Aku mengambil langkah kembali menuju Mino yang masih duduk di bangku. Satu langkah kecil. Aku terkesiap ketika mendengar namaku disebut tiga kali.
Jianada Melody.
Jianada Melody.
Jianada Melody.
Namaku memenuhi langit-langit sekolah. Suara itu berasal dari ruang penyiaran sekolah.
Diharapkan segera menuju kantor direktur
Diharapkan segera menuju kantor direktur
Suara itu kembali melanjutkan perintah. Aku berbalik meninggalkan Mino yang sekarang sudah berdiri dari bangku. Aku berjalan menuju ruangan Direktur sekolah yang berada di gedung utama paling depan. Tidak terburu-buru.
Aku menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh ayahku. Tapi itu sudah pasti tentang kejadian tadi pagi. Karena cepat atau lambat, berita itu akan sampai ke telinga Mister Han.
Sesampaiku di depan pintu, Sekretaris Lin membukakan pintu. Mataku sekejap melirik sebuah lukisan yang terpajang di samping pintu. Cukup menyita perhatianku sebelum memasuki ruangan. Itu lukisan sederhana tidak beraturan yang menunjukkan seorang pria paruh baya merangkul seorang gadis kecil. Siapapun yang melihat akan tahu kalau lukisan itu digambar oleh anak tujuh tahun.
Huft. Aku mendesah pelan, berjalan masuk dan langsung duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Ini kali keduaku duduk di sofa ini.
“Ayah dengar kau terluka sayang,” ayahku sedikit memiringkan sedikit kepala mengintip sudut bibirku yang sudah membiru, “ayah khawatir luka itu akan meninggalkan bekas luka.” Mister Han bersuara membuka topik pembicaraan seraya berjalan dari kursi kerjanya. Ia kini telah duduk di hadapanku.
Aku reflek memegangi sudut bibirku yang terluka. Aku menilik ekspresi wajah Mister Han. Aku tidak bisa menyimpulkan gurat apa yang terukir di wajah sendu ayahku.
“Bukankah ayah seharusnya menanyakan apa yang terjadi padaku? Bagaimana aku bisa terluka?” tanyaku.
“Seakan-akan ayah sudah tahu hal ini,” bisikku bersungut-sungut.
Mister Han terkekeh ringan. “Pertengkaran kecil diantara sesama teman hal biasa bukan? Dan ayah yakin ini salah satu cara kau membangun kedekatan dengan teman-teman baru.”
Aku menyerngitkan dahi. Mencoba memahami kalimat yang baru saja keluar dari mulut orang di hadapanku ini. Mataku bertemu dengan matanya. Hening sejenak.
Aku tertawa paksa. Memecah sunyi. “Aku tidak yakin dengan berita apa yang ayah dengar. Tetapi ini sebenarnya bukanlah seperti yang ayah pikirkan. Luka ini kecil memang, tapi bisa membuat lubang yang sangat dalam. Dan ini tidak hanya terjadi padaku, apakah ayah tidak pernah melihat lebih jauh? atau memang ini kesengajaan yang kau buat?” Aku balik bertanya. Nada suaraku mulai bergetar.
Aku masih memperhatikan wajah ayahku. Dia tampak tidak menyangka aku akan mempertanyakan hal itu. Namun, ekspresinya masih sama. Tenang.
“Ayah mengabdikan seluruh hidup ayah untuk sekolah ini. Memberikan pelayanan terbaik untuk menciptakan anak-anak yang berhasil, yang bisa menjadi seseorang nantinya dan…”
“Ayah tahu bukan itu yang kumaksud,” tanpa kusadari aku berdiri sambil memotong kalimat ayahku.
“Duduklah. Ayah belum selesai berbicara.” perintah Mister Han.
Aku menurut. Aku enggan untuk membantah. Apa karena sebelumnya aku tidak pernah membangkang?
Kau tahu? Saat ini, di kepalaku bersarang rangkaian pertanyaan yang hendak keluar dari mulutku. Tapi aku hanya bisa mengulum bibir bawahku untuk menahannya dan menunduk.
“Dengarlah sayang. Kau masih butuh penyesuaian dengan segala hal disini. Karena kau bukan di Kanada. Segalanya berbeda. Ayah tau kau tidak terima dipindahkan ke kasta tiga, tapi bertahanlah sedikit lagi, ayah pasti akan memberikan yang terbaik untukmu.” Mister Han menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya merekah membentuk seulas senyuman di wajah sendunya.
Aku mengangkat kepala. Bernafas pelan. Pura-pura mengerti. “Baiklah. Bertahan dan menunggu bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.” Aku berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan tanpa berpamitan pada Mister Han.
“Aku akan menunjukkan apa arti bertahan yang sebenarnya.” Gumamku dalam hati. Saat itu juga aku bertekad. Aku akan buktikan kalau pilihan salahku ini berada di jalan yang tepat.
Sekretaris Lin yang sedari tadi berdiri disudut ruangan kembali membukakan pintu untukku. Aku tersenyum paksa menyapa Sekretaris Lin sebelum melangkah keluar.
“Awasi Jia. Laporkan segala hal yang dilakukannya. Aku tidak ingin hal buruk menimpa sekolah yang sudah susah payah kubangun,” perintah Mister Han pada Sekretaris Lin.
****
Aku menyusuri lorong gedung. Dadaku terasa panas. Perasaanku tak tentu. Marah. Kecewa. Kesal. Semuanya bertaut membentuk sebuah ambisi. Aku mengusap dada dan menarik nafas dalam-dalam. Memejamkan mata mencoba menenangkan perasaan. Waktu itu aku tidak tahu kalau Mino akan mengikutiku sampai ke ruangan Mister Han. Ia keluar dari balik salah satu pilar di ujung lorong.
“Kau tak apa?” tanyanya menghadang langkahku.
Aku tidak terkejut. Karena jarak kami tidak terlalu dekat.
“Ya. Tak seburuk yang kupikirkan.” Aku berbohong. Tak itu sebenarnya yang kurasakan. Aku mendahului langkah Mino.
Ia berjalan di sampingku. Menyamakan ritme langkahnya dengan langkahku.
“Kenapa kau tak bilang yang sebenarnya?” Mino kembali bertanya.
“Yang mana? Soal aku yang kena pukul? Atau soal aku yang memposting video anak-anak itu merokok?” Aku balik bertanya, “kau tak punya kata-kata lain? Kau selalu bertanya kenapa setiap bersamaku,” lanjutku sambil terkekeh pelan.
Mino menghentikan langkahnya. Tertinggal dua langkah di belakangku. Aku menoleh setelah menyadari Ia tak lagi berjalan di sampingku.
Mino menarik nafas panjang.
“Jia.” Ia memanggil namaku untuk kedua kalinya hari itu.
Aku tidak menjawab. Menunggunya melanjutkan.
“Maafkan aku.”
“Untuk apa?” tanyaku heran.
“Masalah video itu,” ia berhenti sejenak. Mencoba menebak reaksi apa yang akan kuberikan, “masalah video itu, sebenarnya aku yang melakukannya.” Mino kembali berhenti. Memperhatikanku yang masih belum menunjukkan ekspresi apapun.
“Aku mempostingnya di malam sebelum hari pertama kau masuk sekolah. Tapi aku tidak menyangka kalau hal itu akan mencuat sekarang setelah kau menjadi pusat perhatian semua orang,” Mino berusaha menjelaskan.
“Maafkan aku karena telah membuat kau terluka,” lanjutnya. “Aku tau ini tidak adil, tapi sekali lagi maafkan aku,” pintanya sambil menunggu jawaban dariku. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah.
Aku sama sekali tidak menyangka Mino adalah orang yang lembut seperti ini. Meskipun ia memakai kacamata berwarna terang, hal itu tidak menutupi aura misteri yang terpancar dari raut wajahnya. Tajam dan tegas.
“Kenapa?” kali ini aku yang bertanya kenapa. Berusaha menahan air mata yang sudah hendak keluar sejak tadi.
“Karena aku sama sepertimu,” jawabnya.
*******
Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini. Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu. “Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar. Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang. Karena aku sama sepertimu. Huft! Aku menghembuskan nafas pelan. Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yan
“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si
“Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin