Mino Albert. Anak laki-laki yang biasa dipanggil Mino itu mengambil sebuah kacamata dari kotak koleksinya yang berjejer di dalam sebuah etalase, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kini ia berjalan ke dapur. Mengeluarkan nasi instan yang telah dipanaskan dari microwave.
Mino merupakan putra bungsu dari seorang pengusaha real estate terkenal di kotaku. Namun ia sangat jarang berjumpa dengan keluarganya karena orang tuanya sibuk melakukan perjalanan bisnis. Saat ini Mino tinggal mandiri di sebuah apartemen yang diberikan oleh ayahnya.
Meskipun ayahnya seorang businessman yang sukses, bukan berarti hidupnya aman dan damai. Ayahnya termasuk orang paling berpengaruh di kotaku dan musuh ayahnya berada dimana-mana. Secara diam-diam, ayahnya membuka sebuah akademi tersembunyi yang hanya melatih pemuda-pemuda ahli bela diri yang akan dijadikan pengawal pribadi. Hal ini tentu juga berlaku pada Mino. Ia selalu diikuti oleh sepuluh pengawal yang dikirim ayahnya. Aku juga pernah memergoki Mino yang diantar oleh pengawalnya ke sekolah beberapa hari lalu. Pemandangan yang sangat tidak bersahabat bagi siapapun yang melihatnya.
Mino sangat bersyukur karena mempunyai ayah yang sangat mengkhawatirkan putra tampannya. Tapi hal itu selalu menjadi topik pembicaraan bagi orang-orang sekitar. Selama masa sekolah menengah pertama, beredar rumor kalau ia adalah putra dari seorang mafia yang terkenal kejam dan sadis. Adapula yang mengatakan kalau ia anak preman modern yang berdasi.
Mino memiliki aura gelap di mata teman-temannya. Selama masa sekolah menengah pertama, Mino tidak mempunyai teman. Bukannya tidak pandai bergaul, tapi tidak ada yang mau mendekati dan berurusan dengannya. Jika saja terjadi sesuatu yang salah dengannya, pengawalnya yang berjaga di depan sekolah akan langsung menerobos dan menghukum anak-anak yang mengganggu Mino. Tapi kini berbeda. Pengawalnya sudah tidak menunggunya seharian di sekolah. Pengawalnya akan segera pergi setelah memberikan salam dengan serentak dan menggelegar. Sekali lagi. Pemandangan yang mengundang perhatian orang yang berlalu-lalang.
Mino berdiri di depan cermin besar. Merapikan jas sekolah yang sangat pas di badannya. Badannya mungkin tidak atletis, tapi proporsi badan yang pas dengan kaki jenjangnya cukup untuk membuatnya tampan dan cocok mengenakan pakaian apapun. Tak hayal dia selalu tampak berjalan di runaway pada setiap jalan yang dilewatinya.
Salah seorang pengawal yang biasa dipanggil Pandi memasuki ruang ganti.
“Tuan muda, ada telfon dari ketua,” Pandi menyodorkan ponsel ke arah Mino.
Mino segera menerima ponsel dan sedikit tersenyum ke Pandi, pengawal yang paling dipercayai oleh ayah Mino. Usianya mungkin baru dua puluh empat tahun, tapi pengalaman dan kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Pandi satu-satunya pengawal yang diperbolehkan Mino untuk mengikutinya kemanapun ia pergi.
“Ayah tidak usah datang hari ini,” ucapnya sambil menekan pilihan tombol merah yang tertera di layar, menyudahi panggilan pagi itu.
Mino kembali menyerahkan ponsel pada Pandi. Ia mengangguk. Memberi isyarat untuk segera berangkat.
Hari itu adalah hari pertama, semester baru di sekolah baru. Visile International School. Ya. Sekolah yang didirikan oleh Mister Han, ayahku. Sekolah paling bergengsi di kotaku dan terkenal akan kualitasnya yang sangat bagus. Ibarat mencari jarum dalam jerami, seperti itulah susahnya perjuangan seorang siswa agar diterima di sekolah itu.
Hal pertama yang paling mengejutkan ketika berada di kelas pertama adalah sebuah surat perjanjian yang berisikan kalau setiap siswa mempunyai kewajiban untuk tidak menyebarluaskan peraturan terkait kasta yang berada di sekolah. Konsekuensi jika menolak perjanjian adalah blacklist dan tidak akan bisa bersekolah dimanapun. Tentu ini tidak berlaku padaku. Selain aku yang baru masuk setelah sekolah berjalan selama empat bulan, jalur khusus yang kumiliki tidak mewajibkanku untuk menandatangani surat perjanjian gila itu.
Dan pada akhirnya, Mino ditempatkan di kasta tiga. Jika saja ia bisa memutar waktu, menaiki mesin waktu kembali ke masa lalu, ia tidak akan masuk ke sekolah ini.
Mino selalu datang lewat jalan rahasia di belakang sekolah. Pagi itu dia tidak sengaja melihat sekelompok gadis di belakang sekolah yang mengenakan seragam yang sama dengannya tengah memegang sebungkus rokok ditangannya.
Ia tidak langsung turun dari mobil. Ia malah mengangkat ponsel dan mengarahkannya pada gadis-gadis itu.
“Kau meninggalkan sesuatu?” tanya Pandi menoleh ke belakang. Mino masih duduk di mobil.
Pandi mengikuti arah pandang Mino. Kini ia dapat melihat sekelompok gadis yang sedang asyik merokok.
“Tidak, aku malah dapat mainan baru,” balasnya dengan nada yang terdengar picik.
*****
Mino berjalan santai menuju kelas dengan kedua tangan berada di saku. Ia masih bisa mendengar beberapa anak membicarakanku. Meskipun berita itu telah menjadi topik hangat selama tiga hari, tapi aku masih menjadi pusat perhatian di sekolah.
Mino berhenti di pintu. Itulah pertama kalinya ia melihatku secara langsung. Meskipun sebelumnya ia mungkin sudah mendengar namaku melalui ruang obrolah sekolah tiga hari lalu, dan juga fotoku.
Mino hampir gagal mengenaliku karena kini rambutku tidak lagi panjang sepinggang. Berbeda dari foto yang sudah disebarluaskan. Aku memotong pendek rambutku sebahu dan sedikit poni yang menutupi dahi. Aku akui penampilanku kini sedikit berbeda dari sebelumnya. Aku bahkan memotong pendek sedikit lebih tinggi rok yang kukenakan. Membuka kancing baju dan mengenakan baju kaos putih di dalamnya. Tapi ini bukanlah penampilan aneh bagi anak-anak di kasta tiga. Sangat jarang dari mereka yang mengenakan seragam dengan benar dan rapi. Lihatlah Mino, gaya berpakaiannya tidak jauh berbeda dari cara berpakaianku. Hanya saja ia menggunakan kacamata berwarna terang. Aku tidak yakin, apakah kacamata itu hanya aksesoris atau kacamata asli. Jikalau kau berada diposisiku, kau akan tertawa melihat penampilannya karena sama sakali tidak cocok. Tapi hal itu menjadikannya tampak menarik dan punya pesona sendiri.
Pertemuan pertama kami tidaklah indah seperti drama-drama korea. Tapi itu cukup mengundang tanda tanya bagiku dan juga bagi Mino.
“Hei, ini kursiku, pindah ke sana!” perintah Mino.
Entahlah apa yang dipikirkan Mino melihat reaksiku yang sangat berbeda dari kejadian tiga hari lalu. Tapi aku sekilas melihat ia menaikkan sebelah alisnya. Pertanda kalau ia sama sekali tak menduga reaksiku.
Aku bahkan tidak tahu kalau ia sudah memperhatikanku sedari awal.
****
Pagi itu langit terlihat cerah. Seakan mengerti akan suasana hatiku. Tersenyum penuh arti. Namun, senyumku seketika hilang. Tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangan kananku dengan keras menuju gedung belakang sekolah. Aku mengerang kesakitan mencoba melepaskan cengkaraman itu. Usahaku sia-sia, karena dua orang gadis lainnya ikut mendorong tubuhku ke sebuah tembok yang sudah berlumut. Gadis lain berambut panjang yang berdiri sejajar di hadapanku melayangkan sebuah pukulan ke pipi kananku. Wajahku terhempas menghantam tembok di belakang. Aku bisa merasakan aliran darah di sudut bibirku. Terasa perih dan sungguh tidak enak. “Itu kau kan?” tangan lainnya menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak ke atas. “Apa yang kau bicarakan? bicaralah yang jelas,” balasku berusaha melepaskan tangan yang masih menarik rambutku. Tangannya terlepas dari rambutku. Aku mengusap sudut bibirku. Merapikan rambutku yang berantakan. Membenarkan letak dasi yang sedik
Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali. Jianada Melody. Jianada Melody. Jianada Melody. Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah. Diharapkan segera menuju kantor direktur Diharapkan segera menuju kantor direktur Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru. Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han. Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membu
Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini. Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu. “Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar. Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang. Karena aku sama sepertimu. Huft! Aku menghembuskan nafas pelan. Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yan
“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.