Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.
Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.
Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.
Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange yang dipadu dengan jins berwarna hitam. Pakaiannya tidak jauh berbeda dariku, hanya saja kaos yang kukenakan berwarna putih. Terlepas dari warna bajunya, aku menyadari ada sesuatu yang baru dari Mino. Kacamatanya tidak lagi berwarna orange.
Aku melambaikan tangan. Ia sudah melintasi jalan. Satu tangannya memegang ponsel, sedangkan satunya lagi berada di saku.
“Kenapa kau mengajakku keluar?” katanya begitu sampai di depanku.
“Kau tahu aku sudah menunggu berapa lama? dasar lamban” aku bersungut-sungut sambil menaiki anak tangga lalu mendorong pintu café. Mino mengikuti di belakang.
Aku memesan Ice Chocholate Cream Latte. Menu yang paling banyak disukai. Katanya perpaduan kopi dan coklat sangatlah enak dan manis begitu meleleh di mulut. Sangat cocok dengan cuaca saat ini. Mino juga memesan menu yang sama denganku, tapi bedanya dia meminta untuk tidak menambahkan latte ke minumannya.
Kami duduk di sudut café. Di depan kaca besar yang menghadap ke jalanan yang ramai dengan pejalan kaki.
Mino melepaskan kacamata hitamnya. Itu pertama kalinya aku melihat dirinya tanpa kacamata dengan jarak sedekat ini.
“Wow, kau terlihat sedikit berbeda, tapi tetap saja masih tampan,” ucapku mengomentari penampilannya. Tanganku melambai-lambai di depan wajahnya.
“Kenapa kau mengajakku keluar?” Mino bertanya untuk yang kedua kalinya.
“Aku mau kau membantuku,” pintaku tanpa basa basi. Aku menghirup minumanku seteguk.
“Bantuan apa?”
“Sebenarnya aku lebih membutuhkan pengawalmu, Pandi,” jawabku sedikit ragu, menoleh ke samping.
Mino tersedak. “Buat apa?”
Aku memberikan tisu coklat padanya. “Aku mau Pandi menggantikan kita untuk bertransaksi dengan Arin. Aku butuh berkas itu sebagai bukti,” jelasku. “Jadi kau hanya perlu meyakinkan Pandi agar mau membantu kita, aku akan atur tanggalnya,” lanjutku.
“Sebenarnya apa yang akan kau lakukan?” tanya Mino sambil mengaduk-ngaduk minumannya.
“Aku akan jelaskan nanti setelah semuanya beres, tapi aku akan beritahu kau satu hal yang sudah kulakukan,” aku menghirup minumanku sebelum melanjutkan.
“Aku mengirimkan surat anonim kepada departemen pendidikan sebelumya, dan sepertinya sudah diterima..”
“Dan Mister Han mendatangi kelas kita dua hari lalu.” Mino melanjutkan seperti bisa membaca isi pikiranku.
Aku mengangguk. Aku mulai merasakan kalau kami memiliki semacam ikatan. Kau tahu bagaimana perasaan seperti terhubung dengan orang yang bukan keluarga? Seperti itulah perasaan yang kurasakan waktu itu. Aku merasa kami terhubung karena suatu hal yang sulit untuk dikatakan. Aku pikir kerja sama kami akan menunjukkan perasaanku secara perlahan.
****
Harinya telah tiba. Aku memainkan kerikil kecil yang berserakan dengan kakiku. Mino sibuk dengan ponselnya di sebelahku. Kami menunggu Pandi di belakang sekolah.
Sudah beberapa hari terakhir ini aku selalu bersama Mino, sesekali ia juga mengantarku pulang. Pak Andra dan Bi Ruri tidak pernah bertanya hubungan apa yang kumiliki dengan Mino. Orang yang ramah akan selalu memberikan kesan positif pada orang sekitarnya. Begitulah kesan yang diberikan Mino dan juga Pandi ketika mengantarku pulang, sehingga tidak ada yang bertanya apalagi curiga. Namun, kalimat itu tidak sepenuhnya benar. Tidak ada yang tahu isi hati seseorang sebenarnya. Bahkan diri sendiri pun tidak dapat mengenali siapa dirinya yang sebenarnya.
“Bagaimana kau meyakinkan Pandi?” tanyaku. Aku berhenti memainkan kerikil lalu mengangkat kepala menoleh ke samping.
“Hm. Mengancam?” jawabnya ragu. Tapi raut wajahnya menunjukkan sebaliknya.
Aku membelalak. “Hei,” teriakku.
Mino mengangkat bahu. Terkadang sulit bagiku untuk memahami Mino. Tingkahnya, nada bicara, perangai dan raut wajahnya sangatlah acak.
“Pandi memang yang terbaik,” lanjut Mino memuji Pandi.
Tidak lama, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan kami. Pandi keluar dari mobil. Ia tampak gagah dalam balutan setelan jas hitamnya.
Pandi mengangguk ke arahku. Aku membalas sedikit menganggukkan kepala. Kami langsung masuk mobil. Pandi membawa kami ke tempat yang sudah diatur oleh Arin. Tapi kali ini berbeda, tempatnya bukanlah di gedung tua yang berada di belakang minimarket.
“Sebenarnya aku tidak mau mengambil resiko, tapi aku akan lakukan untuk kalian, hanya sekali ini saja,” tegas Pandi di balik stir kemudi.
“Apa kau benar-benar diancam Mino?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku begitu saja.
Pandi terkekeh. “Mino bilang begitu? Tidak. Hanya saja dia sedikit menyedihkan ketika meminta padaku dua hari lalu.” Pandi kembali terkekeh. Barangkali ia teringat kembali perangai Mino dua hari lalu setelah kami bertemu di café.
Kami sampai di sebuah gedung bertingkat berwarna coklat pastel. Pandi memarkirkan mobil di basement gedung. Suasana hangat dan tenang bisa kurasakan. Jendela besar dan tinggi memenuhi dinding gedung sehingga pencahayaan gedung sangat terang tanpa harus menyalakan lampu.
Kami menunggu di salah satu meja. Mengambil sembarang buku untuk dibaca. Sebenarnya aku tidak tahu alasan Arin ingin menemui Pandi di sebuah perpustakaan yang ramai dan terpantau CCTV. Bukankah itu akan membahayakan dirinya sendiri?
Malam setelah kami bertemu, Mino menghubungiku. Ia bilang Pandi bersedia. Entahlah cara apa yang dilakukannya. Karena Pandi bukan tipe pengawal yang mau merugikan apalagi membahayakan majikannya. Aku tahu persis sebenarnya Pandi sangat protektif terhadap Mino. Meskipun perangai Mino sangatlah tidak biasa dan tidak bisa ditebak, Pandi tidak bisa menolak permintaan Mino.
Dan keesokan malamnya, aku kembali dibuat bertanya-tanya, Mino mengabariku melalui panggilan telfon. Ia bilang Arin akan memberikan berkasnya di perpustakaan. Hanya saja mereka tidak akan benar-benar bertemu. Arin selalu menolak bertemu secara langsung jika yang membeli berkasnya bukanlah anak sekolah. Aku menebak kalau gadis itu khawatir kalau ia bisa dikenali oleh pembeli yang bisa saja kenalan orang tuanya.
Aku mengamati pandi menyusuri salah satu rak buku di depanku. Kini ia belok kiri ke rak lainnya dan menghilang dari pandanganku.
Lima menit kemudian, Pandi kembali. Aku melihatnya berjalan di antara rak buku yang sama. Dia tidak menghampiri kami, tapi langsung menuju pintu keluar lalu ke basement.
Kamipun bangkit dan bergegas menyusul Pandi. Kini kami bertiga sudah berada di dalam mobil. Dia menyerahkan berkas beramplop coklat kepadaku.
“Cukup sekali ini saja, dan ini yang terakhir,” tegas Pandi mengingatkan sekali lagi.
“Aku tahu, aku mengerti. Kau sudah mengatakannya seratus kali,” cibir Mino membalas Pandi.
Aku bergegas membuka perekat amplop. Mengeluarkan tumpukan kertas di dalamnya. Benar saja. Itu adalah berkas ujian yang akan di laksanakan satu bulan lagi.
LEMBAR SOAL UJIAN JULI 2021.
Tulisan itulah yang pertama kali kulihat dari halaman depan.
Pandanganku beralih menatap Mino. Begitu pula dengannya. Kami bertatapan. Mata kami seakan melakukan percakapan. Tanganku dengan cepat memasukkan kembali berkas itu ke dalam amplop. Tapi tangan Mino sudah lebih dulu menahan tanganku.
“Ayolah, kapan lagi nama kita bisa dipajang di halaman depan majalah sekolah,” goda Mino.
Aku menepis tangannya. Kembali merapikan aplop berkas itu lalu memasukkannya ke dalam tas.
Sebenarnya aku bukan termasuk murid yang pintar. Tapi nilaiku juga tidak seburuk itu. Dan ini bisa menjadi kesempatanku. Aku memilih untuk tidak melakukan hal ini karena bisa menjadi senjata makan tuan bagiku nanti. Aku tidak mau melakukannya hanya untuk mendapatkan sebuah pujian. Apalah arti dari pujian? Dan seberapa lamakah pujian itu bisa bertahan?
****
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.
Pagi, lima belas Juli itu, hari ujian pertama dimulai. Guru yang mengawas ujian hari itu adalah Bu Hani yang kini tengah membagikan lembar soal dan ujian satu persatu. Aku melihat lembar soal yang ada di hadapanku. Aku sudah hapal dengan halaman pertamanya, lalu membalik lembar kedua. Aku melirik Mino sekilas yang terpaku melihat soal ujiannya. Sepertinya ia bersenang-senang karena kami sudah mendapatkan bocoran soal sebelumnya. Lebih tepatnya mencuri soal ujian. Mino balik membalas lirikanku. Sesekali memperhatikan Bu Hani yang mengitari kelas. Takut kami ketahuan dan berujung di keluarkan dari kelas. Otakku memang tidak pintar, tapi aku bisa mengingat setiap jawaban dari soal yang kini menjadi beban bagi anak-anak lain-lain. Setidaknya aku harus tahu diri. Aku melemparkan secarik kertas ke paha Mino. Bukan kinci jawaban, hanya memanggilnya agar menoleh ke arahku. Mulut berkomat-kamit menyuruhnya untuk tidak menjawab salah pada beberapa soal. K
Aku tidak berselera melahap makan siang yang ada di nampanku. Tidak ada sesuatu yang bisa di makan. Nasi putih dan sedikit warna hijau sayuran. Aku dan Mino mendapatkan makanan paling terakhir. Sebenarnya aku bisa mendapatkan lebih banyak, tapi aku memilih untuk antri paling belakang bersama Mino karena ia peringkat akhir. Ya. Seperti itulah tradisi gila yang ada di sekolahku. “Bukankah kau bilang akan bawa bekal?” tanyaku sambil mengaduk-ngaduk nasi dan kuah sayur. Teringat gumaman Mino kemarin. Aku mengangkat pandanganku dari nampan karena Mino tidak bersuara. Ia termenung dengan sendok yang masih terjepit di antara dua jarinya. “Hei.” Aku memukul nampannya tiga kali dengan sendok hingga ia tersadar. Tidak biasanya Mino bermenung. Ini sudah kedua kalinya hari itu. Bahkan hari itu belum sepenuhnya berakhir. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya. “Kau kenapa? Apa karena Arin tadi pagi? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?” tanyaku bertubi-
Keesokan harinya, di hari Minggu. Mino kembali bertemu dengan Arin tanpa sepengetahuanku. Mereka bertemu di sebuah café yang pernah kudatangi dengan Mino. “Jadi kau rupanya,” ucap Arin sambil mengibaskan sebagian rambutnya ke belakang. “Aku bertanya-tanya siapa yang membeli soal itu dengan terburu-buru dan bukan dari kalangan anak sekolah pula, ternyata kau,” lanjutnya terkekeh pelan seperti mengejek Mino. “Kenapa? Memangnya ada larangan aku tidak boleh melakukannya?” balas Mino tak mau kalah. Dia duduk sambil melipat tangan dan menyilangkan kaki. Wajahnya tak kalah sengit dibandingkan Arin. Arin masih menunjukkan senyum tipis yang memiliki arti lain di baliknya. “Tidak, aku hanya penasaran kenapa nilai kau jelek sek