Sekretaris Lin berjalan dengan cepat menuju ruangan Mister Han dengan sebuah ipad di tangan. Dia mengetuk pintu tiga kali lalu memutar knop pintu. Tampak Mister Han tengah fokus pada layar komputer di hadapannya.
“Aku sudah memberi tahu pihak humas untuk memblokir situs yang menerbitkan artikel tentang video itu, tetapi penyebaran video itu tak dapat dihentikan karena sudah di salin hingga ribuan,” jelas Sekretaris Lin yang terdengar panik. Tidak lama kemudian, telepon di meja berbunyi silih berganti. Begitu pula dengan ponsel pribadi Mister Han yang sudah bergetar sedari tadi.
Mister Han masih duduk diam dengan tatapan yang masih fokus membaca salah satu artikel. Raut wajahnya masih tenang tak menunjukkan reaksi terkejut apalagi panik. Seseorang yang sudah bergelut dengan dunia bisnis pasti sudah kebal terhadap berbagai tantangan yang menghadang. Tapi baru kali ini media dan berita begitu tertarik dengan kehidupan pribadi Mister Han. Terutama tentang putri semata wa
teman-teman, malam ini aku up satu bab yaa, tetap nantikan bab-bab selanjutnya yaa setiap hari senin dan jumat.
Sunyi. Mencekam. Langit-langit dipenuhi oleh ketegangan. Aku serasa memasuki sebuah jurang dalam dan membutuhkan akal sehat untuk bisa keluar dari sana ketika memasuki ruangan. Di dalam sudah duduk Mister Han, Elen dan kedua orang tuanya, dan juga seseorang berpakaian rapi di samping mereka. Entahlah, mungkin saja dia pengacara yang bersiap untuk memberikanku pelajaran dari balik jeruji besi. Sekretaris Lin sudah duduk di samping Mister Han, sedangkan aku duduk di samping Sekretaris Lin. Posisiku saat ini duduk berhadapan dengan Ibu Elen. Kali ini perasaanku lebih tenang karena aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Emosiku juga lebih terkendali. Aku mencoba bersikap seperti tak terjadi apa-apa dan memasang raut wajah tak menyesal atas apa yang telah kulakukan. &l
“Apa kau menyesal karena telah membantuku selama ini?” Mino terdiam setelah mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba saja terkesan menyudutkannya. “Kenapa kau diam saja? Aku sedang bertanya. A.pa.kau.me.nye.sal?” Aku menekankan setiap kata yang kuucapkan untuk ketiga kalinya. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu? Aku tidak pernah mengatakan kalau aku menyesal,” “Jadi benar ya, hanya saja belum kau katakan, karena aku sudah lebih dulu mengatakannya,” “Jia, kau kenapa?” Mino menghela nafas karena aku selalu memelintir setiap alasan yang diberikannya.&n
Ini harinya. Hari ketika rapat komite sekolah dilaksanakan. Lima hari semenjak pertemuan dengan orang tua Elen, dan semenjak itu pula aku tidak menghadiri sekolah. Aku sudah bilang Sekretaris Lin, dan dia juga mengizinkanku untuk libur. Setiap waktu berharga bagiku. Hari libur tak kugunakan untuk tiduran, main apalagi liburan. Masih banyak yang harus kukerjakan. Salah satunya adalah dengan Arin. Seorang anak laki-laki yang sibuk memainkan ponselnya di bangku membuat langkahku terhenti ketika ingin memasuki kelas. Bisa-bisanya dia tak menghubungiku? Hatiku membatin. Bagaimana tidak? Mino bahkan tidak mengirim satupun pesan singkat. Berlaku hal yang sama padaku. Aku bahkan tak mau meminta maaf padanya. Huft! Sampai kapan aku dan Mino terjebak dalam situasi seperti ini. Dilema. Tidak ada yang mau mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu.
“Itu kau?” tanyaku tak sabar. Aku menatap Mino dengan tatapan menuduh. “Apanya?” Mino pura-pura tak mengerti meskipun sebenarnya kuyakin dia paham betul dengan yang kumaksud.“Kau masih mau pura-pura bodoh?” Aku masih menatap tajam padanya. Menanti Mino untuk membuka mulut.“Baiklah, kalau kau maunya seperti ini,” kataku sambil membalikkan badan karena Mino masih diam tak bersuara. Perlahan kugerakkan kakiku menjauh darinya.Mino berusaha mengejar dan menghadangku. “Aku tak punya pilihan lain,” Akhirnya Mino mengaku ketika sudah berada di depanku.“Sudah berapa kali kubilang, jangan libatkan dirimu,” ucapku tak mengerti lagi dengan ulah Mino.“Apa kau lupa dengan janji yang kau buat? Jangan membahayakan diri sendiri. Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Kau bisa dikeluarkan dari sekolah jika aku tak menyerahkan video itu pada Sekretaris Lin,” terang Min
Kelas berjalan seperti biasa. Bu Hani menerangkan pelajaran sastra di depan kelas. Hari ini Bu Hani bercerita sebuah cerita klasik, penulis muda terkenal di masa lampau. Dongeng yang pas sebagai pengantar tidur siang. Mataku sekarang hanya terbuka setengah. Cerita Bu Hani terdengar seperti lagu nina bobo di telingaku. Aku mengalihkan pandangan pada gadis yang duduk paling depan sebelah kanan searah dengan jam satu. Dia terlihat fokus menyimak cerita Bu Hani. Sepertinya dia suka dengan pelajaran sastra. Tidak sepertiku. Jangan tanya Mino apakah dia juga menyimak Bu Hani. Dia menyimak Bu Hani dengan serius. Mendengarkan Bu Hani dengan tulus. Dia benar-benar menyukai pelajaran sastra. Apa hanya aku yang merasa bosan dan mengantuk? Aku ingin segera bel berbunyi. Kriiing! Keinginanku terkabul. Bel langsung berbunyi. Bukannya pulang, aku mas
Aku berjalan dengan malas menuju gerbang utama. Entah sampai kapan aku harus melakukan ini. Padahal sudah kubersihkan setiap hari. Masih ada saja sepah permen karet yang berserakan. Aku merutuk dalam hati. “Dasar anak-anak bandel,” rutukku sendiri sambil memungut sepah permen karet yang sudah menempel di jalan. Tak jauh dari tempatku. Aku tak sengaja melihat tiga orang anak laki-laki sengaja membuang sepah permen karet ke jalan. Meludah pula. Apa mereka tak melihatku yang sibuk membersihkan ulah mereka? “Hei kalian!” seruku sambil melangkah mendekat. “Kau tidak lihat aku sibuk membersihkan sepah permen karet di sini? Buanglah di tempat yang di sediakan!” kataku seperti menggurui sembari menunjuk tiga buah tempat sampah tepat di samping mereka. “Kau buta atau bagaimana? Sejelas itu tempat sampah ada di samping. Masih saja buang sembaran
Aku mengeluarkan sebuah buku mini dari dalam tas. Sebenarnya bukan buku diari tapi memang agak mirip. Lampu kamarku sudah mati, hanya menyisakan lampu kecil di meja belajar. Aku melirik jam weker di atas meja. Hari sudah menunjukkan pukul dua malam. Tapi mataku sulit untuk diajak tidur. Ah, pikiran ini terlalu mengganggu, jadi aku bangun dan duduk di meja belajar. Aku menulis beberapa catatan di buku kecil itu, tentang apa saja yang harus aku lakukan untuk ke depannya, karena beberapa hari belakangan rencana yang sudah kususun selalu gagal. Aku menghela nafas kasar, lalu beralih menatap sinar bulan yang begitu terang di luar jendela. Ya, bulan itu tampak bulat sempurna. Aku seketika berjalan mendekati jendela dan menghembuskan nafas panjang. Apakah aku bisa melakukannya? Sungguh aku tak punya jawaban. Jika aku bertanya pada bintang malam ini, apakah akan ada jawaban? Tidak ada salahnya juga, aku menautkan kedua tangan di bawah dagu dan memejamkan mata. Berharap sebuah kaba
Gerak tanganku berhenti ketika melihat teman sebangkuku baru datang, “maaf, barang-barangku agak banyak ya,” kataku sambil memindahkan beberapa buku dari atas mejanya ke dalam laci. Entah apa yang terjadi padaku pagi itu, aku begitu bersemangat sebelum kelas sastra dengan Bu Hani dimulai. Setidaknya pikiranku harus positif dulu jika menginginkan hal-hal baik terjadi. Gadis dengan rambut sebahu itu hanya melemparkan senyum simpul. Aku masih belum tahu siapa namanya, padahal sudah duduk beberapa hari dengannya, “namamu siapa? Aku Jia,” kataku sambil mengulurkan tangan. “Hana,” balasnya singkat mengabaikan uluran tanganku. Aku kembali menarik tangan sambil terkekeh ringan yang terdengar agak dipaksakan agar memecah kecanggungan di antara kami. Aku memperhatikan Hana duduk dibangkunya, sekilas aku tak sengaja melihat pipinya yang tampak lebam. “Hei! Pipimu…” Dia segera menepis tanganku yang hendak menyentuh pipinya. “Jangan ikut campur,” dia mempering