Plak!
“Anjing! Sakit!” Jerit keduanya, bersamaan.
Bukan mimpi! Semuanya nyata! Kartu nama digenggamannya pun tidak menghilang, meski wanita yang mengaku menjadi ibu dari pujaan hatinya, tak lagi terlihat didepan mata.
“Real, Mel!”
Panas dipipinya membuktikan jika dirinya memang tidak sedang berhalusinasi.
“Ho’oh!”
“Aaakk!! Gue bakalan jadi bininya Bang Adnan kan, Mel?!” Girang Lolita. “Khitbah itu ngelamar kan ya?”
“Setahu gue gitu, Lol!”
Mendengar suara tak bertenaga Melisa, Lolita pun geram. “Heh!” Hardiknya dengan telapak tangan mendaratkan tamparan pada paha sahabatnya.
“Lo kayaknya nggak seneng amat! Jangan bilang kalau lo nggak bahagia ya, Mel!”
“Apaan sih, Combro!”
“Ya lo kan salah satu fans Bang Adnan juga!” Ucap Lolita, menyampaikan apa yang melatar belakangi pemikirannya.
Di kampus, siapa sih yang tidak jatuh hati pada pemuda bernama Muhammad Adnan Nabawi itu. Selain parasnya yang rupawan, tunggangannya pun menjadi yang paling mentereng dibandingkan anak orang kaya lainnya.
BMW M8 Gran Coupe Competition— itu tunggangan yang setiap hari Adnan bawa ke kampus.
Bayangkan cabe-cabean mana yang tidak akan berlomba-lomba mendekati kakak seniornya itu. Tidak hanya full AC, interior di dalam mobilnya pun mewah.
Adnan Nabawi merupakan paket lengkap untuk para gadis yang ingin kaya mendadak. Kedua orang tuanya sama-sama kaya— katanya.
Lolita sendiri tidak tahu pasti bagaimana kehidupan pribadi pujaan hatinya. Namun hanya melihat mobil yang setiap harinya dibawa, Lolita setuju jika Adnan disebut anak orang kaya.
Hanya saja bukan itu yang membuat Lolita jatuh hati, bahkan nyaris gila karena menggilai Adnan. Ada sebab, tapi bukan perihal harta dunia.
“Yeee! Gue tuh speechless ya, Lol!” Aku Melisa, lalu meluapkan semburan emosinya. “Gue ngefans juga masih inget temen, Lol! Emangnya lo?!” dan berakhir membuat Lolita meringis.
Katakanlah persaingan diantara keduanya sedikit tidak fair. Lolita akan secara terang-terangan melakukan gencatan senjata pada Melisa. Membuka ladang permusuhan kala sahabatnya mencoba menarik perhatian Adnan.
“Yah, Mel. Lo kan nge-fans-nya ke banyak kakak tingkat, termasuk Abang gue. Kehilangan Bang Adnan masih ada yang laen. Nah gue?”
“Haah! Lagu lama! Nggak usah lo terusin! Paham gue!”
Untuk bagian kating bernama lengkap Muhammad Adnan Nabawi, Melisa boleh mengagumi, tapi tak boleh berharap memiliki— itu lah kesepakatan yang terjalin diantara keduanya.
“Kira-kira gue chat mamanya Bang Adnan kapan yak? Ntar malem kali yak?”
Melisa mendorong kepala Lolita ke samping. “Kecepetan, Dodol! Baru juga tadi lo kenalan sama nyokapnya!”
“Lagian yah, Lol! Bang Adnannya kan belum tentu setuju. Lo better pdkt lagi aja ke Bang Adnan. Biar nggak terkesan maksa banget jadi cabe!”
“Saran ditolak!” Ucap Lolita, mantap.
Sudah jelas-jelas Adnan tidak menyukainya. Mau berusaha seperti apa lagi sih? Sampai tahap benar-benar ke dukun sakti?!
Sepertinya cara jitu itu sudah tak diperlukan. Sekarang ia memiliki dukungan dari orang dalam. Jadi untuk apa bersusah-susah. Kalau dirinya tak bisa menggaet pujaan hatinya secara langsung, ubah strategi saja ke mamanya.
Simpel kan?!
Laki-laki baik seperti kakak tingkatnya itu pasti tidak akan mau menjadi anak durhaka.
‘Manfaatin aja apa yang ada! yang penting bisa sama Bang Adnan! Urusan dia suka, ya sebodo amat!’
Cinta perlahan-lahan akan datang jika mereka selalu bersama. Yah, setidaknya begitu jalan cerita yang biasa ia tonton di drama-drama romansa.
“Lol!”
“What?” tanya Lolita.
“Kayak ada sesuatu yang kelewat nggak sih?”
“Eh?”
Apa yang terlewat? Lolita tidak merasakan apa pun.
“Kelas, Goblok! Kita kelewatan kelas!!”
“The Fuck!!” Pekik Lolita. Semua yang berkaitan dengan pujaan hatinya selalu saja membuatnya lupa daratan. “Masih keburu nggak, Mel?”
“Masih nanya lo?! Kagak lah, Anjing! Udah lewat 30 menit! Diusir kita yang ada!”
“Sor-Sorry, Mel!”
DIBAGIAN kampus yang lain, tepatnya di dalam mobil pribadinya— pemuda yang Lolita dan Melisa jadikan bahan perbincangan, saat ini tengah memijat pelipisnya.
Kepalanya berdenyut, nyeri.
Menuruti paksaan ibunya memanglah tindakan yang tak bisa dibenarkan. Seharusnya ia mengikuti kata hatinya, melarang ibunya ikut serta bersamanya.
“Bu, itu tadi maksudnya apa?”
“Apa?”
Tatiana yang tidak mengerti, mengembalikan pertanyaan putranya.
“Khitbah tadi, Bu!”
“Oh, itu..” Gumam Tatiana, terlewat santai. Padahal ia tahu putranya sedang kesal padanya.
“Lolita lucu loh, Mas, anaknya.”
Adnan memutar bola matanya. ‘Lucu disebelah mananya?’ Pikir anak itu.
Menurut Adnan, Lolita adalah gadis paling menyebalkan, yang keberadaannya tak bisa dienyahkan. Seharusnya kegigihan gadis itu diletakkan pada hal-hal positif dalam hidupnya, bukannya malah untuk mengejar seorang laki-laki.
“Kalau dia dikenalin ke Ayah, Ayah pasti seneng Mas.”
“Ibu ngaco! Mas Adnan nggak ada hubungan apa-apa sama Lilita, Bu! Ibu tuh tadi pagi dengerin Mas Adnan nggak sih?!”
Siapa tahu saja ibunya tak menyimak ceritanya secara lengkap, sampai-sampai salah mengira tentang hubungannya dengan adik juniornya itu.
“Dengerin kok. Lolita tergila-gila sama kamu, sampai pake pelet segala kan?! Anaknya juga ngaku sendiri tadi.”
Lolita memiliki poin tambahan dimata Tatiana. Selain dikarenakan sangat mencintai putranya, gadis itu pun tergolong jujur. Ia tidak mencoba mengelak, meski yang tindakannya salah.
“Mas Adnan.. Jarang loh ada cewek bisa sampai segitunya.”
“Ya justru itu, Bu! Lolita tuh serem. Cuman biar bisa disukain aja sampai menghalalkan segala cara.”
Normalnya— bukan kah seharusnya ibunya merasa takut?! Mengapa yang terjadi justru berlawanan. Wanita yang melahirkannya itu malah terkesan mendukung Lolita untuk dijadikan menantu di rumah mereka.
“Saking nggak ada cara lagi kali, Mas. Deketin Mas baik-baik, pasti Mas kacangin kan?” Tebak Tatiana.
Lolita tak terlihat jahat, apalagi tampak memiliki tujuan negatif dari rasa sukanya pada Adnan. Sebagai seorang wanita, terlebih ibu— Tatiana mengetahui hal tersebut. Ia dapat merasakan jika Lolita murni menyukai putra semata wayangnya.
“Mas sibuk, Bu. Nggak ada waktu buat mikirin cinta-cintaan!”
Sekarang, Tatiana lah yang memutar bola matanya. “Alasan! Sebentar lagi kamu lulus kuliah. Mau sampai kapan jomblo? Toh, Ibu loh, sudah bolehin punya pacar. Asal tau batasan aja.”
“Mas Adnan nggak minat pacar-pacaran, Ibu. Maunya langsung nikah aja.”
“Nah, pas, udah! Calonnya juga udah ada. Kapan kita mau lamar Lolita, Mas?”
“Bu, Ya Allah!”
“Nggak baik nunda-nunda, Mas. Menikah itu ibadah. Kalau sudah mampu, ya lakuin. Lolita juga nggak malu-maluin diajak ke kondangan. Cantik anaknya. Paling penting sih, dia lucu. Ibu jadi punya mainan, hehehe.”
“Ibu aja yang nikah sama Lolita. Mas Adnan masih betah single.”
“Ck, Ck, Ck!” Tatiana berdecak. Susah memang kalau berbicara perihal jodoh dengan anaknya Gus Khoiron. Dia belum tahu saja enaknya menikah. “Ntar kalau Lolita nyerah, tau rasa kamu, Mas!”
“Nggak bakalan!” Ucap Adnan, percaya diri.
“Takabur ya, kamu! Apa yang nggak mungkin terjadi? Kalau Allah mau kamu jadi sad boy, mana bisa kamu ngelak dari takdir-Nya!”
Adnan menghela napasnya. Perihal Lolita jadi kemana-mana kan. Tidakkah semua orang tahu, bahwa cinta itu tidak dapat dipaksakan. Nanti ketika waktunya tiba, ia juga akan jatuh cinta— tapi pastinya tidak dengan Lolita yang absurd bin konyol.
“Supir Ibu udah jemput tuh. Mas Adnan anter naik ke mobil.” Tukas Adnan lalu membuka pintu mobilnya.
“Anak ini! Keras kepalanya nyontek siapa sih?” Gerutu Tatiana, kesal. “Ayahnya loh manis banget.”
“Hati-hati ya, Bu. Mas Adnan pulang sore, ada kegiatan organisasi.”
“Heum.. Kapan-kapan kamu bawa Lolita ke rumah. Nggak jadi mantu, jadi anak perempuannya Ibu juga boleh.”
“InsyaAllah!” jawab Adnan, pendek sekali.
Akhirnya berakhir sudah penderitaan yang diberikan oleh sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu, berhasil ia pulang kan ke rumah.
“Ada-ada aja!” Celoteh Adnan, bermonolog.
Usai memastikan mobil yang menjemput ibunya tak lagi terlihat, kaki Adnan melangkah meninggalkan area parkir di gedung fakultasnya.
“Bang Adnaaaan!! Calon suamikuuuu!!”
Seruan itu berasal dari gadis yang suaranya sangat menempel di otak Adnan.
Sial, sekali! Pergi satu, muncul yang lainnya.
Jika Adnan pikirkan kembali, pembahasan tak menyenangkan yang terjadi antara dirinya dan sang ibu bermula dari gadis itu.
Andai saja Lolita tidak melakukan pelet, ibunya tidak akan berkenalan dengan gadis itu. Singkatnya tak mungkin ada interaksi diantara keduanya, yang berujung paksaan untuk mengenal Lolita lebih dekat.
Yah, Lolita-lah akar masalahnya. Untuk bisa hidup tenang dimasa yang akan datang, ia harus menyingkirkan masalah dari akarnya. Mencabut akar itu agar tak menumbuhkan tunas baru yang sama.
Lolita dan Melisa menghentikan langkah mereka dihadapan Adnan. Gadis itu mengulas senyumnya ditengah deru napasnya yang tak beraturan.
“Loh! Kok Bang Adnan sendirian? Tante mana?”
“Lolita!” Bukannya menjawab, Adnan justru memanggil nama Lolita dengan penuh penekanan.
“Ya, Bang?”
“Lo bisa nggak, nggak usah ganggu-ganggu gue? Honestly, gue terganggu banget sama tingkah lo.”
Degh!
Adnan Nabawi yang selalu menjaga kata-katanya, kini berubah menjadi sosok dingin berlidahkan belati.
“Anggap aja apa yang nyokap gue bilang tadi cuman lelucon pagi. Lo bukan tipe gue, dan nggak akan pernah jadi tipe gue. Jadi stop aja sampe disini, sebelum lo bener-bener gila. Masih ada cowok lain, lo gangguin aja mereka, Lol! Asal jangan gue.”
“Bang Adnan terganggu?” Cicit Lolita, terbata. Ia belum pernah menemukan Adnan pada versi kejam seperti sekarang ini.
“Jelas lah! Lo ngintilin gue kayak nggak punya harga diri! Asal lo tau aja ya, gue udah punya cewek dan kelakuannya nggak kayak lo!”
“Ok-Oke..”
Kedua telapak tangan Lolita mengepal. Sebelumnya sudah ada orang yang mengingatkannya perihal harga diri, tapi ucapan mereka tak berefek apa pun dihatinya.
Sungguh berbeda ketika kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang dirinya puja. Hatinya langsung merasakan perih, sampai sekujur tubuhnya terasa sakit.
“Clear ya!” itu bukanlah pertanyaan, melainkan sebuah kepastian yang harus Lolita ingat.
“Lo jangan deketin gue lagi, apalagi nyokap gue! Jadi orang tau batas lah!” Tutup Adnan lalu kembali meneruskan langkahnya tanpa pernah memutar kepalanya untuk melihat kondisi Lolita.
“Lol,” Melisa disamping Lolita menyentuh bahu sang sahabat. Ia tidak mengira pria yang diketahui ramah itu, rupanya tak seperti sosok yang selama ini tampak dimuka umum.
“Gue anterin ke dukun sakti ya? Gue setuju lo melet Bang Adnan.”
“Nope! Nggak perlu!” Ujar Lolita, memaksa garis senyum terlihat dipipinya. “It's over! Enough buat gue jadi orang gilanya, Mel. Sekarang gue waras! Hehehehe!”
Sudah waktunya bagi Lolita untuk mengakhiri kegilaannya terhadap Adnan.
“Lol, lo beneran?”Melisa turut prihatin atas patah hati terbesar sahabatnya. Lolita menyukai kakak tingkat mereka sejak memasuki dunia perkuliahan.Kala itu si Ketua BEMU saat ini belum memiliki jabatan yang penting. Dia hanyalah salah satu panitia OSPEK di dalam grup kecil yang mempertemukan dirinya dengan Lolita.Ada satu peristiwa yang membuat sahabatnya jatuh hati, dan peristiwa itulah yang mungkin membekas pada benak Lolita.“Kalau kata orang jaman dulu, Lol. Sebelum bendera kuning ada di depan rumah, tandanya lo masih punya kesempatan.”“Ck, Mel! Lo nggak denger tadi Bang Adnan bilang apaan?” Decak Lolita santai, seolah dirinya baik-baik saja.“Udahlah! Cinta nggak harus memiliki kok. Gue nggak sebebal itu, Mel! Gue bukan tipenya, dia sendiri yang bilang.”“Lol, huhuhu!”Melisa mengulurkan lengannya, merangkul tubuh Lolita dari samping.“Tragis banget kisah cinta lo, Lolai! Kenapa nggak dari satu tahun lalu aja Bang Adnan ngomong begitu sih. Sia-sia parah kegoblokan lo selama i
Lolita mendesah. Tubuhnya lesu, seperti sebuah robot yang kehabisan daya.Satu hari bahkan belum berhasil dirinya lalui, tapi entah mengapa, ia merasa waktu disekitarnya melambat.Pergerakan ini sangat berbeda ketika dirinya masih sering merecoki Adnan. Biasanya ia mengutuk jam digital di ponselnya, yang bergerak begitu cepat.‘Fiuh! Berat ternyata, Bestie! Kapan sorenya ini?! Gue pengen balik, huhuhu!’Lolita bosan. Kini ia menyadari betapa bodoh dirinya selama ini. Andai saja ia tak jatuh hati pada seorang Adnan, ia mungkin memiliki kegiatan yang berfaedah di kampus.Contohnya saja, mengikuti salah satu organisasi fakultas, seperti apa yang dilakukan Melisa. Meskipun menjadi regu sorak dan tukang pembuat huru-hara, setidaknya hidupnya cukup berguna bagi Psikologinya tercinta.“Kambing! Jangan-jangan, gue lagi yang selama ini dipelet. Makanya bisa bego nggak ada obat!” Gerutu Lolita. Ia melipat kedua tangannya di atas dada. Mencoba memikirkan kalimat yang keluar dari mulutnya.“Wah,
Kemarin, waktu berlalu begitu saja, begitu pun dengan hari-hari selanjutnya. Lolita Cantika, gadis yang selama ini dikenal selalu ingin menempel pada tubuh si ketua BEM Universitas tetap ramai dibicarakan, tetapi dengan bahan gosip yang berbeda.Lolita mendapatkan julukan baru di lingkungan kampusnya, yakni sebagai player kelas kakap. Hal tersebut bermula dari pesta perayaan kembalinya otaknya.Kehadirannya bersama Richi saat pesta perayaan pribadinya dinilai negatif, oleh orang-orang yang melihat keberadaan mereka di kantin kala itu. Gosip mengenai dirinya yang merubah haluan pun berhembus sangat kencang, meski hubungan Richi dan kekasihnya tampak baik-baik saja dimuka umum.Lolita— Fans Garis Keras Ketua BEM, Patah Hati Lagi?!“Ck! Wartawan Kampus ngapain ngangkat berita nggak guna gini sih?! Mana Bang Richi ikut kebawa-bawa. Sampah banget!” Dumel Lolita usai membaca buletin kampus yang dikirimkan Melisa beberapa menit lalu.Saking niatnya, kehidupan asmara Richi sampai dibawa-bawa.
“Kamu?”Berjam-jam lamanya Lolita memikirkan satu kata yang telinganya dengar dari mulut Adnan.Ia tidak salah. Telinganya sangat sehat. Ketua BEM yang menyakiti hati dan harga dirinya itu, memang menggunakan panggilan yang berbeda siang tadi.Alih-alih lo, Adnan menyebutkan kata kamu.KAMU!!!Seakan-akan mereka saling mengenal dekat, lebih dari fans dan idolanya.“Argh! Babik! Apa sih maksudnya tuh laki?!” Kesal Lolita sembari mendudukkan dirinya di atas ranjang.Lolita menggigit bibir bagian bawahnya. Ia sungguh ingin bercerita tentang tingkah aneh Adnan pada Melisa. Namun ia takut membuat s
Dalam satu malam, dunia yang Lolita tinggali gonjang-ganjing. Ketika dirinya terjaga di pagi harinya, cincin yang Adnan lingkarkan dijarinya masih terpasang, seolah menegaskan jika keberadaannya bukan lah mimpi belaka.Laki-laki itu juga mengirimkan pesan melalui aplikasi perpesanan yang sebelumnya pria itu blokir. Mengucapkan selamat pagi lalu menyampaikan niatnya untuk menjemput dirinya. Tentu saja dengan segenap kesadarannya, Lolita menolak niat tersebut. Ia mengatakan akan berangkat ke kampus bersama abang tersayangnya.Hell!Lolita tidak segila itu. Menerima ajakan Adnan sama saja membiarkan kehebohan terjadi. Warga kampus pasti akan mengolok-ngolok dirinya tanpa tahu kejelasan dibalik bersamanya mereka.‘Ya mana percaya sih mereka kalau diceritain. Gue paling-paling dikira nggak waras sama mereka!’ Grundel Lolita di dalam hati.“Turun, woi! Udah nyampe nih kita!”
Pejuang cintanya terkapar— begitu mungkin judul yang tepat untuk disematkan pada berita terbaru terkait Lolita Cantika. Kabar mengenai Lolita yang berhasil mendapatkan si Ketua BEM langsung menyeruak, menyebar sampai ke sudut-sudut kampus. Berita tersebut tersebar secepat kekuatan cahaya, mengalahkan si bintang utama yang tak kunjung siuman dari pingsannya. Melisa menatap sengit Adnan yang setia menemani Lolita. Pemuda itu berdiri tepat disamping Kasur yang Lolita gunakan, sedangkan Melisa duduk manis pada sisi yang berlawanan. “Kita harus ngobrol empat mata, Bang Ad-Piiiip!” Efek terlalu mendalami peran sebagai pembenci Adnan garis keras, sampai saat ini mulut Melisa secara otomatis masih melakukan sensor pada nama pemuda itu. Hal tersebut merupakan bentuk solidaritasnya terhadap Lolita. Bersama sang sahabat, keduanya meninggalkan fans club yang dulunya menaungi nama mereka. “Pergi deh lo berdua! Loli biar gue yang jagain.” Ucap Argam sembari mengibas-ngibaskan tangannya, perta
“Lolita! Lepasin gue!” Lolita mengabaikannya. Sama seperti apa yang perempuan itu lakukan ketika dirinya meminta, ia pun melakukan hal yang serupa. “Tolong! Tolongin gue! Nih cewek freak ngamuk nggak jelas!” Anak-anak kampus mungkin akan segera menolong, jika kalimat itu keluar dari mulut orang lain. Sayangnya, kalimat itu dikeluarkan oleh sosok yang sering melakukan pembulian. Alih-alih membantu, mereka justru pura-pura tak melihat rombongan Lolita. “Diem! Gue sumpelin juga mulut lo pake kaos kaki!” Seorang perundung biasanya hanya berani bertingkah saat bersama gerombolannya. Ketika tersisa seorang diri, cakar dan taringnya lenyap, bersama mentalnya yang ikut melemah. Tujuan mereka berperilaku seolah menjadi superior adalah untuk mendapatkan pengakuan. Tapi pengakuan tersebut hanya bisa didapatkan ketika berada dikoloninya. “Sampe ada dosen ke sini, gue aduin kelakuan busuk lo di kamar mandi! Liat aja siapa yang bakal menang!” Lolita jelas memiliki kartu truf. Bukan dirinya y
Keberadaan seseorang akan terlihat berarti ketika sudah melangkah pergi— mungkin demikianlah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok Lolita dalam hidup Adnan.Siapa sangka jika gadis yang dulunya Adnan anggap mengganggu, justru merupakan gadis yang dapat memikat hati dan pikirannya.Adnan merasa kehilangan setelah hidupnya menjadi begitu normal, tanpa adanya gangguan yang biasa Lolita lakukan kepadanya. Hari-harinya menjadi tidak semenyenangkan dulu, tepatnya setelah Lolita mengabaikan eksistensinya di sekitar gadis itu.“Huft!”Ibu jari Adnan menekan tombol, ‘home,’ pada layar ponselnya. Meninggalkan aplikasi perpesanan yang selama sepuluh menit sudah dirinya mainkan.Percuma saja menghubungi Lolita melalui chat dan panggilan, karena tak ada satu pun pesan darinya yang mendapatkan balasan.“Nan, Adnan!!”Nando tiba dengan napasnya yang memburu. Jika Adnan tak salah tebak, sahabatnya itu pasti berlarian demi mencarinya.“Cewek lo! Si Lolipop weleh-weleh! Gue liat dia keluar dari
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk
“Bohong! Aku tuh tetangganya Adnan. Rumah aku ada didepan rumah dia. Kalau Lolita-Lolita itu udah kenal Adnan dari lama, nggak mungkin aku baru tau dia hidup di dunia!”Errr!!Kalimat yang Tasya lontarkan cukup pedas. Teman-temannya sampai tercengang mendengar penuturan gadis yang biasanya bersikap lembut itu.Arogan!Kalimat yang Tasya gunakan terdengar sangat arogan ditelinga teman-temannya. Semakin lama mereka mengenal Tasya, mereka semakin memahami bagaimana cara pikir gadis itu.Semua hal berkenaan dengan Adnan, entah itu benar atau tidak, Tasya bertindak seakan dirinya mengetahuinya lebih baik dari siapa pun.Tingkahnya seolah-olah dia dan Adnan hidup berbagi napas yang sama dan tidak pernah terpisahkan meski itu satu detik pun.Lambat laun, sikap terlewat halu itu tentu membuat teman-temannya merasa tak nyaman.“Lo kan cuman tetangganya, Tas. Nggak 24 ours bareng dia. Lagian dia kenal siapa, nggak mungkin laporan ke lo juga kan?”“Tapi nggak make sense kalau itu anak mereka. Si
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro