Aku menarik nafas panjang. Suaraku meninggi memenuhi langit-langit kantor.
“Aku ingin kembali, aku tidak tahan melihat semua ini." Orang yang duduk di hadapanku tidak bergeming.
“Ini baru hari keduamu masuk sekolah sayang, kau hanya perlu mengikuti tradisi sekolah ini, tidak sulit bukan?” jawabnya santai sambil membalik koran yang tengah dibacanya.
Pagi itu matahari seakan tidak mau menampakkan dirinya. Aku menghembuskan napas.
“Seharusnya aku tidak pulang,” gumamku pelan.
Sekarang usiaku lima belas tahun. Setelah kembali dari Kanada satu minggu yang lalu, aku memilih untuk melanjutkan pendidikan di sekolah yang diketuai oleh ayahku sendiri. Hari pertama menginjakkan kaki di sekolah itu membuatku merasa senang karena ini kali pertamaku kembali setelah sepuluh tahun menetap di negeri orang.
Hari pertama kuhabiskan untuk mengelilingi sekolah, samping, depan, belakang. Sekolah ini memiliki gedung belajar yang mewah dan fasilitas yang lengkap sebagai penunjang. Di tengah jalan, aku tidak sengaja menubruk seorang gadis. Aku langsung meminta maaf. Tetapi, salah satu diantara mereka bertanya dengan nada yang terdengar ketus.
“Kau anak baru?” tanyanya seraya melipatkan tangan di dada, “kau terlihat cantik,” lanjutnya.
Alisku terangkat mendengar kalimat selanjutnya.
“Coba kulihat,” salah satu tangannya mengarah ke wajahku. Memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tetapi aku masih diam.
"Kau bagian dari kelas mana? kasta satu? kasta dua? atau kasta tiga?”
Kali ini aku tertawa geli. “Kasta? Apa yang kau maksud dengan kasta? Ini sudah zaman modern, aku tidak menyangka kalau kalian masih memakai kata-kata kasta,” balasku dengan senyuman tidak percaya.
Waktu itu, aku langsung pergi sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Kita sudah merdeka, kenapa masih membawa-bawa kasta,” bisikku pelan.
Aku melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah waktu istirahat. Aku berjalan ke arah kantin. Aku ikut mengantri untuk mendapatkan makan siang. Tiba tiba saja seorang pria mendatangiku.
“Kau kasta apa?” tanyanya.
Keningku berkerut, lagi-lagi pertanyaan itu. Aku tidak mengerti kenapa semua orang membicarakan tentang kasta.
“Kalau kau kasta satu, kau bisa mengambil antrian depan, kasta tiga seharusnya di belakang, dan sekarang ini antrian untuk kasta dua, kau?” lanjut pria itu bertanya.
Aku langsung keluar antrian. Mengabaikan pria yang menanyaiku tadi. Aku memilih untuk mengantri diurutan paling belakang. Mataku lamat-lamat memperhatikan setiap meja makan yang diisi setiap siswa. Benar saja. Aku bisa melihat perbedaan yang sangat mencolok. Tidak heran jika semua siswa di sekolah ini masih menggunakan kata yang disebut “kasta” itu.
Mereka hanya bergaul dengan sesama mereka saja. Meja depan diisi oleh beberapa gadis yang terlihat sangat anggun. Gaya mereka tampak seperti model-model berparas cantik dari negara luar. Aku mengalihkan pandangan. Di sisi lain, terlihat sebuah meja yang dipenuhi buku-buku. Beberapa di antaranya memakai kacamata. Itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan kalau mereka adalah orang-orang cerdas di sekolah.
Aku tetap tidak mengerti dengan orang-orang yang ada di sekolahku. Kenapa harus memandang kasta? Indonesia sudah merdeka tujuh puluh dua tahun lalu. Miskin bukanlah kriminal. Tidak cantik juga bukan tindakan asusila. Kita sama-sama manusia biasa. Kedudukan kita di sekolah ini sama.
Aku memejamkan mata. Bahkan di Kanada saja, para siswanya bergaul dengan baik. Tidak bergantung kepada seberapa kaya orang tua mereka, seberapa cantik wajah mereka, atau sejauh mana kepintaran mereka. Aku tidak tahu kalau keadaan di sekolah ayahku sendiri akan seburuk ini. Aku sangat membenci sistem ini.
Keesokan harinya. Sebelum memasuki kelas, aku tersentak melihat para siswa sudah berkumpul seolah-olah sedang menunggu kedatanganku.
Aku berjalan santai, tanganku menurunkan tas punggung. “Apa yang kalian lakukan?” tanyaku penasaran.
Pria yang menegurku di kantin kemarin maju satu langkah. Kini aku dan pria itu berada di tengah-tengah kerumunan siswa lain. Pria itu menunjukkan layar ponsel yang berisikan biodata diriku. Aku merampas ponsel itu untuk memastikan apakah itu benar biodata diriku.
“Tidak kusangka, ternyata kau adalah orang nomor satu di sekolah ini. Tapi kenapa kau berusaha menutupi identitasmu?” tanya pria itu. Ia kembali merampas ponsel yang ada di tanganku.
“Aku tidak menyembunyikannya. Ini memang hidupku,” jawabku ketus.
Pria itu tersenyum mencibir. “Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena aku sudah menjadikan kau orang nomor satu di sekolah ini”.
Aku balas tersenyum. “Terima kasih yang sangat-sangat. Kalau kau pikir aku senang, kau salah besar. Aku tidak pernah mau bergaul dengan kalian. Pergaulan kalian sangat menjijikkan. Hidup...,” pria itu tertawa memotong kalimatku.
“Menjijikkan? jangan bersikap yang paling benar di antara kami. Justru kaulah yang paling menjijikkan,” suara pria itu meninggi.
“Setidaknya aku tidak seperti kalian. Hidup dengan membeda-bedakan satu sama lain, saling menjatuhkan dan berpikir kalau kalian yang paling hebat,” aku membalas dengan lantang.
“Kamu.” Aku menunjuk salah seorang gadis cantik di seberangku, “apa kau bisa tenang setelah melihat orang yang lebih cantik darimu?” tanyaku. Gadis itu menggeleng.
“Apa kau tidak cemas kalau suatu saat perusahaan keluargamu bangkrut dan jatuh miskin?” lanjutku. Pria berkacamata yang kutunjuk ikut menggeleng.
“Dan aku, aku tidak senang meskipun aku anak ketua yayasan sekolah ini. “
Semua terdiam. Pria yang meninggikan suara kepadaku itu juga terdiam. Mulutnya seperti tersumpal setelah mendengar perkataanku.
“Kenapa? kalian baru sadar?” aku menyeringai, “apa gunanya bersikap sombong kalau orang lain menghinamu. Nikmatilah hidup kalian selagi masih bisa. Hidup ini hanya sekali,” tambahku.
Aku meninggalkan kelas. Ponselku berbunyi. Ruang obrolan chat sekolah hangat memperbincangkan diriku. Kejadian inilah yang membuatku harus mendatangi kantor direktur sepagi ini.
“Aku ingin kembali ke Kanada besok pagi,” pintaku setelah menjelaskan tragedi barusan.
Ayahku hanya tertawa ringan. “Baiklah, baiklah, aku tidak mungkin menolak, aku takut kau akan dipermalukan lagi.”
Satu-satunya hal yang kupikirkan saat itu hanyalah pulang. Aku menatap wajah sendunya yang tampak kecewa dengan keinginanku.
Waktu itu aku hanya merasa tidak adil karena dipermalukan. Tapi kau tahu yang sebenarnya? Itu hanyalah kulit luar yang belum terkelupas menampakkan isinya.
*****
Tangan kananku memegangi leher bagian belakang seraya menghempaskan badan ke atas ranjang yang luasnya bisa ditiduri empat orang. Layar ponselku terus menyala dan berdering. Anak-anak di sekolah masih sibuk membicarakan kejadian tadi siang. Mataku terpejam, berbagai pikiran terus menjalari otakku. “Jika aku berhenti sekolah, sama artinya aku mengakui peraturan kasta tak masuk akal di sekolah.” Batinku bergumam dan memiringkan badan ke kanan, “atau kembali ke Kanada?” batin lainku menjawab. Aku menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Argh! Inginku berteriak rasanya. Tapi takut membuat seisi rumah panik. Aku mendesah pelan lalu bangkit dari tempat tidur. Meraih ponsel di atas kasur dan membuka ruang obrolan sekolah. Benar saja. Aku masih menjadi topik hangat. Tapi, malam itu aku mengambil keputusan yang sebenarnya tak tahu ujungnya. **** Tok Tok Tok. “Sarapannya sudah siap nak,” ajak Bi Ruri unt
Mino Albert. Anak laki-laki yang biasa dipanggil Mino itu mengambil sebuah kacamata dari kotak koleksinya yang berjejer di dalam sebuah etalase, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kini ia berjalan ke dapur. Mengeluarkan nasi instan yang telah dipanaskan dari microwave. Mino merupakan putra bungsu dari seorang pengusaha real estate terkenal di kotaku. Namun ia sangat jarang berjumpa dengan keluarganya karena orang tuanya sibuk melakukan perjalanan bisnis. Saat ini Mino tinggal mandiri di sebuah apartemen yang diberikan oleh ayahnya. Meskipun ayahnya seorang businessman yang sukses, bukan berarti hidupnya aman dan damai. Ayahnya termasuk orang paling berpengaruh di kotaku dan musuh ayahnya berada dimana-mana. Secara diam-diam, ayahnya membuka sebuah akademi tersembunyi yang hanya melatih pemuda-pemuda ahli bela diri yang akan dijadikan pengawal pribadi. Hal ini tentu juga berlaku pada Mino. Ia selalu diikuti oleh sepuluh pengawal yang dikirim ayahnya. A
Pagi itu langit terlihat cerah. Seakan mengerti akan suasana hatiku. Tersenyum penuh arti. Namun, senyumku seketika hilang. Tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangan kananku dengan keras menuju gedung belakang sekolah. Aku mengerang kesakitan mencoba melepaskan cengkaraman itu. Usahaku sia-sia, karena dua orang gadis lainnya ikut mendorong tubuhku ke sebuah tembok yang sudah berlumut. Gadis lain berambut panjang yang berdiri sejajar di hadapanku melayangkan sebuah pukulan ke pipi kananku. Wajahku terhempas menghantam tembok di belakang. Aku bisa merasakan aliran darah di sudut bibirku. Terasa perih dan sungguh tidak enak. “Itu kau kan?” tangan lainnya menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak ke atas. “Apa yang kau bicarakan? bicaralah yang jelas,” balasku berusaha melepaskan tangan yang masih menarik rambutku. Tangannya terlepas dari rambutku. Aku mengusap sudut bibirku. Merapikan rambutku yang berantakan. Membenarkan letak dasi yang sedik
Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali. Jianada Melody. Jianada Melody. Jianada Melody. Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah. Diharapkan segera menuju kantor direktur Diharapkan segera menuju kantor direktur Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru. Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han. Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membu
Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini. Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu. “Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar. Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang. Karena aku sama sepertimu. Huft! Aku menghembuskan nafas pelan. Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yan
“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa