Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini.
Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu.
“Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar.
Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang.
Karena aku sama sepertimu.
Huft! Aku menghembuskan nafas pelan.
Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yang tidak tepat menjadikannya jahat. Lalu aku meninggalkannya di belakang, tanpa meninggalkan kata-kata untuknya. Aku sama sekali tidak marah padanya. Hanya saja pikiranku terlalu kacau untuk membalas perkataannya.
Tapi aku sama sekali tidak mengerti dari perkataannya. Bagian mana dari diriku yang sama dengannya? Sekali lagi aku menghembuskan nafas. Kali ini lebih panjang.
“Nak Jia ada masalah di sekolah?” Pak Andra menyadarkanku.
“Apakah terlihat jelas pak?” aku membalas Pak Andra.
Pak Andra mengangguk, ia mengintip dari balik kaca kecil yang menggantung.
“Entahlah pak, suasana hatiku hari ini sangatlah buruk, Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya,” aku menyerngitkan hidung.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Gedung-gedung tinggi seakan berlarian dengan arah berlawanan dengan laju mobil.
“Setiap orang pasti memiliki kesulitannya masing-masing nak, mereka akan sampai pada masanya. Bisa jadi saja, nak Jia sedang berada pada masanya. Bapak tidak tau pasti apa hal yang tengah mengganjal hati dan pikiran nak Jia, tapi yakinlah, setiap orang pasti bisa melewati masa itu, nak Jia bisa anggap ini sebagai suatu proses menuju pendewasaan diri, maka semuanya pasti akan berlalu.” Pak Andra tersenyum tulus menyudahi nasehatnya.
Aku menoleh. Mengintip wajah Pak Andra melalui kaca mobil. Sebuah guratan terukir disudut bibirku mengikuti senyuman Pak Andra.
Mobil melaju membelah jalanan yang mulai dirayapi mobil dan motor.
*****
Aku memilih berangkat pagi-pagi sekali. Karena aku tidak mau berpapasan dengan Mino di gang sempit yang biasa kami lewati. Aku masih belum tahu apa maksud dari perkataannya kemarin.
Tapi pilihanku sangat tidak membantu. Seperti seorang peramal. Dia sudah duduk di bangku dengan tangannya yang memainkan ponsel seakan menunggu kedatanganku Aku melihatnya dari pintu. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku datang sepagi ini?
Aku berjalan menghampirinya. Mino menurunkan ponsel di tangannya sembari menoleh ke arahku. Aku mengabaikannya lalu duduk di bangku.
“Waaaa. Kau datang pagi sekali rupanya,” ungkapnya mengejek.
Aku melirik sinis ke arahnya. Tapi itu tidak bertahan lama. Aku sudah tidak tahan.
“Seka…”
“Tenta…”
Kami berhenti.
“Aku duluan,” aku menyela lebih dulu.
Mino memanyunkan mulutnya. Mempersilahkan. Ia memperbaiki posisi, menyandarkan badannya ke sandaran kursi.
“Kemarin, apa maksudnya kalau kau sama denganku? Bagian mananya?” Aku bertanya ikut menyandarkan badan.
Kelas masih dalam keadaan sepi. Hanya ada kami berdua dan satu teman kelas yang baru saja datang. Posisinya cukup jauh dari kami karena bangkunya di baris depan. Aku ragu dia bisa mendengar percakapan kami.
“Sekarang apa yang akan kau lakukan?” Mino balik bertanya.
“Apanya?”
“Kau tahu surat perjanjian gila yang dibuat oleh ayahmu? Lebih tepatnya surat pernyataan.”
Aku pernah mendengar tentang surat itu sebelumnya. Aku hanya menyangka itu surat pernyataan tentang peraturan sekolah biasa. Ternyata aku salah. Aku merubah posisi duduk menghadap ke arahnya. Begitu pula dengannya. Kini kami saling berhadapan.
“Aku lupa. Kau pasti tidak menandatanganinya,” ia berbicara sambil memicingkan sebelah matanya dan memainkan jari telunjuknya ke arahku.
Mino kembali bersandar. “Banyak sekali hal yang tak kau ketahui dari sekolah ini.”
“Memang benar aku tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini. Makanya beri tahu aku. Bukankah kau datang sepagi ini untuk memberi tahuku?” aku sembarang menebak.
Kelas sudah mulai ramai, satu persatu anak kelas kami mulai berdatangan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Sebentar lagi bel tanda pelajaran pertama dimulai akan berbunyi.
“Kau pikir anak-anak di kasta tiga menerima saja semua ini?” Mino menopang kepalanya dimeja dengan kedua tangannya. Telapak tangannya menutupi mulut. Aku reflek mengikuti gayanya.
Aku tidak banyak berbicara. Fokus mendengarkan semua perkataan Mino, karena semua perkataan dan pertanyaannya sangatlah acak.
“Tidak semua anak-anak disini diam, duduk manis mendengarkan guru di kelas. Mematuhi semua yang ditetapkan. Tapi mungkin saja itu menjadi alasan mereka duduk di kelas ini,” lanjutnya.
Pagi itu kami menghabiskan waktu berbincang satu sama lain. Lebih tepatnya aku yang hanya mendengarkan Mino bercerita panjang lebar tentang apa saja yang telah terjadi selama empat bulan sebelum aku masuk sekolah ini.
****
Aku mengantri di barisan paling belakang. Seperti biasa. Anak-anak sangat suka dengan keberadaanku. Bahkan aku bisa mendengar dengan samar beberapa dari mereka membicarakanku.
“Lihatlah pakaiannya.”
“Dasar tidak tahu malu.”
Sindir gadis yang berdiri beberapa langkah di belakangku.
“Sampai kapan kita harus antri sesuai kasta untuk mendapatkan makan siang. Sia-sia aku membayar biaya sekolah yang mahal.”
Suara Mino mengejutkanku dari belakang. Dia sengaja mendekatkan kepalanya dengan telingaku agar aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Aku berbalik sambil memegangi telinga. Mino menunjuk barisan di depanku dengan mulut. Setelah berdiri selama dua puluh menit, akhirnya giliran kasta tiga sudah tiba. Aku dan Mino sudah duduk di bangku. Piring kami tidak sepenuh anak-anak di kasta satu yang penuh akan nasi dan lauk. Piring kami seperti dipenuhi remah-remah nasi dan potongan-potongan kecil lauk yang tersisa. Setidaknya teman-teman kasta tiga lainnya tidak sama seperti kami, karena mereka bukan di antrian paling terakhir.
“Sepulang sekolah kau kemana?” Mino membuka percakapan.
Hari itu seperti harinya Mino. Dia berbicara panjang lebar seharian penuh. Meskipun ekspresi wajahnya datar dan gurat wajahnya tajam. Mungkin anak-anak lain tidak akan percaya kalau Mino orang yang seramah dan sehangat ini.
“Pulang. Banyak yang harus kukerjakan,” jawabku singkat. Memasukkan sendok terakhir ke dalam mulut. Tidak sampai sepuluh sendok makanan di piringku, tapi piringku sudah bersih tak bersisa.
“Ikutlah denganku, kau harus tahu sesuatu,” ajak Mino. Dia juga sudah menghabiskan isi piringnya. Meneguk air minum dari botol air minum kemasan.
Aku menyerngitkan kening. “Kemana?”
Mino tidak menjawab, dia membalas dengan menunjukkan senyum piciknya. Mino sangat pandai menunjukkan ekspresi angkuh dan picik. Ditambah dengan potongan wajahnya yang tajam dan tegas.
****
“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.
Pagi, lima belas Juli itu, hari ujian pertama dimulai. Guru yang mengawas ujian hari itu adalah Bu Hani yang kini tengah membagikan lembar soal dan ujian satu persatu. Aku melihat lembar soal yang ada di hadapanku. Aku sudah hapal dengan halaman pertamanya, lalu membalik lembar kedua. Aku melirik Mino sekilas yang terpaku melihat soal ujiannya. Sepertinya ia bersenang-senang karena kami sudah mendapatkan bocoran soal sebelumnya. Lebih tepatnya mencuri soal ujian. Mino balik membalas lirikanku. Sesekali memperhatikan Bu Hani yang mengitari kelas. Takut kami ketahuan dan berujung di keluarkan dari kelas. Otakku memang tidak pintar, tapi aku bisa mengingat setiap jawaban dari soal yang kini menjadi beban bagi anak-anak lain-lain. Setidaknya aku harus tahu diri. Aku melemparkan secarik kertas ke paha Mino. Bukan kinci jawaban, hanya memanggilnya agar menoleh ke arahku. Mulut berkomat-kamit menyuruhnya untuk tidak menjawab salah pada beberapa soal. K