Tanpa peringatan, tangan besar Victor menarik lengan Mary dan membuatnya jatuh ke pangkuannya.
“Victor! Lepaskan aku!” pekik Mary, meronta-ronta berharap bisa bebas.
“Kau … kau sangat cantik malam ini, Jihan,” racau Victor yang keliru mengenali Mary sebagai Jihan, wanita yang dicintainya.
Mary tertegun, tidak percaya apa yang sedang terjadi. “Victor, lepaskan aku! Jangan sentuh aku!” teriaknya ketika Victor mengunci pergerakannya dan mulai mencumbu lehernya.
“Victor, tolong …,” rintih Mary merasa putus asa.
Victor bangkit dari sofa dan melemparkan Mary ke atas kasur. Mary terkejut. Ia segera berusaha untuk bangkit dan turun dari ranjang, tetapi Victor lebih cepat. Dia menarik salah satu kaki Mary dengan kasar.
“Victor, jangan! Aku mohon ….” Mary merintih sambil berusaha menahan tubuh pria itu.
“Sadar, Victor. Ini aku, Mary. Aku bukan Jihan,” ujarnya dengan suara yang bergetar.
Namun, Victor tampak tidak mendengarkan. Rintihan Mary dianggapnya sebagai desahan yang merdu. Dengan cepat, ia mulai melucuti pakaian Mary, membuatnya terbaring dalam keadaan tubuh polos tanpa sehelai benang.
“Akkhh!!!” teriakan kesakitan Mary terdengar memilukan, tetapi Victor tidak peduli.
Pria itu mendorong pinggulnya hingga berhasil menerobos inti tubuh Mary, merobek selaput darah keperawanan wanita itu.
“Argh! Fu*king sh*t!” erang Victor yang menyadari betapa nikmatnya penyatuan yang dia rasakan ini. “Sshh … tubuhmu nikmat sekali,” bisiknya di telinga Mary.
Mary terisak antara menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya dan menahan rasa pilu. Kini semua telah hancur. Satu-satunya mahkota berharga yang ia miliki telah direnggut dengan cara menjijikan. Terlebih itu oleh Victor, pria yang sejak dulu dia benci karena terobsesi dengan sahabatnya.
Di sisi lain, Mary memikirkan kelangsung hubungannya dengan Nathan. Bagaimana jika pria itu tahu apa yang sudah terjadi padanya?
“Aahhh … Jihannh …” desah Victor sambil terus menghujam tubuh Mary. Pria itu mendesahkan nama Jihan berulang kali, mengira wanita yang dia setubuhi ini adalah Jihan.
Mary hanya terisak. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Melawan pun percuma; dia tak akan sanggup. Tenaga yang dia punya tak sebanding dengan tenaga pria itu.
“Maafkan aku, Nathan …,” isak Mary terdengar memilukan.
***
Setelah pertemuan singkat dengan klien, Nathan langsung kembali ke hotel tempat ia menginap selama berada di luar kota. Nathan menghubungi Mary berkali-kali, tetapi panggilan teleponnya tak kunjung dijawab oleh sang kekasih.
Pria itu hanya ingin memberitahu Mary bahwa sekarang ia sudah sampai dan berada di hotel. Nathan tampak cemas karena sebelumnya Mary hampir tidak pernah bersikap seperti ini.
“Apa karena dia sibuk di bar?” gumam Nathan pelan. Kemudian, ia menghela napas dan menyerah untuk menghubungi Mary setelah mengirimkan beberapa pesan.
[Nathan: Sayang, kamu sibuk, ya? Aku cuma mau ngasih kabar kalau aku sudah sampai di hotel.]
[Nathan: Capek banget habis ketemu klien. Sekarang aku mau istirahat.]
[Nathan: Kamu baik-baik di sana, ya? I love u!]
Dulu, Nathan pernah tertarik pada Jihan, mengagumi kecantikan dan kelembutan hatinya, wanita yang merupakan adik sepupunya. Namun, Jihan tidak memiliki perasaan yang sama. Mereka pun memutuskan untuk menjadi teman dekat saja. Perlahan, Nathan pun melupakan perasaannya pada Jihan.
Sekarang, Nathan mencintai Mary dan berniat untuk serius. Ia makin bahagia ketika tahu bawah Mary juga merasakan hal yang sama. Apalagi paman dan bibi Mary juga merestui hubungan mereka.
Nathan mengulas senyum ketika memperhatikan foto Mary yang ia jadikan wallpaper.
“Kamu sangat cantik, Mary,” gumamnya, diikuti tawa pelan. “Aku tidak sabar menikah denganmu, tinggal bersama, dan membina rumah tangga yang bahagia,” ucapnya dengan perasaan tulus.
***
Keesokan harinya ….
Suasana di dalam kamar VVIP sebuah Nightclub tampak sangat berantakan. Di lantai marmer putih berserakan pakaian dan beberapa bantal.
Di atas ranjang berukuran king size, dua orang yang berbeda jenis kelamin tertidur pulas. Tubuh mereka yang tanpa pakaian itu hanya ditutupi oleh selimut tebal berwarna putih. Di balik selimut, sang pria memeluk tubuh wanita itu dengan lembut.
Kamar yang sejuk membuat mereka tampak pulas, seolah melupakan rasa lelah akibat pergulatan panas yang tidak diinginkan terjadi semalam antara mereka, yaitu Mary dan Victor.
Pergulatan yang tidak diinginkan?
Ya, semalam Victor benar-benar mabuk dan kehilangan kendali akibat terlalu banyak meneguk minuman beralkohol. Tanpa disadari, ia telah merenggut kesucian seorang wanita yang ia kenal, meskipun ia tidak menyukainya.
Selama ini Mary adalah yang sangat menjaga kehormatan dirinya. Meskipun bertahun-tahun bekerja di sebuah club malam yang penuh dengan godaan, ia tidak pernah goyah sedikitpun.
Mary sangat memegang teguh prinsipnya bahwa kesuciannya hanya akan diserahkan kepada pria yang berhak, yaitu suaminya kelak. Itulah salah satu mimpi terbesarnya.
Ketika di luar sana para gadis berbondong-bondong melakukan hubungan intim— menikmati making love dengan kekasih mereka, bahkan bergonta-ganti pasangan, Mary justru memiliki pandangan yang berbeda.
Baginya, sangat spesial untuk menyerahkan kesuciannya kepada suaminya di malam pertama setelah pernikahan mereka. Selain cinta yang tulus, ada mahkota berharganya yang bisa dia banggakan di hadapan suaminya kelak.
Namun kini, semua itu berakhir sia-sia. Semua ini disebabkan oleh Victor, lelaki yang Mary anggap kejam, jahat, dan bajingan. Sejak dulu, Mary sangat membenci pria itu karena sering mengganggu sahabatnya, Jihan.
Namun siapa sangka, kini takdir berkata lain. Pria yang sangat dia benci itu adalah orang yang telah merenggut kesuciannya yang telah ia jaga selama ini. Pria itu telah menikmati tubuhnya semalaman, membuat Mary merasa jijik pada diri sendiri dan merasa hancur sehancur-hancurnya.
Mata wanita itu perlahan terbuka meski terasa berat. Matanya sembab akibat terus menangis semalaman.
Setelah beberapa saat berhasil mengumpulkan kepingan ingatan, Mary teringat semua yang terjadi. Dengan kasar, ia menyingkirkan lengan kekar Victor yang memeluk tubuhnya.
Tindakan Mary itu sontak mengusik Victor dari tidur nyenyaknya. Pria itu mengubah posisi dari berbaring miring menjadi terlentang, terdengar rintihan pelan yang lolos dari bibirnya. Victor membawa salah satu tangan memijat pelipisnya, merasakan kepalanya berdenyut.
Tak lama, Victor pun menyadari bahwa dia tidak sendirian; ada orang lain yang tidur di sampingnya. Segera, Victor mengalihkan pandangannya pada sosok yang belum ia sadari itu.
“Kau…!”
Kedua matanya terbelalak saat melihat jelas wajah Mary. Dengan refleks, Victor menegakkan tubuhnya, menarik pandangannya dari Mary dan menatap tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang di balik selimut.
“F*ck!” Victor mengumpat dengan kasar, lalu menatap tajam pada Mary. “Apa yang kau lakukan di sini, wanita sialan?!” geramnya dengan menyalahkan Mary, padahal wanita itu adalah korban dari perbuatan bejatnya semalam.
Dengan berani, Mary menatap tajam pada Victor. “Aku di sini karena ulahmu tahu! Kamu sungguh brengsek, Victor!” Suaranya tajam, namun bergetar.
Victor mengerutkan kening bingung saat mendengar ucapan Mary. “Apa maksudmu?! Jangan mengada-ngada, apalagi mencoba untuk menjebakku!” desisnya.
Victor tidak bisa mengingat apa yang terjadi semalam, termasuk kejadian di mana dia memaksa Mary hingga berakhir merenggut kesucian wanita itu.
Mary menatap penuh kebencian pada Victor. “Menjebakmu?” ulangnya. “Untuk apa aku menjebakmu? Apa keuntungan yang aku dapat jika aku melakukan itu padamu?”
Victor terdiam, tak mengalihkan tatapan tajamnya dari Mary.
“Aku di sini gara-gara kamu! Aku mengantarkan minuman yang kamu pesan, tapi kamu justru memaksaku dan memperkosaku di sini, brengsek!”
“Jangan sembarangan menuduhku!” desis Victor tidak terima dan tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh wanita itu.
“Kau bekerja sebagai bartender. Lantas, bagaimana mungkin kau tiba-tiba masuk ke sini untuk mengantarkan minuman pesananku? Kau sengaja masuk sini dan tidur bersamaku, iya kan? Jawab!” bentak Victor dengan suara menggelegar.
“Betul, aku bekerja di sini sebagai bartender. Tapi semalam, manajerku meminta tolong padaku untuk mengantarkan minuman ke sini. Kamu tiba-tiba memaksaku dan memperkosaku. Kamu benar-benar bajingan, Victor! Aku benci padamu!” desis Mary. Bibirnya bergetar menahan tangis.
Detik berikutnya, dengan gerakan cepat, Victor mendekat pada Mary lalu mencekik leher wanita itu dengan kuat. Mary tersentak dan mencengkeram pergelangan tangan Victor.
“Jangan coba-coba mengarang cerita di depan mukaku, Mary! Kau pikir aku pria bodoh yang akan dengan mudahnya percaya pada semua omong kosongmu?!” desis Victor.
Victor terus mencengkeram leher jenjang Mary tanpa mempedulikan wanita itu yang tengah merintih kesakitan. Kemudian, tatapan tajam Victor berubah dalam hitungan detik. Dia menatap remeh pada Mary.
“Aku sudah sering bertemu dengan wanita-wanita sepertimu! Kau sengaja memanfaatkan tubuhmu untuk menjebakku di sini dan membuat keadaan seolah-olah aku yang bersalah!”
Dengan penuh keberanian, serta sisa tenaga yang dimilikinya, Mary menepis dengan kasar tangan Victor yang mencengkram lehernya. Ia berhasil membebaskan diri dan mengangkat tangan kanannya ke udara, lalu menampar keras wajah tampan pria itu.
Plak!
Wajah Victor terbuang ke samping, lalu detik berikutnya, ia kembali menatap tajam Mary, menemukan wanita itu memandangnya dengan penuh kebencian.
“Jaga bicaramu! Aku bukan wanita seperti yang kamu pikirkan! Aku memang bekerja di club, bukan berarti aku menjual tubuhku!” ucap Mary dengan nada tegas. Suaranya bergetar, menahan tangis.
Dengan napas yang masih terengah, Mary melanjutkan, “Memangnya apa keuntungan yang aku dapatkan jika aku menjebakmu?! Asal kamu tahu, aku punya kekasih yang teramat sempurna, jauh dari segala galanya yang ada padamu!”
“Cukup!” hardik Victor.
Victor kembali mencekik Mary, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Ia mencengkeram leher wanita itu, membuatnya tersiksa, lalu dengan kasar menghempas wajah Mary. Mary terbatuk akibat cekikan kuat Victor.
“Aku bilang tutup mulutmu atau aku akan membunuhmu!” ancam Victor dengan serius. Matanya menyala menyorot tajam pada Mary.
Setelah mengumpulkan tenaga, Mary bangkit dari ranjang, memungut pakaian yang berserakan di lantai, dan bergerak menuju kamar mandi.
Tanpa sengaja, pandangan Victor tertuju pada sebuah bercak merah yang sudah kering di atas seprai putih yang kusut.
“Darah?” gumamnya dengan suara tercekat di tenggorokan.
Di saat bersamaan, di dalam kamar mandi, Mary menangis pilu meratapi kehancuran dan memikirkan bagaimana kelangsungan hubungannya dengan Nathan.