Sekretaris Lin meletakkan secangkir teh di hadapanku. Di sinilah aku. Ruangan yang paling tidak ingin kudatangi.
“Datanglah ke ruanganku. Akan kujelaskan semuanya, kalau itu yang kau mau.” Kalimat Mister Han menghentikan langkah kakiku. Perlahan kaki ini mulai bergerak mengikuti Mister Han yang sudah lebih dulu berjalan di depan. Diikuti Sekretaris Lin di belakang. Meskipun tidak mau, tapi hati kecil berkata harus. Ada secuil rasa ingin tahuku yang berhasil mengalahkan egoku. Lagi pula situasi tadi memang butuh penjelasan. Meskipun kecil, aku berharap dapat mendengar kata tidak dari mulut orang yang duduk berhadapan denganku ini.
Ruangan itu tidak berubah. Masih seperti yang terakhir kali kulihat. Tapi satu yang paling menarik perhatianku adalah sebuah meja kerja tambahan di samping pintu masuk.
&n
Komen di bawah ya, apakah mereka lanjut atau udahan, Enjoy Reading... Salam hangat
Tangan Mino berhenti. Dia meletakkan kedua tangannya di atas paha. “Apa sebaiknya kita berhenti sampai di sini saja?” ulangku. “Kau ada masalah? Sebenarnya kau tadi dari mana? Tiba-tiba punya pikiran seperti itu,” Aku menggeleng. Aku tidak bilang kalau aku bersama ayahku tadi. “Tidak, hanya saja…. tiba-tiba aku kepikiran….. Sudahlah. Aku akan cerita besok,” aku menoleh padanya. “Kau pulanglah! Sudah malam.” Mino menghela nafas. Dia tidak memaksaku untuk menceritakan kejadian yang terjadi hari ini. “Terima kasih,” kataku ketika Mino sudah berdiri.
Waktu istirahat masih tersisa dua puluh menit lagi. Mino melewatkan makan siang dan menyempatkan melihat kondisiku di ruang kesehatan. “Aku bilang roti isi kacang merah. Kau tuli atau bodoh, huh?”Mino mendengar suara bentakan seorang gadis dari kejauhan. Dia mengikuti dari mana suara itu berasal. Sebuah pemandangan yang sangat tidak enak dilihat. Dia melihat Friska dan juga empat gadis lainnya di sana. Ia tengah menyaksikan sebuah pertunjukan seorang gadis dengan gaya rambut dikepang sedang melempari Friska dengan roti isi coklat.Mino tidak melewatkan momen. Ia mengeluarkan ponsel lalu mengarahkan ponselnya ke arah mereka.Cekrek! Cekrek!Suara kamera Mino terdengar begitu keras hingga menghentikan gerak tangan gadis dengan rambut yang dikepang itu. Friska dan tiga gadis lainnya ikut menoleh ke arahnya.“Maaf, aku mengganggu ya?” katanya sambil kemba
“Tidak bisakah kau membukanya dengan pelan?” protesku karena seseorang yang sedang menyibak tirai dengan kasar hingga ring gantungannya menimbulkan bunyi yang sedikit melengking di ruangan yang sunyi itu.Aku sontak langsung terbangun dan duduk untuk melihat siapa yang datang.“Hei, kenapa kau di sini?” tanyaku pada Arin yang tengah berdiri mantap di depanku sambil melipat tangan di dada.“Enaknya jadi orang nomor satu di sekolah ini,” ujarnya.“Kenapa kau ke sini?” aku bertanya untuk kedua kalinya dengan mulut yang terkatup kesal.“Iseng. Kudengar kau sakit, makanya aku datang. Aku teman yang baik kan?” Ia menarik kursi lalu duduk di atasnya. “Untuk mengingatkan kalau kau berhutang padaku,” jelasnya.“Apa?”“Makanya jangan seenaknya menyuruhku begitu saja, sepertinya karma itu berlaku dengan cepat,” lanjut Arin.“Oo… ma
“Aku yakin dia meminta bantuan pada kita,” kataku penuh keyakinan. Mataku menatap tajam seorang gadis yang baru saja datang dan duduk di bangkunya, Friska Antony “Apa?” Mino semakin bingung dengan apa yang baru saja kukatakan. Jelas saja karena Friska tidak terlihat seperti anak yang di bully meskipun kenyataan berkata sebaliknya. Dia tidak selemah yang dibayangkan. “Kita bukan superhero, kenapa dia harus minta bantuan padamu,” gumam Mino pelan. Aku tidak mendengarnya dengan jelas. Apakah itu pertanyaan atau hanya rutukan yang membuatnya kesal. Aku mengalihkan pandangan dari Friska. Kembali fokus pada apa yang kukerjakan. Masih ada waktu bagiku untuk menyalin tugas ini sebelum bel pertama berbunyi.&nb
Ruang sepi seringkali membuat seseorang mempunyai imajinasi liar dan berpikiran buruk. Suasana sunyi tak jarang menjadi kesempatan bagi seseorang untuk berbuat hal-hal aneh yang mencekam. Untunglah aku tidak termasuk ke dalam salah satu yang kusebutkan di atas. Tidak ada terbersit sedikitpun rasa takut atau cemas yang biasa dirasakan gadis lain di luar sana ketika melewati lorong panjang yang masih sepi di jam yang terbilang masih pagi ini. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Ayam baru saja berkokok satu kali. Matahari bahkan belum muncul untuk melebur uapan embun yang masih memenuhi jalan menghalangi jarak pandang. Tadi malam Mino mengirimkanku sebuah pesan teks. Menyuruhku datang ke perpustakaan sepagi ini. Entahlah mengapa, tetapi aku tetap saja menurut padanya karena dia selalu punya alasan akan hal itu. Sesampaiku di depan pintu
“Hei!” teriakku. Elen berhenti tertawa. Ia melihatku dengan tatapan tidak senang. Mungkin dia berfikir siapa yang berani mengganggu kesenangannya saat itu. Begitu pula dengan tiga orang temannya dan Friska yang kini ikut menatap ke arahku. Langkahku mantap menghampiri mereka. Jarakku dengan Friska semakin tipis. Dua langkah. Satu langkah. Begitu sampai, tanganku dengan cepat merampas roti yang berada di tangan Friska lalu melemparkannya dengan keras pada wajah Elen. Roti itu menghantam pipi tembemnya dengan mata yang terpejam. Belum sempat ia membuka mata, kini kedua tanganku kembali mendorong kedua bahunya ke belakang hingga ia terhuyung-huyung ke belakang. Ketiga teman Elen dengan sigap segera menangkap dan membantu Elen berdiri tegak. Mereka hendak m
Sekretaris Lin berjalan dengan cepat menuju ruangan Mister Han dengan sebuah ipad di tangan. Dia mengetuk pintu tiga kali lalu memutar knop pintu. Tampak Mister Han tengah fokus pada layar komputer di hadapannya. “Aku sudah memberi tahu pihak humas untuk memblokir situs yang menerbitkan artikel tentang video itu, tetapi penyebaran video itu tak dapat dihentikan karena sudah di salin hingga ribuan,” jelas Sekretaris Lin yang terdengar panik. Tidak lama kemudian, telepon di meja berbunyi silih berganti. Begitu pula dengan ponsel pribadi Mister Han yang sudah bergetar sedari tadi. Mister Han masih duduk diam dengan tatapan yang masih fokus membaca salah satu artikel. Raut wajahnya masih tenang tak menunjukkan reaksi terkejut apalagi panik. Seseorang yang sudah bergelut dengan dunia bisnis pasti sudah kebal terhadap berbagai tantangan yang menghadang. Tapi baru kali ini media dan berita begitu tertarik dengan kehidupan pribadi Mister Han. Terutama tentang putri semata wa
Sunyi. Mencekam. Langit-langit dipenuhi oleh ketegangan. Aku serasa memasuki sebuah jurang dalam dan membutuhkan akal sehat untuk bisa keluar dari sana ketika memasuki ruangan. Di dalam sudah duduk Mister Han, Elen dan kedua orang tuanya, dan juga seseorang berpakaian rapi di samping mereka. Entahlah, mungkin saja dia pengacara yang bersiap untuk memberikanku pelajaran dari balik jeruji besi. Sekretaris Lin sudah duduk di samping Mister Han, sedangkan aku duduk di samping Sekretaris Lin. Posisiku saat ini duduk berhadapan dengan Ibu Elen. Kali ini perasaanku lebih tenang karena aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Emosiku juga lebih terkendali. Aku mencoba bersikap seperti tak terjadi apa-apa dan memasang raut wajah tak menyesal atas apa yang telah kulakukan. &l