Sudut bibirku melengkung ketika melihat Mino yang berjalan tak jauh di depanku. Aku mempercepat langkah kaki menghampirinya. Sepertinya Mino tidak menyadari kedatanganku karena aku berusaha tidak menimbulkan suara. Aku berencana untuk mengusilinya. Ini kesempatan bagus.
Jarakku dengannya semakin tipis. Kini aku berada tepat di belakangnya, sebelah tanganku dengan cepat terangkat dan melingkarkannya di leher Mino lalu sedikit menariknya ke belakang. sedangkan tanganku satunya mengunci kepala Mino yang terjepit di antara kedua tanganku.
“Kena kau,” kataku sambil menunjukkan senyum kemenangan yang tak terlihat olehnya.
Sontak Mino langsung terbatuk karena merasa tercekik akibat ulahku.
“Rasakan! Tidak akan kulepaskan.”
Tangannya b
“Jia!” bisik Mino di telingaku dengan mencondongkan sedikit badannya ke arahku. Mataku tak lepas dari seorang anak perempuan yang duduk di depan sana. Posisiku saat ini sangat pas untuk mengawasinya dari jauh. Sepertinya dia menyadari jikalau aku tengah memperhatikannya. Dia terlihat sedikit canggung. Kali ini Mino menyikut sikuku, barulah aku tersadar. Entah apa yang kupikirkan waktu itu, tiba-tiba saja aku berdiri ketika kelas sangat sunyi karena memperhatikan Bu Hani yang tengah mengajar sastra Bahasa Indonesia. Bu Hani berhenti menjelaskan. Semua murid menoleh ke arahku mengikuti arah pandang Bu Hani. “Kau mau bertanya?” tanya Bu Hani. Dia meletakkan buku yang sedari tadi dipegangnya di atas meja mimbar. “Tidak bu, aku permisi ke kamar kecil sebentar,” alasa
Sekretaris Lin meletakkan secangkir teh di hadapanku. Di sinilah aku. Ruangan yang paling tidak ingin kudatangi. “Datanglah ke ruanganku. Akan kujelaskan semuanya, kalau itu yang kau mau.” Kalimat Mister Han menghentikan langkah kakiku. Perlahan kaki ini mulai bergerak mengikuti Mister Han yang sudah lebih dulu berjalan di depan. Diikuti Sekretaris Lin di belakang. Meskipun tidak mau, tapi hati kecil berkata harus. Ada secuil rasa ingin tahuku yang berhasil mengalahkan egoku. Lagi pula situasi tadi memang butuh penjelasan. Meskipun kecil, aku berharap dapat mendengar kata tidak dari mulut orang yang duduk berhadapan denganku ini. Ruangan itu tidak berubah. Masih seperti yang terakhir kali kulihat. Tapi satu yang paling menarik perhatianku adalah sebuah meja kerja tambahan di samping pintu masuk. &n
Tangan Mino berhenti. Dia meletakkan kedua tangannya di atas paha. “Apa sebaiknya kita berhenti sampai di sini saja?” ulangku. “Kau ada masalah? Sebenarnya kau tadi dari mana? Tiba-tiba punya pikiran seperti itu,” Aku menggeleng. Aku tidak bilang kalau aku bersama ayahku tadi. “Tidak, hanya saja…. tiba-tiba aku kepikiran….. Sudahlah. Aku akan cerita besok,” aku menoleh padanya. “Kau pulanglah! Sudah malam.” Mino menghela nafas. Dia tidak memaksaku untuk menceritakan kejadian yang terjadi hari ini. “Terima kasih,” kataku ketika Mino sudah berdiri.
Waktu istirahat masih tersisa dua puluh menit lagi. Mino melewatkan makan siang dan menyempatkan melihat kondisiku di ruang kesehatan. “Aku bilang roti isi kacang merah. Kau tuli atau bodoh, huh?”Mino mendengar suara bentakan seorang gadis dari kejauhan. Dia mengikuti dari mana suara itu berasal. Sebuah pemandangan yang sangat tidak enak dilihat. Dia melihat Friska dan juga empat gadis lainnya di sana. Ia tengah menyaksikan sebuah pertunjukan seorang gadis dengan gaya rambut dikepang sedang melempari Friska dengan roti isi coklat.Mino tidak melewatkan momen. Ia mengeluarkan ponsel lalu mengarahkan ponselnya ke arah mereka.Cekrek! Cekrek!Suara kamera Mino terdengar begitu keras hingga menghentikan gerak tangan gadis dengan rambut yang dikepang itu. Friska dan tiga gadis lainnya ikut menoleh ke arahnya.“Maaf, aku mengganggu ya?” katanya sambil kemba
“Tidak bisakah kau membukanya dengan pelan?” protesku karena seseorang yang sedang menyibak tirai dengan kasar hingga ring gantungannya menimbulkan bunyi yang sedikit melengking di ruangan yang sunyi itu.Aku sontak langsung terbangun dan duduk untuk melihat siapa yang datang.“Hei, kenapa kau di sini?” tanyaku pada Arin yang tengah berdiri mantap di depanku sambil melipat tangan di dada.“Enaknya jadi orang nomor satu di sekolah ini,” ujarnya.“Kenapa kau ke sini?” aku bertanya untuk kedua kalinya dengan mulut yang terkatup kesal.“Iseng. Kudengar kau sakit, makanya aku datang. Aku teman yang baik kan?” Ia menarik kursi lalu duduk di atasnya. “Untuk mengingatkan kalau kau berhutang padaku,” jelasnya.“Apa?”“Makanya jangan seenaknya menyuruhku begitu saja, sepertinya karma itu berlaku dengan cepat,” lanjut Arin.“Oo… ma
“Aku yakin dia meminta bantuan pada kita,” kataku penuh keyakinan. Mataku menatap tajam seorang gadis yang baru saja datang dan duduk di bangkunya, Friska Antony “Apa?” Mino semakin bingung dengan apa yang baru saja kukatakan. Jelas saja karena Friska tidak terlihat seperti anak yang di bully meskipun kenyataan berkata sebaliknya. Dia tidak selemah yang dibayangkan. “Kita bukan superhero, kenapa dia harus minta bantuan padamu,” gumam Mino pelan. Aku tidak mendengarnya dengan jelas. Apakah itu pertanyaan atau hanya rutukan yang membuatnya kesal. Aku mengalihkan pandangan dari Friska. Kembali fokus pada apa yang kukerjakan. Masih ada waktu bagiku untuk menyalin tugas ini sebelum bel pertama berbunyi.&nb
Ruang sepi seringkali membuat seseorang mempunyai imajinasi liar dan berpikiran buruk. Suasana sunyi tak jarang menjadi kesempatan bagi seseorang untuk berbuat hal-hal aneh yang mencekam. Untunglah aku tidak termasuk ke dalam salah satu yang kusebutkan di atas. Tidak ada terbersit sedikitpun rasa takut atau cemas yang biasa dirasakan gadis lain di luar sana ketika melewati lorong panjang yang masih sepi di jam yang terbilang masih pagi ini. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Ayam baru saja berkokok satu kali. Matahari bahkan belum muncul untuk melebur uapan embun yang masih memenuhi jalan menghalangi jarak pandang. Tadi malam Mino mengirimkanku sebuah pesan teks. Menyuruhku datang ke perpustakaan sepagi ini. Entahlah mengapa, tetapi aku tetap saja menurut padanya karena dia selalu punya alasan akan hal itu. Sesampaiku di depan pintu
“Hei!” teriakku. Elen berhenti tertawa. Ia melihatku dengan tatapan tidak senang. Mungkin dia berfikir siapa yang berani mengganggu kesenangannya saat itu. Begitu pula dengan tiga orang temannya dan Friska yang kini ikut menatap ke arahku. Langkahku mantap menghampiri mereka. Jarakku dengan Friska semakin tipis. Dua langkah. Satu langkah. Begitu sampai, tanganku dengan cepat merampas roti yang berada di tangan Friska lalu melemparkannya dengan keras pada wajah Elen. Roti itu menghantam pipi tembemnya dengan mata yang terpejam. Belum sempat ia membuka mata, kini kedua tanganku kembali mendorong kedua bahunya ke belakang hingga ia terhuyung-huyung ke belakang. Ketiga teman Elen dengan sigap segera menangkap dan membantu Elen berdiri tegak. Mereka hendak m
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si
“Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin