Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.
Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.
“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.
“Kemana?” tanyanya polos.
“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku.
“Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.
Pagi, lima belas Juli itu, hari ujian pertama dimulai. Guru yang mengawas ujian hari itu adalah Bu Hani yang kini tengah membagikan lembar soal dan ujian satu persatu. Aku melihat lembar soal yang ada di hadapanku. Aku sudah hapal dengan halaman pertamanya, lalu membalik lembar kedua. Aku melirik Mino sekilas yang terpaku melihat soal ujiannya. Sepertinya ia bersenang-senang karena kami sudah mendapatkan bocoran soal sebelumnya. Lebih tepatnya mencuri soal ujian. Mino balik membalas lirikanku. Sesekali memperhatikan Bu Hani yang mengitari kelas. Takut kami ketahuan dan berujung di keluarkan dari kelas. Otakku memang tidak pintar, tapi aku bisa mengingat setiap jawaban dari soal yang kini menjadi beban bagi anak-anak lain-lain. Setidaknya aku harus tahu diri. Aku melemparkan secarik kertas ke paha Mino. Bukan kinci jawaban, hanya memanggilnya agar menoleh ke arahku. Mulut berkomat-kamit menyuruhnya untuk tidak menjawab salah pada beberapa soal. K
Aku tidak berselera melahap makan siang yang ada di nampanku. Tidak ada sesuatu yang bisa di makan. Nasi putih dan sedikit warna hijau sayuran. Aku dan Mino mendapatkan makanan paling terakhir. Sebenarnya aku bisa mendapatkan lebih banyak, tapi aku memilih untuk antri paling belakang bersama Mino karena ia peringkat akhir. Ya. Seperti itulah tradisi gila yang ada di sekolahku. “Bukankah kau bilang akan bawa bekal?” tanyaku sambil mengaduk-ngaduk nasi dan kuah sayur. Teringat gumaman Mino kemarin. Aku mengangkat pandanganku dari nampan karena Mino tidak bersuara. Ia termenung dengan sendok yang masih terjepit di antara dua jarinya. “Hei.” Aku memukul nampannya tiga kali dengan sendok hingga ia tersadar. Tidak biasanya Mino bermenung. Ini sudah kedua kalinya hari itu. Bahkan hari itu belum sepenuhnya berakhir. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya. “Kau kenapa? Apa karena Arin tadi pagi? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?” tanyaku bertubi-
Keesokan harinya, di hari Minggu. Mino kembali bertemu dengan Arin tanpa sepengetahuanku. Mereka bertemu di sebuah café yang pernah kudatangi dengan Mino. “Jadi kau rupanya,” ucap Arin sambil mengibaskan sebagian rambutnya ke belakang. “Aku bertanya-tanya siapa yang membeli soal itu dengan terburu-buru dan bukan dari kalangan anak sekolah pula, ternyata kau,” lanjutnya terkekeh pelan seperti mengejek Mino. “Kenapa? Memangnya ada larangan aku tidak boleh melakukannya?” balas Mino tak mau kalah. Dia duduk sambil melipat tangan dan menyilangkan kaki. Wajahnya tak kalah sengit dibandingkan Arin. Arin masih menunjukkan senyum tipis yang memiliki arti lain di baliknya. “Tidak, aku hanya penasaran kenapa nilai kau jelek sek
Aku berjalan melewati lorong yang ramai dengan anak-anak yang tengah beristirahat. Langkahku bergerak dengan cepat mengabaikan semua orang yang sedang memperhatikan anak kasta tiga yang kini berada di gedung kasta satu. Terlebih lagi berada di lantai paling atas. Aku memasuki salah satu kelas bertanya pada anak laki-laki yang bergelut dekat pintu. “Kau lihat Arin?” tanyaku tegas. Rasanya mukaku sudah merah padam karena amarahku sudah mencapai ubun-ubun. Anak laki-laki itu memanyunkan mulutnya menunjuk Arin yang sedang memainkan ponsel di bangkunya. Aku menerobos masuk kelas dan menghampiri gadis yang sedang kucari itu. Ia tak menyadari kedatanganku karena sepasang earphone menggantung di kedua telinganya. Tanganku terangkat lalu mendarat di belakang kep
Kalian pernah mendengar ungkapan kacang lupa akan kulitnya? Ya. Tapi aku merasa jikalau ungkapan itu tidak cocok sama sekali dengan kejadian yang kualami. Dimanakah letak aku, sebagai seorang anak, yang melupakan perjuangan dan kasih sayang seorang ayah? Tak bisa kutemukan hingga hari ini. Hanya saja aku bersyukur karena terlahir dari keluarga yang berada sedari lahir. Orang bilang anak yang terlahir dengan sendok emas, meskipun aku tak pernah bangga dengan ungkapan itu semenjak menginjakkan kaki di sekolah ayahku. Mungkin kini orang-orang lebih banyak menyebutku anak tak tahu diri jika melihat apa yang kulakukan untuk ayahku. Drrt! Drrt! Ponselku bergetar di saku. Aku menopang kepala dengan lengan yang bertumpu di meja. Sebentar lagi jam olahraga akan dimulai, tetapi aku malas untuk berganti baju.  
Kata orang, seseorang tidak akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat jika dia tidak melalui tantangan besar yang terjadi di luar dugaannya. Tak akan pernah tumbuh jika tak menjatuhkan air mata karena lelahnya menjalani hidup. Kata orang, Tuhan memberikan porsi yang sama pada setiap umatnya, dimana yang membedakan hanyalah bagaimana cara mereka menerima dan menghadapinya. Itulah mengapa seorang pemimpin harus adil terhadap umatnya. Sebentar lagi usiaku sudah hampir menginjak enam belas tahun. Apakah ada anak gadis lain yang mendapatkan tantangan sebesar diriku? Kenapa aku merasa jikalau aku yang mempunyai beban paling berat di dunia ini? Sungguh menyedihkan. Untuk siapakah aku berjuang sekarang? Terkadang pikiran itu sering kali lewat di benakku. Berulang-ulang seperti terus memperingatkanku. Apakah dengan aku melakukan hal ini, diriku termasuk orang yang adil? Dan terkadang pula, aku merasa jijik pada diriku sen
Sudut bibirku melengkung ketika melihat Mino yang berjalan tak jauh di depanku. Aku mempercepat langkah kaki menghampirinya. Sepertinya Mino tidak menyadari kedatanganku karena aku berusaha tidak menimbulkan suara. Aku berencana untuk mengusilinya. Ini kesempatan bagus. Jarakku dengannya semakin tipis. Kini aku berada tepat di belakangnya, sebelah tanganku dengan cepat terangkat dan melingkarkannya di leher Mino lalu sedikit menariknya ke belakang. sedangkan tanganku satunya mengunci kepala Mino yang terjepit di antara kedua tanganku. “Kena kau,” kataku sambil menunjukkan senyum kemenangan yang tak terlihat olehnya. Sontak Mino langsung terbatuk karena merasa tercekik akibat ulahku.“Rasakan! Tidak akan kulepaskan.”Tangannya b