Mansion Hilton.
Sambil menunggu Hannah selesai menyiapkan makan siang, Dominic duduk bersama Victor dan Olso untuk membahas beberapa hal seputar pekerjaan. Tepatnya mengenai bisnis di Florida yang sengaja Dominic beri untuk Victor kelola.
Kinerja Victor yang sempurna membuat Dominic merasa sangat puas.
Kadang, Dominic berpikir. Andai saja waktu itu Victor tidak dijebak oleh musuh dan mendekam di balik jeruji besi, pasti kekuasaan pria itu sudah menjadi sangat besar.
Sebab, apa yang terjadi saat itu membuat Victor tak hanya kehilangan harta dan kekuasaannya, tapi juga sangat terpuruk sehingga sulit untuk bangkit.
Victor baru bisa pulih secara perlahan setelah Dominic turun tangan membantunya dengan memberikan pengelolaan bisnis di Florida kepada Victor.
Selama setahun, Victor bekerja keras dan akhirnya berhasil membuktikan kemampuannya di hadapan Dominic. Bisnis di Florida berkembang pesat bahkan jauh dari ekspektasi Dominic sebelumnya.
Hari ini, Dominic sengaja tidak mengadakan pertemuan dengan mereka di markas karena Hannah ingin agar Victor makan siang bersama mereka.
Bukan tanpa alasan Hannah meminta hal tersebut kepada suaminya.
Sejak pertemuan pertamanya dengan Victor tahun lalu, Hannah tertarik untuk mendekatkan Victor dengan putri pertamanya, Alea, tapi Victor menolak karena malah tertarik pada Jihan, putri keduanya.
Victor terus mengejar Jihan semenjak gadis itu masih sendiri, hingga sekarang menikah dengan William.
Oleh karena itu, mengenai undangan makan siang Hannah untuk Victor, Dominic sengaja tidak menolak rencana istrinya itu karena tidak ingin mengecewakan.
Namun, Dominic tetap memberikan penjelasan kepada Hannah agar kedepannya wanita itu tidak berambisi melakukan sesuatu yang pada akhirnya bisa menghancurkan rumah tangga putri kandung mereka sendiri.
Victor memang bawahannya yang dipercaya Dominic. Akan tetapi, Dominic tidak akan lupa bahwa sebelum bersamanya, Victor juga merupakan seorang pemimpin sebuah klan Mafia.
Dominic paham betul bagaimana sepak terjang seorang Victor di dunia bawah tanah, bagaimana kekejaman pria itu, dan bagaimana Victor bisa membuat segalanya berantakan dalam sekejap.
Dominic tidak ingin hal buruk itu terjadi.
Setelah kurang lebih dua jam Victor bersama Dominic dan Olso di dalam ruangan tersebut, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan teras, menarik perhatian ketiganya.
Meskipun mereka berada di dalam ruangan, dinding ruangan tersebut terbuat dari kaca transparan yang menghadap ke arah teras, sehingga mereka bisa melihat langsung suasana di depan.
"Sepertinya itu mereka," ucap Dominic tanpa melepaskan pandangannya dari mobil tersebut, yang tak lain adalah mobil Nathan.
Victor melirik ke arah pria paruh baya itu. "Jihan?" tanyanya penasaran.
Dominic mengalihkan pandangan sekilas ke arah Victor. "Bukan. Aku sengaja tidak mengundang Jihan dan suaminya karena aku tidak ingin makan siang kita jadi kacau," jawabnya, lalu melirik pada Olso yang tampak berusaha menahan tawa.
Victor diam menatap datar pada Dominic.
Dominic tersenyum padanya, "Kasihan istriku. Dia sudah sangat antusias menyiapkan menu-menu makan siang untuk kita, lalu kamu dan Michael membuat semuanya jadi kacau? Tidak akan kubiarkan."
Kalimatnya menggantung, dan Dominic mengangkat bahu tampak acuh, lalu beralih kembali ke arah mobil di luar sana.
Tak berapa lama, Nathan turun dari mobil dan membuka pintu untuk seorang wanita. Ketika wajah wanita itu sepenuhnya terlihat, Olso menyeringai melihat tatapan Victor yang mendingin.
"Dia adalah keponakanku yang sudah aku anggap seperti putra kandungku sendiri, Nathan. Olso pasti mengenal Nathan, tapi tidak dengan kau," ucap Dominic melirik kepada Victor.
Selama ini, ia memang tidak pernah memperkenalkan Victor kepada Nathan karena merasa tidak perlu. Nathan tidak terlibat dalam bisnis haramnya; pria itu hanya fokus membantunya mengurus perusahaan.
"Lalu wanita itu, Tuan, siapanya Tuan Nathan?" tanya Olso yang sengaja memancing Dominic untuk mengeluarkan kalimat keramat itu di depan Victor.
Pria itu melirik sejenak pada Victor yang menatap tajam ke arah Mary yang saat ini dirangkul mesra oleh Nathan.
"Wanita itu adalah kekasih Nathan, namanya Mary. Sebentar lagi mereka akan menikah," jawab Dominic.
Di saat yang sama, Victor dengan refleks mengepalkan tangan dan mengeraskan rahangnya saat mendengar pernyataan Dominic.
‘Jadi itu pria yang dia maksud?’ Victor menyeringai. ‘Menarik.’
Jika sebelumnya Mary selalu antusias saat mengunjungi kediaman Hilton yang mewah dan megah, kali ini terasa berbeda. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika berada di tengah keluarga kekasihnya.Keluarga Nathan yang juga keluarga Jihan selalu sangat tulus dan ramah kepadanya, membuat Mary merasa bersalah. Dia merasa seperti seorang pengkhianat yang tidak pantas berada di sana. Meskipun tidak ada seorangpun yang tahu apa yang telah terjadi padanya, Mary merasa malu yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah sedang ditelanjangi di depan banyak orang.Tak tahu harus berbuat apa, saat kakinya melangkah memasuki kediaman yang megah itu, dadanya berdebar-debar dan perasaan tidak nyaman semakin merayap, membuatnya gelisah."Kamu kenapa?" tanya Nathan.Pria itu menghentikan langkahnya dan menatap lekat-lekat pada Mary yang juga berhenti di sampingnya."A-apa?" Mary terkejut oleh pertanyaan pria itu. Ia menatap Nathan sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah la
"Nathan, dia Victor," ucap Dominic. "Kalau Olso, kamu pasti masih ingat siapa dia," tambahnya pelan.Dengan senyum ramah, Nathan mengulurkan tangan kanannya ke arah Victor, mengajak pria itu untuk bersalaman. "Senang berkenalan denganmu." ucapnya dengan nada ramah.Victor membalas dengan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Nathan. Ia menatap dalam mata Nathan. "Terima kasih," balasnya singkat, dengan suara dingin yang jauh dari kata ramah seperti yang ditunjukkan oleh Nathan. Namun, hal itu tidak mengejutkan yang lain, karena mereka tahu bahwa begitulah karakter Victor."Baiklah, kebetulan sekali aku sangat lapar," ucap Dominic setelah Victor dan Nathan melepaskan jabat tangan mereka. Ia melirik pada Hannah. "Apakah makan siang kita sudah siap, sayang?" tanyanya pada sang istri."Ya, sudah siap. Kalau begitu, mari kita ke meja makan langsung," ajak Hannah kepada mereka, lalu wanita paruh baya itu meraih lembut tangan Mary. "Ayo, sayang, kita ke meja makan."Mary mengangguk pelan
Sebelumnya, Victor menuju toilet bersama temannya, Olso. Namun, temannya itu sudah selesai terlebih dahulu dan meninggalkannya di toilet untuk kembali ke ruang tengah, bergabung dengan Dominic dan Nathan di sana. Namun, sebuah kebetulan kembali membuat Victor dan Mary terjebak dalam situasi tak diinginkan. Tanpa sengaja, Mary pun masuk ke dalam toilet tempat Victor berada. Betapa terkejutnya wanita itu ketika melihat kehadiran pria bajingan itu di sana! Tanpa berpikir panjang, Mary segera berusaha mundur untuk keluar dari toilet tersebut. Namun sialnya, dia kalah cepat dari Victor, yang sudah mengunci pintu toilet dan memerangkap tubuhnya di antara pintu. Mary membuka bibirnya, hendak mengatakan sesuatu, tetapi Victor sigap membungkam mulutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan yang satunya lagi digunakan untuk menahan kedua tangan Mary di atas kepala. "Silakan berteriak kalau kamu mau kekasihmu tahu, Baby." bisik Victor di depan wajah Mary. Pria itu lalu mengulas senyum smirk
Di tengah langkahnya, Nathan berdoa dalam hati semoga ia tidak melihat hal-hal aneh yang akan membuatnya kecewa dan sakit hati. 'Tidak mungkin semua yang aku pikirkan ini menjadi kenyataan. Lagi pula, mereka tidak saling mengenal. Yeah... Aku hanya stres memikirkan keanehan yang terjadi pada Mary sejak semalam. Hanya itu... Ya, hanya itu,' batin Nathan, berusaha meyakinkan hati di tengah langkahnya. Beberapa menit kemudian, ia tiba di depan toilet, menatap ragu pada pintu yang tertutup rapat. Nathan mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Tok tok tok "Mary, apakah kamu di dalam?" seru Nathan dengan suara agak tinggi, mendekat dan menempelkan telinga di pintu. Di sisi lain, Victor yang saat ini masih melumat dan menghisap bibir Mary sontak menghentikan aksinya ketika mendengar suara ketukan pintu dan seruan Nathan di balik pintu. Ia melepaskan tautan bibirnya dengan Mary ketika wanita itu mendorong dadanya. Tanpa memperdulikan dagunya yang basah oleh air liur Victor, Mary menelan
Di depan toilet, Nathan menatap khawatir pada Mary. Ia mendekat, lalu membelai lembut wajah kekasihnya itu. "Kamu baik-baik saja?" tanya Nathan dengan suara pelan. Mary mengangguk, berusaha tersenyum. "Iya, aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dalam hati ia merasa tertekan. "Tadi perutku agak sakit... Makanya aku agak lama di toilet," jelas Mary dengan terpaksa berbohong, meskipun sebenarnya ia tidak ingin berbohong, tetapi keadaan memaksanya. "Mau aku belikan obat?" tanya Nathan penuh perhatian. Mary menggeleng cepat. "Tidak usah, sayang. Sekarang sudah tidak sakit lagi. Iya... perutku tidak sakit lagi. Aku baik-baik saja," jawabnya dengan senyum lebar, berharap dapat meyakinkan Nathan. Nathan mengangguk pelan. "Syukurlah kalau begitu." Ia sempat melirik pintu toilet yang sedikit terbuka. Mary menyadari tatapan Nathan dan panik. "Ayo..." ajak Merry buru-buru. Nathan beralih menatapnya. "Atau... kamu mau masuk?" tawar Mary dengan sengaja. Namun, dalam hatinya, ia sangat berha
*** "Kau ini kenapa, huh? Tiba-tiba bersikap begini, gegabah tanpa berpikir panjang," Olso berkata sambil menyetir, melirik Victor yang duduk di sampingnya. "Nathan itu keponakan Tuan Dominic, dan dia sangat sayang terhadap keponakannya, seperti putranya sendiri. Dan kau... kau malah dengan beraninya mengganggu kekasih dari keponakannya itu. Mereka akan segera menikah, Victor. Berhentilah berbuat gila, jangan sampai semua tindakanmu itu menghancurkan apa yang selama ini kita bangun. Kepercayaan Tuan Dominic. Hubungan baik kita dengannya jangan sampai hancur hanya karena kau mengejar Mary." Di sisi lain, Victor hanya diam, mendengarkan dengan seksama omelan panjang lebar Olso tanpa berniat membalas. "Aku tidak tahu persis apa alasanmu kali ini. Tapi yang jelas, aku tidak percaya kalau alasannya karena cinta. Kau tidak mungkin mencintai Mary, kan? Sementara Jihan sendiri belum bisa kau lupakan," Olso melanjutkan, tampak belum puas mengomeli temannya itu. Ya, Olso sangat kesal den
Untuk saat ini, Mary benar-benar belum siap untuk menceritakan semuanya kepada Nathan. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa kapanpun waktunya tiba, ia pasti akan berkata jujur, karena dengan terus berbohong pun tidak mungkin. Waktu terus berjalan, dan sementara ia dan Nathan akan menikah. Mary merasa tidak akan sanggup melakukannya dalam kondisinya yang sudah seperti ini. Ia merasa hancur dan tidak ada lagi hal yang bisa dibanggakan di hadapan Nathan. Semua itu telah direnggut oleh Victor, pria yang paling dibencinya saat ini. ** Sejak sore hingga malam tiba, Victor sama sekali tidak keluar dari kamar, sehingga Olso bingung dengan semua sikap anehnya itu. Olso juga penasaran, sebenarnya apa yang sedang dilakukan Victor sampai mengunci pintu kamarnya dan tidak membiarkan siapapun masuk. Beberapa kali sebelumnya, Olso sudah mengetuk pintu, ingin membicarakan beberapa hal mengenai pekerjaan mereka, tetapi Victor tetap tidak mau membuka pintu. Dia benar-benar tidak ingin diga
“DIAM! SEMUANYA DIAM! JANGAN ADA YANG BERGERAK!” seorang pria bertubuh kekar memperingatkan semua orang dengan ancaman senjata api di tangan. “Siapa yang berani bergerak, maka akan aku tembak kepalanya!” ancam pria lainnya dengan suara menggelegar, membuat siapa saja bergetar ketakutan. Suasana seketika hening, hanya terdengar deru napas yang terengah-engah. “Cepat, hubungi Bosmu dan minta dia datang ke sini segera!” perintah pria itu kepada manajer club. “Baik… baik, saya akan hubungi segera,” ucap sang manajer dengan suara bergetar ketakutan. Siapa yang tidak takut jika nyawanya sedang terancam seperti ini? Dinginnya ujung senjata api yang ditempelkan di keningnya terasa sangat jelas di kulitnya, membuatnya semakin sulit bernapas. Sang manajer pun segera menghubungi Bosnya, yang tak lain adalah pemilik club ini. Ketika telepon berhasil terhubung, sang manajer tidak sempat berbicara karena ponselnya dirampas, diambil alih oleh pria yang saat ini mengancamnya. Tak banyak yang di
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing