!Tiing!Suara notifikasi ditambah dengan getar pada ponsel yang dirinya letakkan di atas lantai, membuat tubuh Lolita gemetaran.Sejak akun pribadinya ikut disematkan dalam postingan terbaru Adnan, ia tak dapat menghitung banyaknya teror yang masuk ke Instagramnya.Ratusan direct message masuk silih berganti, bersama umpatan-umpatan kasar para fans bar-bar Adnan. Belum lagi mereka yang mendendangkan spekulasi tak masuk akal tentang waktu berlangsungnya pernikahan.Seharusnya ia tak perlu kaget karena sang mami pun sempat berpikir ke arah yang tidak masuk akal. Menuduhnya berbadan dua sehingga harus segera melaksanakan pernikahan. Hanya saja ini berbeda.Maminya— beliau hanya satu orang, sedangkan orang yang berpikir dirinya hamil di luar nikah ada banyak sekali. Jari-jarinya pun mulai lelah membalas komentar yang terus saja berdatangan.Percuma!Menjelaskan sampai ibu jarinya patah, mereka tak akan mempercayai penjelasannya— lebih tepatnya, mereka memang tidak mau p
“May I, Wife?”Keringat dingin mulai bermunculan pada wajah ayu Lolita. Air liurnya begitu sulit tertelan masuk ke dalam kerongkongan.Tatapan mata Adnan yang misterius membuatnya dilanda rasa gugup. Perutnya mulas, tapi hanya sebatas itu. Bukan sesuatu yang mengharuskannya untuk berlari menuju bilik toilet terdekat.“Lol, boleh?”Weh! Boleh apaan sih sebenernya?!— batin Lolita, bertanya-tanya.“Cium bibir kamu,” dan seolah-olah mengerti apa yang menjadi pertanyaan dalam benak sang istri, Adnan pun menyampaikan keinginannya secara gamblang.Kontan saja mata Lolita yang bulat, semakin membulat layaknya bulan purnama. Pemuda yang ia gilia dan menikahinya secara paksa ini, sebenarnya jenis manusia macam apa? Kok sikapnya jauh dari apa yang selama ini dirinya kenali sebagai Ketua BEM Universitasnya.Mungkin kah ini karena dirinya yang tak pandai menilai? atau memang dikarenakan Adnan yang terlalu lihai menutupi jati diri cabulnya?!‘Jawaban ke-2 sih kayaknya yang paling masuk akal. Mata g
“Woy, Bro!”Adnan bersikap siaga saat Argam melemparkan sebuah kotak ke arahnya. Tangannya dengan cepat menangkap kotak tersebut.“Kali aja lo udah nggak nahan!”“Gue nggak bakalan ngelarang, asal jangan sampe jadi aja. Kalau mau bikin ponakan buat gue, at least nunggu Loli lulus kuliah dulu.”“Ah, thanks,” hanya kalimat itu yang dapat Adnan sampaikan atas kepedulian kakak iparnya.Sebelumnya, ia tak memiliki banyak interaksi dengan Argam. Sekali pun mereka berada di dalam organisasi yang sama, pemuda itu cenderung membatasi diri terhadapnya.Ia mengerti. Alasannya pasti terletak pada perbuatan tak baiknya pada adik pemuda itu. Jika keadaan diputar, ia juga tak akan berteman dengan pemuda yang membuat Aulia selalu menjadi bahan tontonan orang lain.“Pintu depan kuncinya cabut aja. Gue balik pagi. Mau nongki bareng anak-anak.”“
“Lol.. Loli..”Lolita menggeliatkan tubuhnya. Gadis itu mengerang dalam tidurnya, merasa terusik dengan suara yang terus saja memanggil namanya.“Lolita..”“Mami, ih! Jangan gangguin Loli. Loli masih ngantuk!” Decaknya sebelum merubah posisi tidurnya.“Bangun dulu sebentar. Udah subuh loh, Lol.”“Heum.. Loli nitip aja shalatnya kayak biasanya, Mi.” Gumam Lolita. Gadis itu semakin mempererat pelukan pada gulingnya.“Pfff!” Dibelakang punggung Lolita, Adnan menawan tawanya agar tidak meledak.Benarkah ini gadis yang setiap dhuhurnya selalu berlomba-lomba, ingin berada di shaf terdepan masjid kampus mereka? Sepertinya itu hanyalah satu dari sekian banyak cara Lolita untuk mendekatinya.Lihatlah, aslinya! Gadis itu sama sekali tidak mau dibangunkan untuk shalat subuh.“Lucu banget dia,” gumam Adnan rendah.Tak ingin mengganggu tidur berkualitas istrinya, Adnan pun memilih menjalankan ibadah sendiri tanpa Lolita.Biasanya, jika dirinya berada di rumah, ia dan para lelaki akan bersama-sama
“Mi, ini apa sih!”Lolita mencengkram erat jeruji yang menjadi bahan utama pagar rumahnya. Gadis itu menahan bobot tubuhnya agar tidak terbawa oleh tarikan sang mami.“Kamu ini yang apa-apaan, Lol! Lepas cepetan tangan kamu! Keburu telat kalian berdua!”“Ya makanya suruh di Adnan berangkat duluan! Ngapain pake nungguin Loli. Loli mau naik motor aja ke kampusnya!”“ASTAGA!” Hela Kirana keras. “Batu banget kamu jadi anak ya! Mami krues mulut kamu lama-lama!”Kenapa harus berangkat terpisah jika bisa bersama-sama— begitulah pemikiran yang bersarang di otak Kirana selaku ibu Lolita.“Kamu kalau kebanyakan cingcong, Mami bakar motor kamu!” Ancam Kirana. “Cepetan pada berangkat! Heran Mami, apa kali yang buat kamu nggak mau berangkat bareng.”“Malu iya?”“Ck.. Ck.. Ck! Kebalik, Lol. Harusnya yang malu si Adnan. Ganteng-ganteng kok punya istri buluk. Buta emang mata mantunya Mami.”Lolita membenturkan keningnya pada jeruji pagar rumahnya. Tidak ada yang lebih parah dibandingkan dihina oleh i
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk
“Bohong! Aku tuh tetangganya Adnan. Rumah aku ada didepan rumah dia. Kalau Lolita-Lolita itu udah kenal Adnan dari lama, nggak mungkin aku baru tau dia hidup di dunia!”Errr!!Kalimat yang Tasya lontarkan cukup pedas. Teman-temannya sampai tercengang mendengar penuturan gadis yang biasanya bersikap lembut itu.Arogan!Kalimat yang Tasya gunakan terdengar sangat arogan ditelinga teman-temannya. Semakin lama mereka mengenal Tasya, mereka semakin memahami bagaimana cara pikir gadis itu.Semua hal berkenaan dengan Adnan, entah itu benar atau tidak, Tasya bertindak seakan dirinya mengetahuinya lebih baik dari siapa pun.Tingkahnya seolah-olah dia dan Adnan hidup berbagi napas yang sama dan tidak pernah terpisahkan meski itu satu detik pun.Lambat laun, sikap terlewat halu itu tentu membuat teman-temannya merasa tak nyaman.“Lo kan cuman tetangganya, Tas. Nggak 24 ours bareng dia. Lagian dia kenal siapa, nggak mungkin laporan ke lo juga kan?”“Tapi nggak make sense kalau itu anak mereka. Si
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro