Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan.
Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpajang di depan gedung Departemen Pendidikan lengkap dengan slogannya. Aku melihatnya ketika mengirimkan surat anonim. Aku tidak menyangka surat biasa yang kukirim akan ditangani sampai sejauh ini. Aku merasa lega karena setidaknya mereka tidak tutup mata dengan segala kejadian yang ada di sekolah ini.
Sepuluh menit kemudian, aku sampai di kelas. Aku melihat Mino sudah duduk di bangkunya dan sedang memainkan ponsel. Semenjak pertemuan kami di café, Mino lebih sering memakai lensa kontak karena aku sering mengolok-ngolok penampilannya yang tampak tidak cocok dengan kacamata. Kini potongan wajahnya terlihat jelas. Tatapan matanya terlihat lebih tajam dengan bola matanya yang hitam. Kuakui dia termasuk anak yang tampan di kelas kami. Tapi dia akan biasa saja jika dibandingkan dengan anak-anak dari kasta satu. Cerita anak kasta satu tiada habisnya, mulai dari penampilan, kecantikan, ketampanan, dan lain halnya.
Aku memilih tidak mencari tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Departemen Pendidikan di sekolah sepagi ini. Hanya berharap sesuatu yang besar benar-benar terjadi.
“Kau melihat orang-orang Departemen datang?” Mino membuka suara. Ia berhenti memainkan ponselnya. Menunjukkan percakapan di ruang obrolan sekolah yang sibuk membahas kedatangan orang penting ke sekolah.
Aku mengangguk, menggantungkan tas di samping meja. “Aku berpapasan di depan,” jawabku singkat.
“Apa mungkin ini karna surat yang kau kirim?” Mino kembali bertanya dengan menyipitkan matanya.
“Bisa jadi, tapi mereka tidak akan mengenaliku, karena suratnya anonim,” jawabku santai.
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Membuka ruang obrolan sekolah yang sudah mulai sepi. Hanya beberapa yang masih mempertanyakan alasan dan menebak-nebak alasan kedatangan orang-orang Departemen Pendidikan.
Ding Dong Deng.
Pertanda sesuatu akan keluar dari pengeras suara sekolah.
Aku dan Mino mengangkat kepala. Kami menunggu pengumuman yang akan di siarkan dari ruang penyiaran sekolah.
Salam hangat. Pagi yang cerah. Pembelajaran pertama akan diistirahatkan selama tiga puluh menit karena pertemuan singkat para guru. Silakan tetap berada di kelas masing-masing.
Aku menghembuskan nafas lega setelah menahan nafas selama beberapa detik. Kupikir namaku akan kembali menggema. Tapi untunglah itu bukan namaku.
Baru saja aku merasa lega, tanpa kusadari Sekretaris Lin sudah berada di kelasku. Perlahan ia berjalan menghampiriku.
Aku mengangkat kepala. Begitu pula Mino. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku.
“Jia dan Mino. Ada yang harus kalian temui, silakan ikuti saya,” jelas Sekretaris Lin. Ia berbalik badan memimpin jalan kami.
Aku menoleh menghadap Mino. Ia mengangkat bahu lalu bangkit mengikuti Sekretaris Lin.
Kami berjalan di belakang Sekretaris. Sesekali pandangan kami bertemu. Tidak bersuara. Tatapan kami saling menjawab satu sama lain.
Aku sudah cukup terkejut ketika langkah kami tidak menuju ruangan direktur, tapi sekarang aku benar-benar terkejut. Kami diarahkan menuju auditorium sekolah. Di tengah-tengah ruangan besar yang disangga oleh pilar-pilar besar itu sudah berjejer lima buah meja. Masing-masing kursi telah diisi oleh orang-orang Departemen Pendidikan. Bapak Teddy Marta menduduki kursi tengah. Di sisi paling ujung aku melihat ayahku sudah duduk di sana.
Tidak sampai disitu, hal lain membuat kakiku berhenti melangkah. Tanganku meraih pergelangan tangan Mino, ikut menghentikan langkahnya. Aku melihat seorang gadis yang sangat kukenali duduk di sana. Arin. Ia duduk santai sambil memainkan ujung rambutnya yang dicat pirang. Dan seorang gadis lain duduk di sampingnya. Namun gadis di samping Arin menunjukkan ekspresi yang berbanding terbalik dengan Arin. Wajahnya tampak murung, gelisah dan khawatir.
Kami kembali melangkah. Duduk di kursi kosong yang sudah disediakan. Ada dua hal yang kupikirkan. Tentang video di komunitas online atau kejadian jual beli berkas soal ujian.
Kelima pria paruh baya itu berbincang sebentar, lalu salah satu diantaranya mengaktifkan mikrofon meja.
“Jianada, Mino, Arin, Geofani, kalian tau kenapa dikumpulkan disini?” salah seorang bapak itu bertanya.
Kami diam tidak menjawab. Aku memperhatikan Geofani yang duduk di sampingku sedang memainkan kuku tangannya. Ia sangat gelisah.
Bapak lainnya melanjutkan. “Ini tidak akan mempengaruhi apapun, hanya wawancara singkat, jangan terlalu tegang, kita santai saja.”
Aku ikut tersenyum simpul membalas Pak Teddy yang tersenyum padaku.
“Sebelumnya pihak kami menerima sebuah laporan mengenai kejadian yang ada di sekolah ini. Sejujurnya kami menganggap hal itu sangat tidak relevan dengan dunia pendidikan, Dan yang paling penting adalah kondisi mental para murid akan sangat terpengaruh karena adanya persaingan yang tidak sehat. Apakah kalian tahu kalau di sekolah ini menggunakan sistem kasta?” tanya Pak Teddy.
Aku mengangkat kepala. Melirik ke samping kiri dan kanan.
Geofani menjawab pertama. “Tidak pak,” jawabnya sambil menggeleng. Suaranya pelan dan bergetar.
“Tidak pak, ini pertama kalinya kami mendengar lelucon seperti itu,” Arin menjawab dengan lantang sambil melipat tangan di dada. Ia menjawab tanpa ragu.
Pak Teddy beralih pada Mino. Mino menggeleng. Jawabannya sudah lebih dari cukup. Kini Pak Teddy menatapku. Menunggu jawabanku.
Aku ikut menggeleng. “Tidak pak, karena menurut saya sangat tidak mungkin sekolah sebagus ini masih menggunakan sistem kuno yang sangat tidak masuk akal itu,” jawabku sambil menatap ke arah ayahku.
Ayahku tersenyum. Jawabanku sesuai dengan harapannya. Ia tampak sudah tahu jawaban apa yang akan kuberikan pada pak Teddy.
Selama hampir dua puluh menit, kami menjawab segala pertanyaan yang diajukan. Pak Teddy bangkit dari kursinya, diikuti oleh pria paruh baya lainnya, termasuk ayahku. “Baiklah, kami sudah menerima jawaban yang cukup. Terima kasih atas kesediaan kalian, silakan kembali ke kelas.”
Pak Teddy mengulurkan tangannya. Tapi tidak ada satupun dari kami yang menerima uluran tangannya. Kami langsung berbalik meninggalkan ruangan. Aku sekilas dapat melihat ekspresi wajahnya yang masam karena penolakan dari kami dan menarik kembali tangannya. Sejujurnya aku tidak menyangka sesi ini sangat mudah dan singkat. Bahkan kami hanya ditanyai dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sudah diketahui semua orang.
Mino menyikut sikuku ketika kami sudah jauh dari auditorium. Kini kami tengah berjalan di lorong menuju kelas. Hanya kami berdua. Arin dan Geofani mengambil lorong lain karena kelas kami berbeda satu sama lain.
“Kenapa kau mengabaikan uluran tangan Pak Teddy?” tanyaku.
“Entahlah. Aku tidak suka bersentuhan dengan orang lain, kau?” balasnya.
“Aku melihat ekspresi ayahku, aku tidak mau menunjukkan kalau aku kalah darinya, setidaknaya untuk saat ini,” jelasku tertunduk.
Mino mengangguk-ngangguk membenarkan ucapanku. Meskipun kami sudah merencanakan ini sebelumnya, tapi aku masih berada di dalam sumur yang tertutup rapat, sangat sulit mencapai bibir sumur untuk melihat sinar matahari di atas sana.
Sedari awal kami sudah berencana unutk menyangkal semuanya. Lima menit sebelum memasuki ruangan auditorium, kami berjalan pelan sehingga jarak kami dengan Sekretaris Lin sedikit jauh.
“Apapun yang terjadi di dalam sana, apapun kalimatnya, apapun pertanyaannya, kau harus menyangkalnya sebisa mungkin.”
Itulah yang dikatakan Mino ketika mendekatkan kepalanya dengan telingaku lalu berbisik padaku. Aku menuruti perintah Mino karena aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat. Usaha kami akan sia-sia jika aku mengakui semuanya.
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.
Pagi, lima belas Juli itu, hari ujian pertama dimulai. Guru yang mengawas ujian hari itu adalah Bu Hani yang kini tengah membagikan lembar soal dan ujian satu persatu. Aku melihat lembar soal yang ada di hadapanku. Aku sudah hapal dengan halaman pertamanya, lalu membalik lembar kedua. Aku melirik Mino sekilas yang terpaku melihat soal ujiannya. Sepertinya ia bersenang-senang karena kami sudah mendapatkan bocoran soal sebelumnya. Lebih tepatnya mencuri soal ujian. Mino balik membalas lirikanku. Sesekali memperhatikan Bu Hani yang mengitari kelas. Takut kami ketahuan dan berujung di keluarkan dari kelas. Otakku memang tidak pintar, tapi aku bisa mengingat setiap jawaban dari soal yang kini menjadi beban bagi anak-anak lain-lain. Setidaknya aku harus tahu diri. Aku melemparkan secarik kertas ke paha Mino. Bukan kinci jawaban, hanya memanggilnya agar menoleh ke arahku. Mulut berkomat-kamit menyuruhnya untuk tidak menjawab salah pada beberapa soal. K
Aku tidak berselera melahap makan siang yang ada di nampanku. Tidak ada sesuatu yang bisa di makan. Nasi putih dan sedikit warna hijau sayuran. Aku dan Mino mendapatkan makanan paling terakhir. Sebenarnya aku bisa mendapatkan lebih banyak, tapi aku memilih untuk antri paling belakang bersama Mino karena ia peringkat akhir. Ya. Seperti itulah tradisi gila yang ada di sekolahku. “Bukankah kau bilang akan bawa bekal?” tanyaku sambil mengaduk-ngaduk nasi dan kuah sayur. Teringat gumaman Mino kemarin. Aku mengangkat pandanganku dari nampan karena Mino tidak bersuara. Ia termenung dengan sendok yang masih terjepit di antara dua jarinya. “Hei.” Aku memukul nampannya tiga kali dengan sendok hingga ia tersadar. Tidak biasanya Mino bermenung. Ini sudah kedua kalinya hari itu. Bahkan hari itu belum sepenuhnya berakhir. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya. “Kau kenapa? Apa karena Arin tadi pagi? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?” tanyaku bertubi-
Keesokan harinya, di hari Minggu. Mino kembali bertemu dengan Arin tanpa sepengetahuanku. Mereka bertemu di sebuah café yang pernah kudatangi dengan Mino. “Jadi kau rupanya,” ucap Arin sambil mengibaskan sebagian rambutnya ke belakang. “Aku bertanya-tanya siapa yang membeli soal itu dengan terburu-buru dan bukan dari kalangan anak sekolah pula, ternyata kau,” lanjutnya terkekeh pelan seperti mengejek Mino. “Kenapa? Memangnya ada larangan aku tidak boleh melakukannya?” balas Mino tak mau kalah. Dia duduk sambil melipat tangan dan menyilangkan kaki. Wajahnya tak kalah sengit dibandingkan Arin. Arin masih menunjukkan senyum tipis yang memiliki arti lain di baliknya. “Tidak, aku hanya penasaran kenapa nilai kau jelek sek
Aku berjalan melewati lorong yang ramai dengan anak-anak yang tengah beristirahat. Langkahku bergerak dengan cepat mengabaikan semua orang yang sedang memperhatikan anak kasta tiga yang kini berada di gedung kasta satu. Terlebih lagi berada di lantai paling atas. Aku memasuki salah satu kelas bertanya pada anak laki-laki yang bergelut dekat pintu. “Kau lihat Arin?” tanyaku tegas. Rasanya mukaku sudah merah padam karena amarahku sudah mencapai ubun-ubun. Anak laki-laki itu memanyunkan mulutnya menunjuk Arin yang sedang memainkan ponsel di bangkunya. Aku menerobos masuk kelas dan menghampiri gadis yang sedang kucari itu. Ia tak menyadari kedatanganku karena sepasang earphone menggantung di kedua telinganya. Tanganku terangkat lalu mendarat di belakang kep