Share

[5] Time to End the Madness

 Plak!

“Anjing! Sakit!” Jerit keduanya, bersamaan.

Bukan mimpi! Semuanya nyata! Kartu nama digenggamannya pun tidak menghilang, meski wanita yang mengaku menjadi ibu dari pujaan hatinya, tak lagi terlihat didepan mata.

Real, Mel!”

Panas dipipinya membuktikan jika dirinya memang tidak sedang berhalusinasi.

“Ho’oh!”

“Aaakk!! Gue bakalan jadi bininya Bang Adnan kan, Mel?!” Girang Lolita. “Khitbah itu ngelamar kan ya?”

“Setahu gue gitu, Lol!”

Mendengar suara tak bertenaga Melisa, Lolita pun geram. “Heh!” Hardiknya dengan telapak tangan mendaratkan tamparan pada paha sahabatnya.

“Lo kayaknya nggak seneng amat! Jangan bilang kalau lo nggak bahagia ya, Mel!”

“Apaan sih, Combro!”

“Ya lo kan salah satu fans Bang Adnan juga!” Ucap Lolita, menyampaikan apa yang melatar belakangi pemikirannya.

Di kampus, siapa sih yang tidak jatuh hati pada pemuda bernama Muhammad Adnan Nabawi itu. Selain parasnya yang rupawan, tunggangannya pun menjadi yang paling mentereng dibandingkan anak orang kaya lainnya.

BMW M8 Gran Coupe Competition— itu tunggangan yang setiap hari Adnan bawa ke kampus.

Bayangkan cabe-cabean mana yang tidak akan berlomba-lomba mendekati kakak seniornya itu. Tidak hanya full AC, interior di dalam mobilnya pun mewah.

Adnan Nabawi merupakan paket lengkap untuk para gadis yang ingin kaya mendadak. Kedua orang tuanya sama-sama kaya— katanya.

Lolita sendiri tidak tahu pasti bagaimana kehidupan pribadi pujaan hatinya. Namun hanya melihat mobil yang setiap harinya dibawa, Lolita setuju jika Adnan disebut anak orang kaya.

Hanya saja bukan itu yang membuat Lolita jatuh hati, bahkan nyaris gila karena menggilai Adnan. Ada sebab, tapi bukan perihal harta dunia.

“Yeee! Gue tuh speechless ya, Lol!” Aku Melisa, lalu meluapkan semburan emosinya. “Gue ngefans juga masih inget temen, Lol! Emangnya lo?!” dan berakhir membuat Lolita meringis.

Katakanlah persaingan diantara keduanya sedikit tidak fair. Lolita akan secara terang-terangan melakukan gencatan senjata pada Melisa. Membuka ladang permusuhan kala sahabatnya mencoba menarik perhatian Adnan.

“Yah, Mel. Lo kan nge-fans-nya ke banyak kakak tingkat, termasuk Abang gue. Kehilangan Bang Adnan masih ada yang laen. Nah gue?”

“Haah! Lagu lama! Nggak usah lo terusin! Paham gue!”

Untuk bagian kating bernama lengkap Muhammad Adnan Nabawi, Melisa boleh mengagumi, tapi tak boleh berharap memiliki— itu lah kesepakatan yang terjalin diantara keduanya.

“Kira-kira gue chat mamanya Bang Adnan kapan yak? Ntar malem kali yak?”

Melisa mendorong kepala Lolita ke samping. “Kecepetan, Dodol! Baru juga tadi lo kenalan sama nyokapnya!”

“Lagian yah, Lol! Bang Adnannya kan belum tentu setuju. Lo better pdkt lagi aja ke Bang Adnan. Biar nggak terkesan maksa banget jadi cabe!”

“Saran ditolak!” Ucap Lolita, mantap.

Sudah jelas-jelas Adnan tidak menyukainya. Mau berusaha seperti apa lagi sih? Sampai tahap benar-benar ke dukun sakti?!

Sepertinya cara jitu itu sudah tak diperlukan. Sekarang ia memiliki dukungan dari orang dalam. Jadi untuk apa bersusah-susah. Kalau dirinya tak bisa menggaet pujaan hatinya secara langsung, ubah strategi saja ke mamanya.

Simpel kan?!

Laki-laki baik seperti kakak tingkatnya itu pasti tidak akan mau menjadi anak durhaka.

‘Manfaatin aja apa yang ada! yang penting bisa sama Bang Adnan! Urusan dia suka, ya sebodo amat!’

Cinta perlahan-lahan akan datang jika mereka selalu bersama. Yah, setidaknya begitu jalan cerita yang biasa ia tonton di drama-drama romansa.

“Lol!”

What?” tanya Lolita.

“Kayak ada sesuatu yang kelewat nggak sih?”

“Eh?”

Apa yang terlewat? Lolita tidak merasakan apa pun.

“Kelas, Goblok! Kita kelewatan kelas!!”

The Fuck!!” Pekik Lolita. Semua yang berkaitan dengan pujaan hatinya selalu saja membuatnya lupa daratan. “Masih keburu nggak, Mel?”

“Masih nanya lo?! Kagak lah, Anjing! Udah lewat 30 menit! Diusir kita yang ada!”

Sor-Sorry, Mel!”

DIBAGIAN kampus yang lain, tepatnya di dalam mobil pribadinya— pemuda yang Lolita dan Melisa jadikan bahan perbincangan, saat ini tengah memijat pelipisnya.

Kepalanya berdenyut, nyeri.

Menuruti paksaan ibunya memanglah tindakan yang tak bisa dibenarkan. Seharusnya ia mengikuti kata hatinya, melarang ibunya ikut serta bersamanya.

“Bu, itu tadi maksudnya apa?”

“Apa?”

Tatiana yang tidak mengerti, mengembalikan pertanyaan putranya.

“Khitbah tadi, Bu!”

“Oh, itu..” Gumam Tatiana, terlewat santai. Padahal ia tahu putranya sedang kesal padanya.

“Lolita lucu loh, Mas, anaknya.”

Adnan memutar bola matanya. ‘Lucu disebelah mananya?’ Pikir anak itu.

Menurut Adnan, Lolita adalah gadis paling menyebalkan, yang keberadaannya tak bisa dienyahkan. Seharusnya kegigihan gadis itu diletakkan pada hal-hal positif dalam hidupnya, bukannya malah untuk mengejar seorang laki-laki.

“Kalau dia dikenalin ke Ayah, Ayah pasti seneng Mas.”

“Ibu ngaco! Mas Adnan nggak ada hubungan apa-apa sama Lilita, Bu! Ibu tuh tadi pagi dengerin Mas Adnan nggak sih?!”

Siapa tahu saja ibunya tak menyimak ceritanya secara lengkap, sampai-sampai salah mengira tentang hubungannya dengan adik juniornya itu.

“Dengerin kok. Lolita tergila-gila sama kamu, sampai pake pelet segala kan?! Anaknya juga ngaku sendiri tadi.”

Lolita memiliki poin tambahan dimata Tatiana. Selain dikarenakan sangat mencintai putranya, gadis itu pun tergolong jujur. Ia tidak mencoba mengelak, meski yang tindakannya salah.

“Mas Adnan.. Jarang loh ada cewek bisa sampai segitunya.”

“Ya justru itu, Bu! Lolita tuh serem. Cuman biar bisa disukain aja sampai menghalalkan segala cara.”

Normalnya— bukan kah seharusnya ibunya merasa takut?! Mengapa yang terjadi justru berlawanan. Wanita yang melahirkannya itu malah terkesan mendukung Lolita untuk dijadikan menantu di rumah mereka.

 “Saking nggak ada cara lagi kali, Mas. Deketin Mas baik-baik, pasti Mas kacangin kan?” Tebak Tatiana.

Lolita tak terlihat jahat, apalagi tampak memiliki tujuan negatif dari rasa sukanya pada Adnan. Sebagai seorang wanita, terlebih ibu— Tatiana mengetahui hal tersebut. Ia dapat merasakan jika Lolita murni menyukai putra semata wayangnya.

“Mas sibuk, Bu. Nggak ada waktu buat mikirin cinta-cintaan!”

Sekarang, Tatiana lah yang memutar bola matanya. “Alasan! Sebentar lagi kamu lulus kuliah. Mau sampai kapan jomblo? Toh, Ibu loh, sudah bolehin punya pacar. Asal tau batasan aja.”

“Mas Adnan nggak minat pacar-pacaran, Ibu. Maunya langsung nikah aja.”

“Nah, pas, udah! Calonnya juga udah ada. Kapan kita mau lamar Lolita, Mas?”

“Bu, Ya Allah!”

“Nggak baik nunda-nunda, Mas. Menikah itu ibadah. Kalau sudah mampu, ya lakuin. Lolita juga nggak malu-maluin diajak ke kondangan. Cantik anaknya. Paling penting sih, dia lucu. Ibu jadi punya mainan, hehehe.”

“Ibu aja yang nikah sama Lolita. Mas Adnan masih betah single.”

“Ck, Ck, Ck!” Tatiana berdecak. Susah memang kalau berbicara perihal jodoh dengan anaknya Gus Khoiron. Dia belum tahu saja enaknya menikah. “Ntar kalau Lolita nyerah, tau rasa kamu, Mas!”

“Nggak bakalan!” Ucap Adnan, percaya diri.

“Takabur ya, kamu! Apa yang nggak mungkin terjadi? Kalau Allah mau kamu jadi sad boy, mana bisa kamu ngelak dari takdir-Nya!”

Adnan menghela napasnya. Perihal Lolita jadi kemana-mana kan. Tidakkah semua orang tahu, bahwa cinta itu tidak dapat dipaksakan. Nanti ketika waktunya tiba, ia juga akan jatuh cinta— tapi pastinya tidak dengan Lolita yang absurd bin konyol.

“Supir Ibu udah jemput tuh. Mas Adnan anter naik ke mobil.” Tukas Adnan lalu membuka pintu mobilnya.

“Anak ini! Keras kepalanya nyontek siapa sih?” Gerutu Tatiana, kesal. “Ayahnya loh manis banget.”

“Hati-hati ya, Bu. Mas Adnan pulang sore, ada kegiatan organisasi.”

Heum.. Kapan-kapan kamu bawa Lolita ke rumah. Nggak jadi mantu, jadi anak perempuannya Ibu juga boleh.”

“InsyaAllah!” jawab Adnan, pendek sekali.

Akhirnya berakhir sudah penderitaan yang diberikan oleh sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu, berhasil ia pulang kan ke rumah.

“Ada-ada aja!” Celoteh Adnan, bermonolog.

Usai memastikan mobil yang menjemput ibunya tak lagi terlihat, kaki Adnan melangkah meninggalkan area parkir di gedung fakultasnya.

“Bang Adnaaaan!! Calon suamikuuuu!!”

Seruan itu berasal dari gadis yang suaranya sangat menempel di otak Adnan.

Sial, sekali! Pergi satu, muncul yang lainnya.

Jika Adnan pikirkan kembali, pembahasan tak menyenangkan yang terjadi antara dirinya dan sang ibu bermula dari gadis itu.

Andai saja Lolita tidak melakukan pelet, ibunya tidak akan berkenalan dengan gadis itu. Singkatnya tak mungkin ada interaksi diantara keduanya, yang berujung paksaan untuk mengenal Lolita lebih dekat.

Yah, Lolita-lah akar masalahnya. Untuk bisa hidup tenang dimasa yang akan datang, ia harus menyingkirkan masalah dari akarnya. Mencabut akar itu agar tak menumbuhkan tunas baru yang sama.

Lolita dan Melisa menghentikan langkah mereka dihadapan Adnan. Gadis itu mengulas senyumnya ditengah deru napasnya yang tak beraturan.

“Loh! Kok Bang Adnan sendirian? Tante mana?”

“Lolita!” Bukannya menjawab, Adnan justru memanggil nama Lolita dengan penuh penekanan.

“Ya, Bang?”

“Lo bisa nggak, nggak usah ganggu-ganggu gue? Honestly, gue terganggu banget sama tingkah lo.”

Degh!

Adnan Nabawi yang selalu menjaga kata-katanya, kini berubah menjadi sosok dingin berlidahkan belati.

“Anggap aja apa yang nyokap gue bilang tadi cuman lelucon pagi. Lo bukan tipe gue, dan nggak akan pernah jadi tipe gue. Jadi stop aja sampe disini, sebelum lo bener-bener gila. Masih ada cowok lain, lo gangguin aja mereka, Lol! Asal jangan gue.”

“Bang Adnan terganggu?” Cicit Lolita, terbata. Ia belum pernah menemukan Adnan pada versi kejam seperti sekarang ini.

“Jelas lah! Lo ngintilin gue kayak nggak punya harga diri! Asal lo tau aja ya, gue udah punya cewek dan kelakuannya nggak kayak lo!”

“Ok-Oke..”

Kedua telapak tangan Lolita mengepal. Sebelumnya sudah ada orang yang mengingatkannya perihal harga diri, tapi ucapan mereka tak berefek apa pun dihatinya.

Sungguh berbeda ketika kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang dirinya puja. Hatinya langsung merasakan perih, sampai sekujur tubuhnya terasa sakit.

Clear ya!” itu bukanlah pertanyaan, melainkan sebuah kepastian yang harus Lolita ingat.

“Lo jangan deketin gue lagi, apalagi nyokap gue! Jadi orang tau batas lah!” Tutup Adnan lalu kembali meneruskan langkahnya tanpa pernah memutar kepalanya untuk melihat kondisi Lolita.

“Lol,” Melisa disamping Lolita menyentuh bahu sang sahabat. Ia tidak mengira pria yang diketahui ramah itu, rupanya tak seperti sosok yang selama ini tampak dimuka umum.

“Gue anterin ke dukun sakti ya? Gue setuju lo melet Bang Adnan.”

Nope! Nggak perlu!” Ujar Lolita, memaksa garis senyum terlihat dipipinya. “It's over! Enough buat gue jadi orang gilanya, Mel. Sekarang gue waras! Hehehehe!”

Sudah waktunya bagi Lolita untuk mengakhiri kegilaannya terhadap Adnan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status