Share

8. LEMBAR UJIAN

Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.

Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.

Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.

Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange yang dipadu dengan jins berwarna hitam. Pakaiannya tidak jauh berbeda dariku, hanya saja kaos yang kukenakan berwarna putih. Terlepas dari warna bajunya, aku menyadari ada sesuatu yang baru dari Mino. Kacamatanya tidak lagi berwarna orange.

Aku melambaikan tangan. Ia sudah melintasi jalan. Satu tangannya memegang ponsel, sedangkan satunya lagi berada di saku.

“Kenapa kau mengajakku keluar?” katanya begitu sampai di depanku.

“Kau tahu aku sudah menunggu berapa lama? dasar lamban” aku bersungut-sungut sambil menaiki anak tangga lalu mendorong pintu café. Mino mengikuti di belakang. 

Aku memesan Ice Chocholate Cream Latte. Menu yang paling banyak disukai. Katanya perpaduan kopi dan coklat sangatlah enak dan manis begitu meleleh di mulut. Sangat cocok dengan cuaca saat ini. Mino juga memesan menu yang sama denganku, tapi bedanya dia meminta untuk tidak menambahkan latte ke minumannya.

Kami duduk di sudut café. Di depan kaca besar yang menghadap ke jalanan yang ramai dengan pejalan kaki.

Mino melepaskan kacamata hitamnya. Itu pertama kalinya aku melihat dirinya tanpa kacamata dengan jarak sedekat ini.

“Wow, kau terlihat sedikit berbeda, tapi tetap saja masih tampan,” ucapku mengomentari penampilannya. Tanganku melambai-lambai di depan wajahnya.

“Kenapa kau mengajakku keluar?” Mino bertanya untuk yang kedua kalinya.

“Aku mau kau membantuku,” pintaku tanpa basa basi. Aku menghirup minumanku seteguk.

“Bantuan apa?”

“Sebenarnya aku lebih membutuhkan pengawalmu, Pandi,” jawabku sedikit ragu, menoleh ke samping.

Mino tersedak. “Buat apa?”

Aku memberikan tisu coklat padanya. “Aku mau Pandi menggantikan kita untuk bertransaksi dengan Arin. Aku butuh berkas itu sebagai bukti,” jelasku. “Jadi kau hanya perlu meyakinkan Pandi agar mau membantu kita, aku akan atur tanggalnya,” lanjutku.

“Sebenarnya apa yang akan kau lakukan?” tanya Mino sambil mengaduk-ngaduk minumannya.

“Aku akan jelaskan nanti setelah semuanya beres, tapi aku akan beritahu kau satu hal yang sudah kulakukan,” aku menghirup minumanku sebelum melanjutkan.

“Aku mengirimkan surat anonim kepada departemen pendidikan sebelumya, dan sepertinya sudah diterima..”

“Dan Mister Han mendatangi kelas kita dua hari lalu.” Mino melanjutkan seperti bisa membaca isi pikiranku.

Aku mengangguk. Aku mulai merasakan kalau kami memiliki semacam ikatan. Kau tahu bagaimana perasaan seperti terhubung dengan orang yang bukan keluarga? Seperti itulah perasaan yang kurasakan waktu itu. Aku merasa kami terhubung karena suatu hal yang sulit untuk dikatakan. Aku pikir kerja sama kami akan menunjukkan perasaanku secara perlahan.

****

Harinya telah tiba. Aku memainkan kerikil kecil yang berserakan dengan kakiku. Mino sibuk dengan ponselnya di sebelahku. Kami menunggu Pandi di belakang sekolah.

Sudah beberapa hari terakhir ini aku selalu bersama Mino, sesekali ia juga mengantarku pulang. Pak Andra dan Bi Ruri tidak pernah bertanya hubungan apa yang kumiliki dengan Mino. Orang yang ramah akan selalu memberikan kesan positif pada orang sekitarnya. Begitulah kesan yang diberikan Mino dan juga Pandi ketika mengantarku pulang, sehingga tidak ada yang bertanya apalagi curiga. Namun, kalimat itu tidak sepenuhnya benar. Tidak ada yang tahu isi hati seseorang sebenarnya. Bahkan diri sendiri pun tidak dapat mengenali siapa dirinya yang sebenarnya.

“Bagaimana kau meyakinkan Pandi?” tanyaku. Aku berhenti memainkan kerikil lalu mengangkat kepala menoleh ke samping.

“Hm. Mengancam?” jawabnya ragu. Tapi raut wajahnya menunjukkan sebaliknya.

Aku membelalak. “Hei,” teriakku.

Mino mengangkat bahu. Terkadang sulit bagiku untuk memahami Mino. Tingkahnya, nada bicara, perangai dan raut wajahnya sangatlah acak.

“Pandi memang yang terbaik,” lanjut Mino memuji Pandi.

Tidak lama, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan kami. Pandi keluar dari mobil. Ia tampak gagah dalam balutan setelan jas hitamnya.

            Pandi mengangguk ke arahku. Aku membalas sedikit menganggukkan kepala. Kami langsung masuk mobil. Pandi membawa kami ke tempat yang sudah diatur oleh Arin. Tapi kali ini berbeda, tempatnya bukanlah di gedung tua yang berada di belakang minimarket.

            “Sebenarnya aku tidak mau mengambil resiko, tapi aku akan lakukan untuk kalian, hanya sekali ini saja,” tegas Pandi di balik stir kemudi.

            “Apa kau benar-benar diancam Mino?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku begitu saja.

            Pandi terkekeh. “Mino bilang begitu? Tidak. Hanya saja dia sedikit menyedihkan ketika meminta padaku dua hari lalu.” Pandi kembali terkekeh. Barangkali ia teringat kembali perangai Mino dua hari lalu setelah kami bertemu di café.

            Kami sampai di sebuah gedung bertingkat berwarna coklat pastel. Pandi memarkirkan mobil di basement gedung. Suasana hangat dan tenang bisa kurasakan. Jendela besar dan tinggi memenuhi dinding gedung sehingga pencahayaan gedung sangat terang tanpa harus menyalakan lampu.

            Kami menunggu di salah satu meja. Mengambil sembarang buku untuk dibaca. Sebenarnya aku tidak tahu alasan Arin ingin menemui Pandi di sebuah perpustakaan yang ramai dan terpantau CCTV. Bukankah itu akan membahayakan dirinya sendiri?

            Malam setelah kami bertemu, Mino menghubungiku. Ia bilang Pandi bersedia. Entahlah cara apa yang dilakukannya. Karena Pandi bukan tipe pengawal yang mau merugikan apalagi membahayakan majikannya. Aku tahu persis sebenarnya Pandi sangat protektif terhadap Mino. Meskipun perangai Mino sangatlah tidak biasa dan tidak bisa ditebak, Pandi tidak bisa menolak permintaan Mino.

            Dan keesokan malamnya, aku kembali dibuat bertanya-tanya, Mino mengabariku melalui panggilan telfon. Ia bilang Arin akan memberikan berkasnya di perpustakaan. Hanya saja mereka tidak akan benar-benar bertemu. Arin selalu menolak bertemu secara langsung jika yang membeli berkasnya bukanlah anak sekolah. Aku menebak kalau gadis itu khawatir kalau ia bisa dikenali oleh pembeli yang bisa saja kenalan orang tuanya.

Aku mengamati pandi menyusuri salah satu rak buku di depanku. Kini ia belok kiri ke rak lainnya dan menghilang dari pandanganku.

Lima menit kemudian, Pandi kembali. Aku melihatnya berjalan di antara rak buku yang sama. Dia tidak menghampiri kami, tapi langsung menuju pintu keluar lalu ke basement.

Kamipun bangkit dan bergegas menyusul Pandi. Kini kami bertiga sudah berada di dalam mobil. Dia menyerahkan berkas beramplop coklat kepadaku.

“Cukup sekali ini saja, dan ini yang terakhir,” tegas Pandi mengingatkan sekali lagi.

“Aku tahu, aku mengerti. Kau sudah mengatakannya seratus kali,” cibir Mino membalas Pandi.

Aku bergegas membuka perekat amplop. Mengeluarkan tumpukan kertas di dalamnya. Benar saja. Itu adalah berkas ujian yang akan di laksanakan satu bulan lagi.

LEMBAR SOAL UJIAN JULI 2021.

            Tulisan itulah yang pertama kali kulihat dari halaman depan.

            Pandanganku beralih menatap Mino. Begitu pula dengannya. Kami bertatapan. Mata kami seakan melakukan percakapan. Tanganku dengan cepat memasukkan kembali berkas itu ke dalam amplop. Tapi tangan Mino sudah lebih dulu menahan tanganku.

            “Ayolah, kapan lagi nama kita bisa dipajang di halaman depan majalah sekolah,” goda Mino.

Aku menepis tangannya. Kembali merapikan aplop berkas itu lalu memasukkannya ke dalam tas.

            Sebenarnya aku bukan termasuk murid yang pintar. Tapi nilaiku juga tidak seburuk itu. Dan ini bisa menjadi kesempatanku. Aku memilih untuk tidak melakukan hal ini karena bisa menjadi senjata makan tuan bagiku nanti. Aku tidak mau melakukannya hanya untuk mendapatkan sebuah pujian. Apalah arti dari pujian? Dan seberapa lamakah pujian itu bisa bertahan?

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status