Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Aku menarik nafas panjang. Suaraku meninggi memenuhi langit-langit kantor. “Aku ingin kembali, aku tidak tahan melihat semua ini." Orang yang duduk di hadapanku tidak bergeming. “Ini baru hari keduamu masuk sekolah sayang, kau hanya perlu mengikuti tradisi sekolah ini, tidak sulit bukan?” jawabnya santai sambil membalik koran yang tengah dibacanya. Pagi itu matahari seakan tidak mau menampakkan dirinya. Aku menghembuskan napas. “Seharusnya aku tidak pulang,” gumamku pelan. Sekarang usiaku lima belas tahun.Setelah kembali dari Kanada satu minggu yang lalu, aku memilih untuk melanjutkan pendidikan di sekolah yang diketuai oleh ayahku sendiri. Hari pertama menginjakkan kaki di sekolah itu membuatku merasa senang karena ini kali pertamaku kembali setelah sepuluh tahun menetap di negeri orang. Hari pertama kuhabiskan untuk mengelilingi sekolah, samping, depan, belakang. Sekolah ini memiliki gedung belajar yang mewah dan fa
Tangan kananku memegangi leher bagian belakang seraya menghempaskan badan ke atas ranjang yang luasnya bisa ditiduri empat orang. Layar ponselku terus menyala dan berdering. Anak-anak di sekolah masih sibuk membicarakan kejadian tadi siang. Mataku terpejam, berbagai pikiran terus menjalari otakku. “Jika aku berhenti sekolah, sama artinya aku mengakui peraturan kasta tak masuk akal di sekolah.” Batinku bergumam dan memiringkan badan ke kanan, “atau kembali ke Kanada?” batin lainku menjawab. Aku menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Argh! Inginku berteriak rasanya. Tapi takut membuat seisi rumah panik. Aku mendesah pelan lalu bangkit dari tempat tidur. Meraih ponsel di atas kasur dan membuka ruang obrolan sekolah. Benar saja. Aku masih menjadi topik hangat. Tapi, malam itu aku mengambil keputusan yang sebenarnya tak tahu ujungnya. **** Tok Tok Tok. “Sarapannya sudah siap nak,” ajak Bi Ruri unt
Mino Albert. Anak laki-laki yang biasa dipanggil Mino itu mengambil sebuah kacamata dari kotak koleksinya yang berjejer di dalam sebuah etalase, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kini ia berjalan ke dapur. Mengeluarkan nasi instan yang telah dipanaskan dari microwave. Mino merupakan putra bungsu dari seorang pengusaha real estate terkenal di kotaku. Namun ia sangat jarang berjumpa dengan keluarganya karena orang tuanya sibuk melakukan perjalanan bisnis. Saat ini Mino tinggal mandiri di sebuah apartemen yang diberikan oleh ayahnya. Meskipun ayahnya seorang businessman yang sukses, bukan berarti hidupnya aman dan damai. Ayahnya termasuk orang paling berpengaruh di kotaku dan musuh ayahnya berada dimana-mana. Secara diam-diam, ayahnya membuka sebuah akademi tersembunyi yang hanya melatih pemuda-pemuda ahli bela diri yang akan dijadikan pengawal pribadi. Hal ini tentu juga berlaku pada Mino. Ia selalu diikuti oleh sepuluh pengawal yang dikirim ayahnya. A
Pagi itu langit terlihat cerah. Seakan mengerti akan suasana hatiku. Tersenyum penuh arti. Namun, senyumku seketika hilang. Tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangan kananku dengan keras menuju gedung belakang sekolah. Aku mengerang kesakitan mencoba melepaskan cengkaraman itu. Usahaku sia-sia, karena dua orang gadis lainnya ikut mendorong tubuhku ke sebuah tembok yang sudah berlumut. Gadis lain berambut panjang yang berdiri sejajar di hadapanku melayangkan sebuah pukulan ke pipi kananku. Wajahku terhempas menghantam tembok di belakang. Aku bisa merasakan aliran darah di sudut bibirku. Terasa perih dan sungguh tidak enak. “Itu kau kan?” tangan lainnya menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak ke atas. “Apa yang kau bicarakan? bicaralah yang jelas,” balasku berusaha melepaskan tangan yang masih menarik rambutku. Tangannya terlepas dari rambutku. Aku mengusap sudut bibirku. Merapikan rambutku yang berantakan. Membenarkan letak dasi yang sedik
Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali. Jianada Melody. Jianada Melody. Jianada Melody. Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah. Diharapkan segera menuju kantor direktur Diharapkan segera menuju kantor direktur Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru. Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han. Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membu
Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini. Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu. “Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar. Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang. Karena aku sama sepertimu. Huft! Aku menghembuskan nafas pelan. Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yan