Ini harinya. Hari ketika rapat komite sekolah dilaksanakan. Lima hari semenjak pertemuan dengan orang tua Elen, dan semenjak itu pula aku tidak menghadiri sekolah. Aku sudah bilang Sekretaris Lin, dan dia juga mengizinkanku untuk libur. Setiap waktu berharga bagiku. Hari libur tak kugunakan untuk tiduran, main apalagi liburan. Masih banyak yang harus kukerjakan. Salah satunya adalah dengan Arin.
Seorang anak laki-laki yang sibuk memainkan ponselnya di bangku membuat langkahku terhenti ketika ingin memasuki kelas. Bisa-bisanya dia tak menghubungiku? Hatiku membatin. Bagaimana tidak? Mino bahkan tidak mengirim satupun pesan singkat. Berlaku hal yang sama padaku. Aku bahkan tak mau meminta maaf padanya.
Huft! Sampai kapan aku dan Mino terjebak dalam situasi seperti ini. Dilema. Tidak ada yang mau mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu.
Maaf teman-teman, aku tidap up beberapa hari ini, Semoga bab baru ini membuat kalian semakin menantikan kisah Jia dan Mino yaa... Salam hangat..
“Itu kau?” tanyaku tak sabar. Aku menatap Mino dengan tatapan menuduh. “Apanya?” Mino pura-pura tak mengerti meskipun sebenarnya kuyakin dia paham betul dengan yang kumaksud.“Kau masih mau pura-pura bodoh?” Aku masih menatap tajam padanya. Menanti Mino untuk membuka mulut.“Baiklah, kalau kau maunya seperti ini,” kataku sambil membalikkan badan karena Mino masih diam tak bersuara. Perlahan kugerakkan kakiku menjauh darinya.Mino berusaha mengejar dan menghadangku. “Aku tak punya pilihan lain,” Akhirnya Mino mengaku ketika sudah berada di depanku.“Sudah berapa kali kubilang, jangan libatkan dirimu,” ucapku tak mengerti lagi dengan ulah Mino.“Apa kau lupa dengan janji yang kau buat? Jangan membahayakan diri sendiri. Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Kau bisa dikeluarkan dari sekolah jika aku tak menyerahkan video itu pada Sekretaris Lin,” terang Min
Kelas berjalan seperti biasa. Bu Hani menerangkan pelajaran sastra di depan kelas. Hari ini Bu Hani bercerita sebuah cerita klasik, penulis muda terkenal di masa lampau. Dongeng yang pas sebagai pengantar tidur siang. Mataku sekarang hanya terbuka setengah. Cerita Bu Hani terdengar seperti lagu nina bobo di telingaku. Aku mengalihkan pandangan pada gadis yang duduk paling depan sebelah kanan searah dengan jam satu. Dia terlihat fokus menyimak cerita Bu Hani. Sepertinya dia suka dengan pelajaran sastra. Tidak sepertiku. Jangan tanya Mino apakah dia juga menyimak Bu Hani. Dia menyimak Bu Hani dengan serius. Mendengarkan Bu Hani dengan tulus. Dia benar-benar menyukai pelajaran sastra. Apa hanya aku yang merasa bosan dan mengantuk? Aku ingin segera bel berbunyi. Kriiing! Keinginanku terkabul. Bel langsung berbunyi. Bukannya pulang, aku mas
Aku berjalan dengan malas menuju gerbang utama. Entah sampai kapan aku harus melakukan ini. Padahal sudah kubersihkan setiap hari. Masih ada saja sepah permen karet yang berserakan. Aku merutuk dalam hati. “Dasar anak-anak bandel,” rutukku sendiri sambil memungut sepah permen karet yang sudah menempel di jalan. Tak jauh dari tempatku. Aku tak sengaja melihat tiga orang anak laki-laki sengaja membuang sepah permen karet ke jalan. Meludah pula. Apa mereka tak melihatku yang sibuk membersihkan ulah mereka? “Hei kalian!” seruku sambil melangkah mendekat. “Kau tidak lihat aku sibuk membersihkan sepah permen karet di sini? Buanglah di tempat yang di sediakan!” kataku seperti menggurui sembari menunjuk tiga buah tempat sampah tepat di samping mereka. “Kau buta atau bagaimana? Sejelas itu tempat sampah ada di samping. Masih saja buang sembaran
Aku mengeluarkan sebuah buku mini dari dalam tas. Sebenarnya bukan buku diari tapi memang agak mirip. Lampu kamarku sudah mati, hanya menyisakan lampu kecil di meja belajar. Aku melirik jam weker di atas meja. Hari sudah menunjukkan pukul dua malam. Tapi mataku sulit untuk diajak tidur. Ah, pikiran ini terlalu mengganggu, jadi aku bangun dan duduk di meja belajar. Aku menulis beberapa catatan di buku kecil itu, tentang apa saja yang harus aku lakukan untuk ke depannya, karena beberapa hari belakangan rencana yang sudah kususun selalu gagal. Aku menghela nafas kasar, lalu beralih menatap sinar bulan yang begitu terang di luar jendela. Ya, bulan itu tampak bulat sempurna. Aku seketika berjalan mendekati jendela dan menghembuskan nafas panjang. Apakah aku bisa melakukannya? Sungguh aku tak punya jawaban. Jika aku bertanya pada bintang malam ini, apakah akan ada jawaban? Tidak ada salahnya juga, aku menautkan kedua tangan di bawah dagu dan memejamkan mata. Berharap sebuah kaba
Gerak tanganku berhenti ketika melihat teman sebangkuku baru datang, “maaf, barang-barangku agak banyak ya,” kataku sambil memindahkan beberapa buku dari atas mejanya ke dalam laci. Entah apa yang terjadi padaku pagi itu, aku begitu bersemangat sebelum kelas sastra dengan Bu Hani dimulai. Setidaknya pikiranku harus positif dulu jika menginginkan hal-hal baik terjadi. Gadis dengan rambut sebahu itu hanya melemparkan senyum simpul. Aku masih belum tahu siapa namanya, padahal sudah duduk beberapa hari dengannya, “namamu siapa? Aku Jia,” kataku sambil mengulurkan tangan. “Hana,” balasnya singkat mengabaikan uluran tanganku. Aku kembali menarik tangan sambil terkekeh ringan yang terdengar agak dipaksakan agar memecah kecanggungan di antara kami. Aku memperhatikan Hana duduk dibangkunya, sekilas aku tak sengaja melihat pipinya yang tampak lebam. “Hei! Pipimu…” Dia segera menepis tanganku yang hendak menyentuh pipinya. “Jangan ikut campur,” dia mempering
Aku berdiri tepat di depan gedung utama dengan pemandangan wajah Mister Han yang terpampang besar. Mungkin saja bisa terlihat dari jarak sepuluh meter saking besarnya. Ya. Hari itu Mister Han dinobatkan sebagai tokoh pendidikan teladan paling berpengaruh di kota. Itu merupakan penghargaan tinggi untuk para tokoh dan aktivis pendidikan. Meskipun aku tak merasa hal itu berharga. Pagi itu kami dikumpulkan di gedung auditorium sedari pagi. Tidak semua murid, hanya kami yang berasal dari kasta tiga yang disuruh berdiri di aula itu sebagai penonton dan memberi tepuk tangan jika nanti nama Mister Han disebut. Sementara anak kasta satu dan kasta dua mereka bisa menonton melalui tayangan langsung pada setiap TV yang di pasang di kelas mereka masing-masing. Ya. Fasilitas lainnya yang tidak di dapatkan anak kasta tiga. Jangan harap wajah kami akan di sorot karena sudah berdiri di sana secara langsung, kalian salah. Justru wajah anak-anak kasta satulah yang akan di tampilkan. Pemandan
Badanku terhempas ke lantai. Aku mengaduh kesakitan, tapi untunglah tidak ada yang terluka. Hanya saja bajuku agak kotor karena bergelimangan pasir. Aku berusaha bangkit lalu meraih ransel yang tak jauh dari posisiku kini. Sekarang hanya tinggal gedung kasta satu, setelahnya aku bisa tiba di atap gedung utama. Tapi yang jadi permasalahnnya sekarang adalah jarak dari pijakanku kini cukup jauh dengan gedung kasta satu di depan sana. Jika tak mau terluka atau terjatuh ke bawah, aku harus mengambil jalan untuk melewati auditorium di sampingnya. Bukannya lega, tapi atap auditorium tidak berbentuk rooftop seperti gedung lainnya, melainkan sepenuhnya atap berbentuk segitiga. Jika aku melompat dan mengambil pijakan yang salah, maka sudah dipastikan aku langsung terjun ke bawah dan…. Ya. Kalian pasti tahu apa akibatnya. Aku menghela nafas sambil menggaruk kening kemudian turun ke tengkuk. Aku menjadi bingung karena kedua jalan yang bisa dilalui sama-sama berbahaya. Aku masih tak pe
Hari itu, sekolah sudah heboh semenjak pagi. Beberapa murid yang melewati gerbang utama berhenti sejenak untuk melihat dan mengambil gambar foto Mister Han yang sudah hancur babak belur. Berawal dari seorang murid yang memposting di ruangan obrolah sekolah hingga membuat semua murid kembali keluar untuk menyaksikan foto Mister Han secara langsung. Bahkan ada yang memuji siapapun yang berani melakukan hal gila seperti itu. Karena jika ketahuan, konsekuensinya sangat besar hingga bisa dikeluarkan dari sekolah karena sudah menghina direktur yayasan. Tapi siapa sangka jika itu adalah aku, putrinya sendiri. Mino pun yang datang melalui gerbang utama berhenti untuk memandangi gambar itu. “Apa ini juga perbuatanmu?” Mino menoleh ketika mendengar suara Arin yang sudah berdiri di sampingnya. Tapi dia tak menjawab malah membuang muka. “Siapapun yang melakukannya, aku akui nyalinya besar juga. Sepertinya aku harus berteman dengannya,” lanjut Arin lagi sambil menatap seger
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si
“Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin