“Tidak bisakah kau membukanya dengan pelan?” protesku karena seseorang yang sedang menyibak tirai dengan kasar hingga ring gantungannya menimbulkan bunyi yang sedikit melengking di ruangan yang sunyi itu.
Aku sontak langsung terbangun dan duduk untuk melihat siapa yang datang.
“Hei, kenapa kau di sini?” tanyaku pada Arin yang tengah berdiri mantap di depanku sambil melipat tangan di dada.
“Enaknya jadi orang nomor satu di sekolah ini,” ujarnya.
“Kenapa kau ke sini?” aku bertanya untuk kedua kalinya dengan mulut yang terkatup kesal.
“Iseng. Kudengar kau sakit, makanya aku datang. Aku teman yang baik kan?” Ia menarik kursi lalu duduk di atasnya. “Untuk mengingatkan kalau kau berhutang padaku,” jelasnya.
“Apa?”
“Makanya jangan seenaknya menyuruhku begitu saja, sepertinya karma itu berlaku dengan cepat,” lanjut Arin.
“Oo… ma
“Aku yakin dia meminta bantuan pada kita,” kataku penuh keyakinan. Mataku menatap tajam seorang gadis yang baru saja datang dan duduk di bangkunya, Friska Antony “Apa?” Mino semakin bingung dengan apa yang baru saja kukatakan. Jelas saja karena Friska tidak terlihat seperti anak yang di bully meskipun kenyataan berkata sebaliknya. Dia tidak selemah yang dibayangkan. “Kita bukan superhero, kenapa dia harus minta bantuan padamu,” gumam Mino pelan. Aku tidak mendengarnya dengan jelas. Apakah itu pertanyaan atau hanya rutukan yang membuatnya kesal. Aku mengalihkan pandangan dari Friska. Kembali fokus pada apa yang kukerjakan. Masih ada waktu bagiku untuk menyalin tugas ini sebelum bel pertama berbunyi.&nb
Ruang sepi seringkali membuat seseorang mempunyai imajinasi liar dan berpikiran buruk. Suasana sunyi tak jarang menjadi kesempatan bagi seseorang untuk berbuat hal-hal aneh yang mencekam. Untunglah aku tidak termasuk ke dalam salah satu yang kusebutkan di atas. Tidak ada terbersit sedikitpun rasa takut atau cemas yang biasa dirasakan gadis lain di luar sana ketika melewati lorong panjang yang masih sepi di jam yang terbilang masih pagi ini. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Ayam baru saja berkokok satu kali. Matahari bahkan belum muncul untuk melebur uapan embun yang masih memenuhi jalan menghalangi jarak pandang. Tadi malam Mino mengirimkanku sebuah pesan teks. Menyuruhku datang ke perpustakaan sepagi ini. Entahlah mengapa, tetapi aku tetap saja menurut padanya karena dia selalu punya alasan akan hal itu. Sesampaiku di depan pintu
“Hei!” teriakku. Elen berhenti tertawa. Ia melihatku dengan tatapan tidak senang. Mungkin dia berfikir siapa yang berani mengganggu kesenangannya saat itu. Begitu pula dengan tiga orang temannya dan Friska yang kini ikut menatap ke arahku. Langkahku mantap menghampiri mereka. Jarakku dengan Friska semakin tipis. Dua langkah. Satu langkah. Begitu sampai, tanganku dengan cepat merampas roti yang berada di tangan Friska lalu melemparkannya dengan keras pada wajah Elen. Roti itu menghantam pipi tembemnya dengan mata yang terpejam. Belum sempat ia membuka mata, kini kedua tanganku kembali mendorong kedua bahunya ke belakang hingga ia terhuyung-huyung ke belakang. Ketiga teman Elen dengan sigap segera menangkap dan membantu Elen berdiri tegak. Mereka hendak m
Sekretaris Lin berjalan dengan cepat menuju ruangan Mister Han dengan sebuah ipad di tangan. Dia mengetuk pintu tiga kali lalu memutar knop pintu. Tampak Mister Han tengah fokus pada layar komputer di hadapannya. “Aku sudah memberi tahu pihak humas untuk memblokir situs yang menerbitkan artikel tentang video itu, tetapi penyebaran video itu tak dapat dihentikan karena sudah di salin hingga ribuan,” jelas Sekretaris Lin yang terdengar panik. Tidak lama kemudian, telepon di meja berbunyi silih berganti. Begitu pula dengan ponsel pribadi Mister Han yang sudah bergetar sedari tadi. Mister Han masih duduk diam dengan tatapan yang masih fokus membaca salah satu artikel. Raut wajahnya masih tenang tak menunjukkan reaksi terkejut apalagi panik. Seseorang yang sudah bergelut dengan dunia bisnis pasti sudah kebal terhadap berbagai tantangan yang menghadang. Tapi baru kali ini media dan berita begitu tertarik dengan kehidupan pribadi Mister Han. Terutama tentang putri semata wa
Sunyi. Mencekam. Langit-langit dipenuhi oleh ketegangan. Aku serasa memasuki sebuah jurang dalam dan membutuhkan akal sehat untuk bisa keluar dari sana ketika memasuki ruangan. Di dalam sudah duduk Mister Han, Elen dan kedua orang tuanya, dan juga seseorang berpakaian rapi di samping mereka. Entahlah, mungkin saja dia pengacara yang bersiap untuk memberikanku pelajaran dari balik jeruji besi. Sekretaris Lin sudah duduk di samping Mister Han, sedangkan aku duduk di samping Sekretaris Lin. Posisiku saat ini duduk berhadapan dengan Ibu Elen. Kali ini perasaanku lebih tenang karena aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Emosiku juga lebih terkendali. Aku mencoba bersikap seperti tak terjadi apa-apa dan memasang raut wajah tak menyesal atas apa yang telah kulakukan. &l
“Apa kau menyesal karena telah membantuku selama ini?” Mino terdiam setelah mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba saja terkesan menyudutkannya. “Kenapa kau diam saja? Aku sedang bertanya. A.pa.kau.me.nye.sal?” Aku menekankan setiap kata yang kuucapkan untuk ketiga kalinya. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu? Aku tidak pernah mengatakan kalau aku menyesal,” “Jadi benar ya, hanya saja belum kau katakan, karena aku sudah lebih dulu mengatakannya,” “Jia, kau kenapa?” Mino menghela nafas karena aku selalu memelintir setiap alasan yang diberikannya.&n
Ini harinya. Hari ketika rapat komite sekolah dilaksanakan. Lima hari semenjak pertemuan dengan orang tua Elen, dan semenjak itu pula aku tidak menghadiri sekolah. Aku sudah bilang Sekretaris Lin, dan dia juga mengizinkanku untuk libur. Setiap waktu berharga bagiku. Hari libur tak kugunakan untuk tiduran, main apalagi liburan. Masih banyak yang harus kukerjakan. Salah satunya adalah dengan Arin. Seorang anak laki-laki yang sibuk memainkan ponselnya di bangku membuat langkahku terhenti ketika ingin memasuki kelas. Bisa-bisanya dia tak menghubungiku? Hatiku membatin. Bagaimana tidak? Mino bahkan tidak mengirim satupun pesan singkat. Berlaku hal yang sama padaku. Aku bahkan tak mau meminta maaf padanya. Huft! Sampai kapan aku dan Mino terjebak dalam situasi seperti ini. Dilema. Tidak ada yang mau mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu.
“Itu kau?” tanyaku tak sabar. Aku menatap Mino dengan tatapan menuduh. “Apanya?” Mino pura-pura tak mengerti meskipun sebenarnya kuyakin dia paham betul dengan yang kumaksud.“Kau masih mau pura-pura bodoh?” Aku masih menatap tajam padanya. Menanti Mino untuk membuka mulut.“Baiklah, kalau kau maunya seperti ini,” kataku sambil membalikkan badan karena Mino masih diam tak bersuara. Perlahan kugerakkan kakiku menjauh darinya.Mino berusaha mengejar dan menghadangku. “Aku tak punya pilihan lain,” Akhirnya Mino mengaku ketika sudah berada di depanku.“Sudah berapa kali kubilang, jangan libatkan dirimu,” ucapku tak mengerti lagi dengan ulah Mino.“Apa kau lupa dengan janji yang kau buat? Jangan membahayakan diri sendiri. Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Kau bisa dikeluarkan dari sekolah jika aku tak menyerahkan video itu pada Sekretaris Lin,” terang Min