Jawaban Daisy membuat Mary mengernyitkan dahi. Sejak kapan wanita itu tahu apartemen Nathan?
“Kamu memberitahu sandi apartemenmu kepada Daisy?” Mary tak tahan untuk bertanya.
“Ya. Kenapa?” jawaban Nathan membuat Mary mengubah ekspresi wajahnya.
Seakan baru sadar akan hal itu, Nathan gelagapan dan berusaha untuk meralat perkataannya. Namun, belum sempat pria itu berujar lebih lanjut, Daisy telah lebih dulu menyela.
“Maksud Tuan adalah agar saya lebih mudah mengambil barang atau berkas yang diperlukan, Nona.”
Wanita itu tersenyum pada Mary, tapi entah kenapa Mary merasa sekretaris Nathan itu memandangnya dengan sinis dan merendahkan.
Meski merasa aneh, tapi dia hanya hanya mengangguk dan ikut tersenyum. “Baiklah.”
Nathan yang melihat suasana menjadi canggung buru-buru mengambil satu paperbag lagi dari tangan Daisy. “Terima kasih juga makanannya, Daisy. Kamu boleh kembali.”
“Baik, Tuan. Semoga kalian menikmatinya.”
Daisy mengangguk ke arah Mary dan menatap Nathan sedikit lebih lama sebelum meninggalkan apartemen mereka.
Sepanjang acara makan itu, keduanya sama-sama diam. Nathan sibuk dengan ponselnya, sementara Mary tenggelam dalam pikirannya.
Wanita itu berusaha keras agar terlihat baik-baik saja di hadapan Nathan meskipun jujur saja ia sama sekali tidak berselera untuk mengisi perut.
"Tadi Aunty Hannah telepon, dia meminta agar aku menjemputmu dan membawamu ke Mansion untuk makan siang bersama di sana." ucap Nathan tiba-tiba. “Bagaimana menurutmu?”
Aunty Hannah adalah Ibunya Jihan yang telah Mary anggap sebagai ibunya sendiri. Sebab, setelah ibu kandungnya meninggal, Mary tak lagi memiliki siapa-siapa untuk bergantung.
"Tentu. Aku bersedia." jawab Mary.
Sejujurnya, ia ingin menolak, tapi tidak enak hati terhadap Hannah dan juga tidak ingin membuat Nathan kecewa lebih dalam terhadap dirinya.
Nathan tersenyum. "Baiklah, nanti jam 11.00 kita ke sana. Namun, tolong jangan paksakan dirimu. Kalau sekiranya kamu tidak siap dan merasa tidak nyaman, maka kamu tidak perlu melakukannya."
Menggeleng pelan, Mary berkata, "Tidak apa-apa, aku tidak merasa terpaksa sama sekali. Kamu juga tidak bekerja ‘kan hari ini?"
"Ya, mungkin nanti malam aku akan mengerjakan pekerjaanku di apartemen sambil menunggumu pulang kerja.”
Mary mengangguk sebagai jawaban.
Di tempat lain, di apartemen yang dihuni oleh Olso dan Victor, terlihat Olso duduk di sofa dengan sebuah laptop yang menyala di atas pahanya.
Pria itu fokus menatap layar yang terang di depan wajahnya, sementara jari-jarinya berselancar di atas keyboard dan mouse secara bergantian.
Sesekali, keningnya tampak berkerut saat memperhatikan layar. Namun, detik berikutnya, suara pintu apartemen yang terbuka sontak menarik perhatiannya.
Olso pun segera menoleh, mengalihkan pandangan ke arah pintu dan melihat Victor yang baru saja masuk dengan kening berkerut.
"Aku pikir kau tidak akan pulang," ucap Olso kepada Victor.
Wajar saja ia berkata demikian, karena saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi, dan Victor baru saja kembali ke apartemen entah dari mana.
Olso menatap Victor dengan lekat. Pria itu maju tanpa berniat menghiraukan ucapan Olso barusan.
"Oh iya, beberapa menit lalu aku mendapat kabar dari Simon. Transaksi yang sudah kau jadwalkan ditolak oleh klien," ucap Olso menyampaikan informasi yang sebelumnya ia terima dari salah satu rekannya di Florida.
Victor menghentikan langkahnya di dekat Olso, menatap pria itu sambil berdiri dengan tangan berkacak pinggang, tanpa ada niat untuk duduk.
"Alasannya?" tanyanya, keningnya tampak berkerut.
Olso mengedikkan bahu. "Alasannya kurang jelas, dan menurutku tidak masuk akal. Yang Simon sampaikan adalah klien ingin bertemu langsung denganmu. Aku curiga, sepertinya dia tertarik padamu untuk didekatkan dengan anak gadisnya."
Victor berdecak, tampak acuh. "Putrinya terlalu becek," ucapnya dengan frontal.
Seketika, Olso dibuat cengok olehnya. "What...? Apa yang kau bilang? Gadis itu digilai oleh banyak pria di Florida, dan bisa-bisanya kau mengatai dia becek?"
Olso menjauhkan laptop dari pahanya dan meletakkannya di atas meja. Menatap serius pada Victor. Si bajingan tengik.
"Jangan bilang kalau kau sudah pernah memakainya, makanya kau tahu kalau dia becek. Kau benar-benar sialan, Victor!" Ia menggelengkan kepala dengan ekspresi dramatis.
Victor mendengus lalu mengibas tangan ke udara. "Aku tidak tertarik untuk membahasnya. Untuk masalah transaksi, biar aku urus nanti. Dan bagaimana soal Mary? Kau sudah berhasil mendapatkan informasi tentang siapa kekasihnya?" tanyanya kepada Olso.
Pria itu memutar mata dengan malas. "Setelah tadi kau mengatai anak gadis orang becek, sekarang kau masih ingin mengejar wanita yang kau perkosa? Sungguh bajingan!" Olso menyindir.
Victor tak menghiraukan. Ia menarik diri dari Olso dan melangkah menuju kamar. "Segera cari tahu, Olso. Besok pagi aku sudah harus tahu siapa kekasih si wanita bar-bar itu," ucapnya sambil berjalan.
"Semoga saja kekasih si cantik Mary itu seorang Mafia, biar dia dihajar habis-habisan!" gerutu Olso seraya kembali membawa laptopnya ke atas paha. Ia melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi gara-gara si bajingan Victor.
Mendengar itu, Victor mendengus sinis. “Kalau pria itu bisa.”
Mansion Hilton.Sambil menunggu Hannah selesai menyiapkan makan siang, Dominic duduk bersama Victor dan Olso untuk membahas beberapa hal seputar pekerjaan. Tepatnya mengenai bisnis di Florida yang sengaja Dominic beri untuk Victor kelola. Kinerja Victor yang sempurna membuat Dominic merasa sangat puas. Kadang, Dominic berpikir. Andai saja waktu itu Victor tidak dijebak oleh musuh dan mendekam di balik jeruji besi, pasti kekuasaan pria itu sudah menjadi sangat besar.Sebab, apa yang terjadi saat itu membuat Victor tak hanya kehilangan harta dan kekuasaannya, tapi juga sangat terpuruk sehingga sulit untuk bangkit. Victor baru bisa pulih secara perlahan setelah Dominic turun tangan membantunya dengan memberikan pengelolaan bisnis di Florida kepada Victor.Selama setahun, Victor bekerja keras dan akhirnya berhasil membuktikan kemampuannya di hadapan Dominic. Bisnis di Florida berkembang pesat bahkan jauh dari ekspektasi Dominic sebelumnya.Hari ini, Dominic sengaja tidak mengadakan per
Jika sebelumnya Mary selalu antusias saat mengunjungi kediaman Hilton yang mewah dan megah, kali ini terasa berbeda. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika berada di tengah keluarga kekasihnya.Keluarga Nathan yang juga keluarga Jihan selalu sangat tulus dan ramah kepadanya, membuat Mary merasa bersalah. Dia merasa seperti seorang pengkhianat yang tidak pantas berada di sana. Meskipun tidak ada seorangpun yang tahu apa yang telah terjadi padanya, Mary merasa malu yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah sedang ditelanjangi di depan banyak orang.Tak tahu harus berbuat apa, saat kakinya melangkah memasuki kediaman yang megah itu, dadanya berdebar-debar dan perasaan tidak nyaman semakin merayap, membuatnya gelisah."Kamu kenapa?" tanya Nathan.Pria itu menghentikan langkahnya dan menatap lekat-lekat pada Mary yang juga berhenti di sampingnya."A-apa?" Mary terkejut oleh pertanyaan pria itu. Ia menatap Nathan sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah la
"Nathan, dia Victor," ucap Dominic. "Kalau Olso, kamu pasti masih ingat siapa dia," tambahnya pelan.Dengan senyum ramah, Nathan mengulurkan tangan kanannya ke arah Victor, mengajak pria itu untuk bersalaman. "Senang berkenalan denganmu." ucapnya dengan nada ramah.Victor membalas dengan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Nathan. Ia menatap dalam mata Nathan. "Terima kasih," balasnya singkat, dengan suara dingin yang jauh dari kata ramah seperti yang ditunjukkan oleh Nathan. Namun, hal itu tidak mengejutkan yang lain, karena mereka tahu bahwa begitulah karakter Victor."Baiklah, kebetulan sekali aku sangat lapar," ucap Dominic setelah Victor dan Nathan melepaskan jabat tangan mereka. Ia melirik pada Hannah. "Apakah makan siang kita sudah siap, sayang?" tanyanya pada sang istri."Ya, sudah siap. Kalau begitu, mari kita ke meja makan langsung," ajak Hannah kepada mereka, lalu wanita paruh baya itu meraih lembut tangan Mary. "Ayo, sayang, kita ke meja makan."Mary mengangguk pelan
Sebelumnya, Victor menuju toilet bersama temannya, Olso. Namun, temannya itu sudah selesai terlebih dahulu dan meninggalkannya di toilet untuk kembali ke ruang tengah, bergabung dengan Dominic dan Nathan di sana. Namun, sebuah kebetulan kembali membuat Victor dan Mary terjebak dalam situasi tak diinginkan. Tanpa sengaja, Mary pun masuk ke dalam toilet tempat Victor berada. Betapa terkejutnya wanita itu ketika melihat kehadiran pria bajingan itu di sana! Tanpa berpikir panjang, Mary segera berusaha mundur untuk keluar dari toilet tersebut. Namun sialnya, dia kalah cepat dari Victor, yang sudah mengunci pintu toilet dan memerangkap tubuhnya di antara pintu. Mary membuka bibirnya, hendak mengatakan sesuatu, tetapi Victor sigap membungkam mulutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan yang satunya lagi digunakan untuk menahan kedua tangan Mary di atas kepala. "Silakan berteriak kalau kamu mau kekasihmu tahu, Baby." bisik Victor di depan wajah Mary. Pria itu lalu mengulas senyum smirk
Di tengah langkahnya, Nathan berdoa dalam hati semoga ia tidak melihat hal-hal aneh yang akan membuatnya kecewa dan sakit hati. 'Tidak mungkin semua yang aku pikirkan ini menjadi kenyataan. Lagi pula, mereka tidak saling mengenal. Yeah... Aku hanya stres memikirkan keanehan yang terjadi pada Mary sejak semalam. Hanya itu... Ya, hanya itu,' batin Nathan, berusaha meyakinkan hati di tengah langkahnya. Beberapa menit kemudian, ia tiba di depan toilet, menatap ragu pada pintu yang tertutup rapat. Nathan mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Tok tok tok "Mary, apakah kamu di dalam?" seru Nathan dengan suara agak tinggi, mendekat dan menempelkan telinga di pintu. Di sisi lain, Victor yang saat ini masih melumat dan menghisap bibir Mary sontak menghentikan aksinya ketika mendengar suara ketukan pintu dan seruan Nathan di balik pintu. Ia melepaskan tautan bibirnya dengan Mary ketika wanita itu mendorong dadanya. Tanpa memperdulikan dagunya yang basah oleh air liur Victor, Mary menelan
Di depan toilet, Nathan menatap khawatir pada Mary. Ia mendekat, lalu membelai lembut wajah kekasihnya itu. "Kamu baik-baik saja?" tanya Nathan dengan suara pelan. Mary mengangguk, berusaha tersenyum. "Iya, aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dalam hati ia merasa tertekan. "Tadi perutku agak sakit... Makanya aku agak lama di toilet," jelas Mary dengan terpaksa berbohong, meskipun sebenarnya ia tidak ingin berbohong, tetapi keadaan memaksanya. "Mau aku belikan obat?" tanya Nathan penuh perhatian. Mary menggeleng cepat. "Tidak usah, sayang. Sekarang sudah tidak sakit lagi. Iya... perutku tidak sakit lagi. Aku baik-baik saja," jawabnya dengan senyum lebar, berharap dapat meyakinkan Nathan. Nathan mengangguk pelan. "Syukurlah kalau begitu." Ia sempat melirik pintu toilet yang sedikit terbuka. Mary menyadari tatapan Nathan dan panik. "Ayo..." ajak Merry buru-buru. Nathan beralih menatapnya. "Atau... kamu mau masuk?" tawar Mary dengan sengaja. Namun, dalam hatinya, ia sangat berha
*** "Kau ini kenapa, huh? Tiba-tiba bersikap begini, gegabah tanpa berpikir panjang," Olso berkata sambil menyetir, melirik Victor yang duduk di sampingnya. "Nathan itu keponakan Tuan Dominic, dan dia sangat sayang terhadap keponakannya, seperti putranya sendiri. Dan kau... kau malah dengan beraninya mengganggu kekasih dari keponakannya itu. Mereka akan segera menikah, Victor. Berhentilah berbuat gila, jangan sampai semua tindakanmu itu menghancurkan apa yang selama ini kita bangun. Kepercayaan Tuan Dominic. Hubungan baik kita dengannya jangan sampai hancur hanya karena kau mengejar Mary." Di sisi lain, Victor hanya diam, mendengarkan dengan seksama omelan panjang lebar Olso tanpa berniat membalas. "Aku tidak tahu persis apa alasanmu kali ini. Tapi yang jelas, aku tidak percaya kalau alasannya karena cinta. Kau tidak mungkin mencintai Mary, kan? Sementara Jihan sendiri belum bisa kau lupakan," Olso melanjutkan, tampak belum puas mengomeli temannya itu. Ya, Olso sangat kesal den
Untuk saat ini, Mary benar-benar belum siap untuk menceritakan semuanya kepada Nathan. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa kapanpun waktunya tiba, ia pasti akan berkata jujur, karena dengan terus berbohong pun tidak mungkin. Waktu terus berjalan, dan sementara ia dan Nathan akan menikah. Mary merasa tidak akan sanggup melakukannya dalam kondisinya yang sudah seperti ini. Ia merasa hancur dan tidak ada lagi hal yang bisa dibanggakan di hadapan Nathan. Semua itu telah direnggut oleh Victor, pria yang paling dibencinya saat ini. ** Sejak sore hingga malam tiba, Victor sama sekali tidak keluar dari kamar, sehingga Olso bingung dengan semua sikap anehnya itu. Olso juga penasaran, sebenarnya apa yang sedang dilakukan Victor sampai mengunci pintu kamarnya dan tidak membiarkan siapapun masuk. Beberapa kali sebelumnya, Olso sudah mengetuk pintu, ingin membicarakan beberapa hal mengenai pekerjaan mereka, tetapi Victor tetap tidak mau membuka pintu. Dia benar-benar tidak ingin diga
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing