Kelas berjalan seperti biasa. Bu Hani menerangkan pelajaran sastra di depan kelas. Hari ini Bu Hani bercerita sebuah cerita klasik, penulis muda terkenal di masa lampau. Dongeng yang pas sebagai pengantar tidur siang. Mataku sekarang hanya terbuka setengah. Cerita Bu Hani terdengar seperti lagu nina bobo di telingaku. Aku mengalihkan pandangan pada gadis yang duduk paling depan sebelah kanan searah dengan jam satu. Dia terlihat fokus menyimak cerita Bu Hani. Sepertinya dia suka dengan pelajaran sastra. Tidak sepertiku. Jangan tanya Mino apakah dia juga menyimak Bu Hani. Dia menyimak Bu Hani dengan serius. Mendengarkan Bu Hani dengan tulus. Dia benar-benar menyukai pelajaran sastra. Apa hanya aku yang merasa bosan dan mengantuk? Aku ingin segera bel berbunyi.
Kriiing!
Keinginanku terkabul. Bel langsung berbunyi. Bukannya pulang, aku mas
Selamat membaca bab baru, jangan lupa tambahkan ke rak dan komentarnyaa. Salam hangat..
Aku berjalan dengan malas menuju gerbang utama. Entah sampai kapan aku harus melakukan ini. Padahal sudah kubersihkan setiap hari. Masih ada saja sepah permen karet yang berserakan. Aku merutuk dalam hati. “Dasar anak-anak bandel,” rutukku sendiri sambil memungut sepah permen karet yang sudah menempel di jalan. Tak jauh dari tempatku. Aku tak sengaja melihat tiga orang anak laki-laki sengaja membuang sepah permen karet ke jalan. Meludah pula. Apa mereka tak melihatku yang sibuk membersihkan ulah mereka? “Hei kalian!” seruku sambil melangkah mendekat. “Kau tidak lihat aku sibuk membersihkan sepah permen karet di sini? Buanglah di tempat yang di sediakan!” kataku seperti menggurui sembari menunjuk tiga buah tempat sampah tepat di samping mereka. “Kau buta atau bagaimana? Sejelas itu tempat sampah ada di samping. Masih saja buang sembaran
Aku mengeluarkan sebuah buku mini dari dalam tas. Sebenarnya bukan buku diari tapi memang agak mirip. Lampu kamarku sudah mati, hanya menyisakan lampu kecil di meja belajar. Aku melirik jam weker di atas meja. Hari sudah menunjukkan pukul dua malam. Tapi mataku sulit untuk diajak tidur. Ah, pikiran ini terlalu mengganggu, jadi aku bangun dan duduk di meja belajar. Aku menulis beberapa catatan di buku kecil itu, tentang apa saja yang harus aku lakukan untuk ke depannya, karena beberapa hari belakangan rencana yang sudah kususun selalu gagal. Aku menghela nafas kasar, lalu beralih menatap sinar bulan yang begitu terang di luar jendela. Ya, bulan itu tampak bulat sempurna. Aku seketika berjalan mendekati jendela dan menghembuskan nafas panjang. Apakah aku bisa melakukannya? Sungguh aku tak punya jawaban. Jika aku bertanya pada bintang malam ini, apakah akan ada jawaban? Tidak ada salahnya juga, aku menautkan kedua tangan di bawah dagu dan memejamkan mata. Berharap sebuah kaba
Gerak tanganku berhenti ketika melihat teman sebangkuku baru datang, “maaf, barang-barangku agak banyak ya,” kataku sambil memindahkan beberapa buku dari atas mejanya ke dalam laci. Entah apa yang terjadi padaku pagi itu, aku begitu bersemangat sebelum kelas sastra dengan Bu Hani dimulai. Setidaknya pikiranku harus positif dulu jika menginginkan hal-hal baik terjadi. Gadis dengan rambut sebahu itu hanya melemparkan senyum simpul. Aku masih belum tahu siapa namanya, padahal sudah duduk beberapa hari dengannya, “namamu siapa? Aku Jia,” kataku sambil mengulurkan tangan. “Hana,” balasnya singkat mengabaikan uluran tanganku. Aku kembali menarik tangan sambil terkekeh ringan yang terdengar agak dipaksakan agar memecah kecanggungan di antara kami. Aku memperhatikan Hana duduk dibangkunya, sekilas aku tak sengaja melihat pipinya yang tampak lebam. “Hei! Pipimu…” Dia segera menepis tanganku yang hendak menyentuh pipinya. “Jangan ikut campur,” dia mempering
Aku berdiri tepat di depan gedung utama dengan pemandangan wajah Mister Han yang terpampang besar. Mungkin saja bisa terlihat dari jarak sepuluh meter saking besarnya. Ya. Hari itu Mister Han dinobatkan sebagai tokoh pendidikan teladan paling berpengaruh di kota. Itu merupakan penghargaan tinggi untuk para tokoh dan aktivis pendidikan. Meskipun aku tak merasa hal itu berharga. Pagi itu kami dikumpulkan di gedung auditorium sedari pagi. Tidak semua murid, hanya kami yang berasal dari kasta tiga yang disuruh berdiri di aula itu sebagai penonton dan memberi tepuk tangan jika nanti nama Mister Han disebut. Sementara anak kasta satu dan kasta dua mereka bisa menonton melalui tayangan langsung pada setiap TV yang di pasang di kelas mereka masing-masing. Ya. Fasilitas lainnya yang tidak di dapatkan anak kasta tiga. Jangan harap wajah kami akan di sorot karena sudah berdiri di sana secara langsung, kalian salah. Justru wajah anak-anak kasta satulah yang akan di tampilkan. Pemandan
Badanku terhempas ke lantai. Aku mengaduh kesakitan, tapi untunglah tidak ada yang terluka. Hanya saja bajuku agak kotor karena bergelimangan pasir. Aku berusaha bangkit lalu meraih ransel yang tak jauh dari posisiku kini. Sekarang hanya tinggal gedung kasta satu, setelahnya aku bisa tiba di atap gedung utama. Tapi yang jadi permasalahnnya sekarang adalah jarak dari pijakanku kini cukup jauh dengan gedung kasta satu di depan sana. Jika tak mau terluka atau terjatuh ke bawah, aku harus mengambil jalan untuk melewati auditorium di sampingnya. Bukannya lega, tapi atap auditorium tidak berbentuk rooftop seperti gedung lainnya, melainkan sepenuhnya atap berbentuk segitiga. Jika aku melompat dan mengambil pijakan yang salah, maka sudah dipastikan aku langsung terjun ke bawah dan…. Ya. Kalian pasti tahu apa akibatnya. Aku menghela nafas sambil menggaruk kening kemudian turun ke tengkuk. Aku menjadi bingung karena kedua jalan yang bisa dilalui sama-sama berbahaya. Aku masih tak pe
Hari itu, sekolah sudah heboh semenjak pagi. Beberapa murid yang melewati gerbang utama berhenti sejenak untuk melihat dan mengambil gambar foto Mister Han yang sudah hancur babak belur. Berawal dari seorang murid yang memposting di ruangan obrolah sekolah hingga membuat semua murid kembali keluar untuk menyaksikan foto Mister Han secara langsung. Bahkan ada yang memuji siapapun yang berani melakukan hal gila seperti itu. Karena jika ketahuan, konsekuensinya sangat besar hingga bisa dikeluarkan dari sekolah karena sudah menghina direktur yayasan. Tapi siapa sangka jika itu adalah aku, putrinya sendiri. Mino pun yang datang melalui gerbang utama berhenti untuk memandangi gambar itu. “Apa ini juga perbuatanmu?” Mino menoleh ketika mendengar suara Arin yang sudah berdiri di sampingnya. Tapi dia tak menjawab malah membuang muka. “Siapapun yang melakukannya, aku akui nyalinya besar juga. Sepertinya aku harus berteman dengannya,” lanjut Arin lagi sambil menatap seger
Sepulang sekolah, Mino mengantarku pulang. Setelah itu dia pun langsung pulang. Sepanjang perjalanan dia sibuk mengulangi kalimat yang sama. Mengatakan kalau aku harus istrahat. Jangan sampai melakukan hal-hal bodoh lagi. Aku membuang ransel di sembarang tempat, lalu mendudukkan badan di kursi meja belajar. Aku membuka hoody dan memeriksa luka di lengan. Dokter Lita tadi mengingatkanku untuk mengganti perban jika ingin tidur. Baiklah. Sepertinya aku bisa melakukannya sendiri dengan sebelah tangan. Salah siapa juga tak hati-hati sampai mendapatkan luka jahit seperti ini. Setelah selesai, aku melirik ponsel yang terletak di sudut meja. Ternyata ponselku sudah berdiam di sana seharian. Sambil mendesah, tanganku meraih benda persegi itu. Wajahku di terpa cahaya layar yang begitu terang hingga membuatku menyerngitkan kening. Ponselku penuh dengan notifikasi dari ruang obrolan yang sibuk membicarakan spanduk Mister Han yang sudah diturunkan tadi pagi. Jari-jariku lih
Setelah mendapatkan perawatan dari Dokter Lita kemarin, bengkak di kakiku sudah berkurang. Selain aku memang rajin mengompresnya dengan air panas dan juga air dingin sesuai saran dari Dokter Lita. Mino sudah menunggu di depan rumah. “Aku berangkat dulu ya bi,” seruku dari luar rumah. Sepertinya Bi Ruri masih sibuk di dapur. Ya sudahlah. Aku menutup pintu dan segera masuk mobil. “Kakimu sudah baikan?” tanya Mino ketika pintu mobil kembali dirapatkan. “Hm. Sudah agak baikan,” balasku singkat. “Aku harus segera ke ruangan Mister Han begitu kita tiba,” kataku sambil menoleh pada Mino dan menatapnya dengan serius. “Sekarang apa lagi?” tanyanya tak mengerti. “tadi malam Mister Han datang ke rumah. Dia bilang kalau sudah menangkap pelakunya,” Sontak Mino langsung memutar badannya menghadap ke arahku, “siapa?” “Rey,” jawabku singkat. Kening Mino berkerut. Dia tak pernah mendengar nama itu sebelumnya, “Rey? Mem