Tangan kananku memegangi leher bagian belakang seraya menghempaskan badan ke atas ranjang yang luasnya bisa ditiduri empat orang. Layar ponselku terus menyala dan berdering. Anak-anak di sekolah masih sibuk membicarakan kejadian tadi siang. Mataku terpejam, berbagai pikiran terus menjalari otakku.
“Jika aku berhenti sekolah, sama artinya aku mengakui peraturan kasta tak masuk akal di sekolah.” Batinku bergumam dan memiringkan badan ke kanan, “atau kembali ke Kanada?” batin lainku menjawab.
Aku menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Argh! Inginku berteriak rasanya. Tapi takut membuat seisi rumah panik. Aku mendesah pelan lalu bangkit dari tempat tidur. Meraih ponsel di atas kasur dan membuka ruang obrolan sekolah. Benar saja. Aku masih menjadi topik hangat.
Tapi, malam itu aku mengambil keputusan yang sebenarnya tak tahu ujungnya.
****
Tok Tok Tok.
“Sarapannya sudah siap nak,” ajak Bi Ruri untuk sarapan bersama.
Bi Ruri sudah kuanggap seperti keluarga inti, begitu juga dengan orang tuaku yang mempercayai Bi Ruri untuk mengasuh aku dari kecil. Kepulanganku ke Indonesia juga ditemani oleh Bi Ruri, sedangkan ibuku tetap tinggal di Kanada karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebagai seorang designer.
“Dijadikan bekal saja Bi, udah gak sempat, takut telat ke sekolahnya,” pintaku sambil menyerngitkan hidung memelas kepada Bi Ruri.
Seakan mengerti, Bi Ruri tersenyum mengangguk meninggalkan kamar. Aku masih sibuk memasukkan buku kedalam tas dan membaca secarik kertas yang sudah kutulis tadi malam. Mataku tertuju ke sudut meja. Sebuah surat yang sudah dimasukkan ke dalam amplop coklat membuat kuragu. Apa aku yakin? Semua akan baik-baik saja bukan?
“Setidaknya aku harus mencoba sekali.” Aku menghela nafas pelan mencoba meyakinkan diri. Tanganku meraih surat itu dan memasukkannya kedalam tas.
“Aku berangkat dulu ya Bi,” salamku kepada Bi Ruri yang mengantar sampai ke depan pintu.
Ayah sudah-tidak, semenjak kemarin aku sudah memutuskan untuk tidak memanggil ayah lagi pada orang yang paling dihormati disekolah- sudah menyiapkan mobil plus sopir yang akan mengantar kemanapun aku pergi. Aku melambaikan tangan ke Bi Ruri sebelum masuk mobil.
****
Aku memasuki kelas. Suasananya terasa tegang. Semua mata mengarah padaku. Belum ada guru yang masuk, jadi semua masih bersantai bercengkrama satu sama lain. Setidaknya tepat sebelum aku memasuki kelas. Mataku menangkap sebuah kursi kosong paling belakang di samping jendela yang mengarah ke belakang sekolah.
Aku dipindahkan dari kelas lantai lima ke kelas lantai satu paling belakang untuk Kasta Tiga. Lagi-lagi. Kasta sekolah dibedakan menjadi tiga. Tapi kasta tiga bukan berarti yang paling buruk. Masih ada anak konglomerat yang terdampar di kasta ini. Bisa jadi karena tidak pintar, tidak cantik, tidak tampan, atau pembuat onar. Sama halnya seperti yang kualami. Tapi tak apa. Ini pilihanku. Selain memang anak-anak kemarin yang menghinaku di kantin menolak untuk sekelas denganku.
Aku menarik kursi dan duduk. Kupandangi seluruh isi kelas. Tidak berisik. Semua sibuk dengan dunia masing-masing. Sampai akhirnya seorang pria berkacamata menyuruhku pindah ke kursi sebelah.
“Hei, ini kursiku, pindah ke sana!” Hentaknya mengangkat tangan menunjuk kursi di sebelah.
Aku menoleh ke samping. Tak memilih untuk berdebat. Aku segera menurut pindah ke kursi sebelah sambil menyunggingkan seulas senyum ke pria itu. Dia tak membalas tapi langsung duduk setelah aku pindah.
Aku memandangi pria di sebelahku. Dia berkulit putih, tidak terlalu tinggi tapi masih lebih tinggi dariku. Dia memakai kacamata berwarna orange yang bertengger di hidung mancungnya.
Seketika dia menoleh. “Apa yang kau lihat?”
Aku menoleh kaget. Memalingkan pandangan. Hampir copot jantungku. Tanganku sontak memegangi dada. Apa itu tadi? matanya yang bulat hitam langsung menatap tajam bertemu mataku. Aku menggelengkan kepala menyegarkan kembali pikiran. Sudahlah masih banyak yang harus dilakukan. Ini bukan saatnya bermain-main. Aku menatap amplop coklat di dalam tas yang tergantung di samping meja. Aku berpikir sekali. Dua kali.
“Aku tak ingin sendiri.” gumamku pelan.
Tanpa kusadari, pria berkacamata di sebelahku sudah menatap ku sedari tadi.
****
Aku melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanan. Hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku terlambat datang ke sekolah.
“Pak Andra, nanti kita lewat belakang saja ya, gerbang depan sudah dikunci kalau jam segini,” pintaku pada sopir pribadi yang telah disiapkan Mister Han.
“Baik nak,” jawab Pak Andra sambil menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan kepul asap di belakang.
“Nak Jia kenapa lama? bapak kira nak Jia ninggalin Bapak,” tanya Pak Andra membuka obrolan di dalam mobil.
Aku terkekeh ringan. “Karyawan di tempat lesnya ngasih aku teh pak, jadi gak enak kalau ditinggal begitu saja,” jawabku mengada-ngada sambil tertawa mencairkan suasana curiga.
Tidak lama setelah mobilku meninggalkan rumah tadi pagi, aku meminta Pak Andra mengantarkanku ke sebuah tempat bimbingan belajar sebelum ke sekolah. Dengan alasan ingin mendaftar kelas tambahan. Namun bukan itu yang kumau sebenarnya. Tidak jauh di balik gedung bimbingan belajar itu, sebuah gedung putih menjadi alasanku sudah membohongi Pak Andra pagi itu.
Aku terpaksa lewat jalan rahasia di belakang sekolah yang tidak sengaja kutemukan ketika berjalan-jalan dihari pertama bersekolah. Jalanan kecil yang ditumbuhi rumput liar sepinggang. Jalan ini jarang dilewati karena berdekatan dengan gedung kelas lama yang sudah tidak dipakai. Kuakui sebenarnya jalan ini lebih dekat dengan kelasku sekarang.
Belum sampai kakiku menginjak jalan sempit berumput itu, terdengar suara sekelompok pria mengucapkan kata hati-hati serempak dan tegas. Sontak aku memegangi dada terkejut. Mataku liar memandangi sekeliling. Tampak segerombolan lelaki bertubuh kekar membungkukkan badan sembilan puluh derajat ke hadapan seorang anak laki-laki sebayaku. Aku berhenti, mengintip.
“Anak itu….” Aku menyerngitkan mata tidak yakin. Ekspresi wajahnya tampak sangar, tatapannya tajam.
“Tidak mungkin dia bukan?” ucapku pelan tidak mempercayai apa yang kulihat.
Anak laki-laki itu mengeluarkan kotak kacamata dari dalam tasnya.
“Sudah kubilang jangan lakukan hal itu di sini, kalian boleh pergi,” perintah anak itu pada sekelompok pria yang mulai meninggalkan lokasi.
Anak laki-laki itu memakai kacamatanya dan mulai berjalan ke arahku. Aku segera berlari menuju kelas sebelum anak laki-laki itu berjalan mendekatiku.
****
Pelajaran pagi itu sangat membosankan. Aku termenung mengingat hal yang kulakukan tadi pagi.
Sebuah gedung berwarna putih menjulang tinggi di depanku. Aku menatap amplop coklat ditanganku. Meyakinkan diri melangkah manaiki anak tangga satu per satu. Pagi itu, aku menggunakan topi dan masker menuju kantor Lembaga Kementerian Pendidikan Indonesia. Khawatir ada yang memergoki diriku yang sudah terkenal ini. Seorang anak konglomerat pemilik yayasan terbesar di kotaku.
Aku memilih memasukkan amplop itu ke dalam kotak yang telah disediakan sebagai anonim. Berkali-kali aku meyakinkan diri. Memasukkan dan mengeluarkan amplop itu dari kotak secara bergantian.
“Ya sudahlah, semoga ini pilihan terbaik,” bisikku pelan meninggalkan amplop di kotak merah itu.
Sebuah ketukan meja membuat lamunanku pecah. Aku menoleh.
“Kau dipanggil,” ucap anak laki-laki berkacamata di sampingku.
“Mino, kau bisa bantu Jia menulis di depan,” perintah Bu Hani yang tengah mengajarkan Sastra Bahasa Indonesia.
Aku menyerngitkan dahi dengan tatapan bingung. Mino sudah berada di depan papan tulis. Tidak ada pilihan mengelak. Aku pun maju. Sastra Bahasa Indonesia termasuk pelajaran sulit bagiku. Apalagi membuat sepotong syair.
Jangan pernah mengalah dengan ketidakadilan
Mino sudah kembali ke tempat duduk. Aku ngasal menyambung kalimat yang sudah ditulisnya di papan tulis.
Jangan pernah mengalah dengan ketidakadilan,
Aku tidak suka kalah, Aku tidak akan kalah.
Aku kembali ke tempat duduk. Menatap papan tulis. Sederhana. Tapi penuh akan ambisi.
Aku membatin. “Aku akan wujudkan itu.”
Aku berbalik menoleh ke samping. Mengetuk meja tiga kali. “Boleh pinjam pulpen warna merah?” ucapku pelan pada Mino.
Mino menoleh tapi mengabaikan perkataanku. Ya sudah. Aku mengambil pulpen merah yang ada di mejanya. Tanpa melirik wajahnya yang tengah menatapku heran. Aku menulis namaku di sebuah kertas. Jianada Melody. Lalu meletakkannya di meja anak laki-laki itu.
Mino menatap dalam kearahku. Tampak jelas bola mata hitamnya menyimpan banyak pertanyaan terhadapku. Tapi entah kenapa, tidak ada interaksi sama sekali. Apakah ini juga termasuk tradisi tidak masuk akal yang ada di sekolah ini?
Aku melipatkan tangan di dada. Menatap balik matanya dengan tajam. Seakan aku menjawab pertanyaannya diam melalui tatapan mata yang sudah semakin dalam.
****
Mino Albert. Anak laki-laki yang biasa dipanggil Mino itu mengambil sebuah kacamata dari kotak koleksinya yang berjejer di dalam sebuah etalase, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kini ia berjalan ke dapur. Mengeluarkan nasi instan yang telah dipanaskan dari microwave. Mino merupakan putra bungsu dari seorang pengusaha real estate terkenal di kotaku. Namun ia sangat jarang berjumpa dengan keluarganya karena orang tuanya sibuk melakukan perjalanan bisnis. Saat ini Mino tinggal mandiri di sebuah apartemen yang diberikan oleh ayahnya. Meskipun ayahnya seorang businessman yang sukses, bukan berarti hidupnya aman dan damai. Ayahnya termasuk orang paling berpengaruh di kotaku dan musuh ayahnya berada dimana-mana. Secara diam-diam, ayahnya membuka sebuah akademi tersembunyi yang hanya melatih pemuda-pemuda ahli bela diri yang akan dijadikan pengawal pribadi. Hal ini tentu juga berlaku pada Mino. Ia selalu diikuti oleh sepuluh pengawal yang dikirim ayahnya. A
Pagi itu langit terlihat cerah. Seakan mengerti akan suasana hatiku. Tersenyum penuh arti. Namun, senyumku seketika hilang. Tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangan kananku dengan keras menuju gedung belakang sekolah. Aku mengerang kesakitan mencoba melepaskan cengkaraman itu. Usahaku sia-sia, karena dua orang gadis lainnya ikut mendorong tubuhku ke sebuah tembok yang sudah berlumut. Gadis lain berambut panjang yang berdiri sejajar di hadapanku melayangkan sebuah pukulan ke pipi kananku. Wajahku terhempas menghantam tembok di belakang. Aku bisa merasakan aliran darah di sudut bibirku. Terasa perih dan sungguh tidak enak. “Itu kau kan?” tangan lainnya menjambak rambutku hingga kepalaku mendongak ke atas. “Apa yang kau bicarakan? bicaralah yang jelas,” balasku berusaha melepaskan tangan yang masih menarik rambutku. Tangannya terlepas dari rambutku. Aku mengusap sudut bibirku. Merapikan rambutku yang berantakan. Membenarkan letak dasi yang sedik
Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali. Jianada Melody. Jianada Melody. Jianada Melody. Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah. Diharapkan segera menuju kantor direktur Diharapkan segera menuju kantor direktur Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru. Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han. Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membu
Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini. Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu. “Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar. Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang. Karena aku sama sepertimu. Huft! Aku menghembuskan nafas pelan. Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yan
“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo