Di apartemen Mary saat ini, wanita itu duduk termenung di balkon. Mungkin sudah hampir tiga jam ia menghabiskan waktunya di sana tanpa melakukan apa pun.
Pikirannya kosong, karena kejadian semalam sukses menghancurkan hidupnya dan menghancurkan kepercayaan Nathan kepadanya.
Mengingat wajah lembut pria itu, rasa bersalah Mary semakin meningkat dan tanpa sadar air mata turun di pipinya.
Jika sebelumnya ia berani menjalin hubungan bersama Nathan dengan penuh suka cita, kali ini ia bahkan tak sanggup membalas belasan pesan dan panggilan dari pria itu yang sudah memenuhi ponselnya.
[Mary, aku sudah sampai. Katakan kalau kamu sudah selesai bekerja ya]
[Aku baru saja selesai rapat dengan klien. Sedang apa?]
[Mary, kamu baik-baik saja?]
Mary menutup ponsel tanpa berani membaca pesan-pesan itu lebih lanjut.
Dia merasa dirinya kotor dan tak lagi layak berdiri di samping Nathan. Sebab, selama mereka berpacaran, pria itu selalu mempercayainya dengan begitu besar.
Bahkan Nathan sampai mengizinkan Mary untuk kembali bekerja di nightclub hanya karena Mary lebih betah bekerja di sana daripada di gedung tinggi.
Detik berikutnya, Mary bangkit dari duduk dan memutar tubuh sebelum masuk ke dalam kamar, menutup rapat pintu balkon dan menguncinya.
Dengan langkah lemah, Mary menuju ranjang dan membaringkan tubuhnya yang lelah sembari berharap dapat melupakan semua yang terjadi.
Entah berapa lama dia tertidur, samar-samar Mary merasakan ada seseorang yang naik ke atas tempat tidur dan mengambil posisi di belakang tubuh Mary.
"Nathan?" Mary bergumam lirih, suaranya terdengar bergetar.
"Ya, ini aku." jawab Nathan sembari mengelap keringat di kening Mary dengan tangannya.
Mendenar itu, Mary menatap wajah Nathan dengan mata berkaca-kaca sebelum memeluk Nathan dengan erat, menempelkan wajahnya di dada bidang pria itu.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Nathan perlahan mengurai pelukan dari Mary dan menangkup wajah wanita itu dengan kedua tangan. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak membalas pesanku?"
Mary tidak menjawab, hanya membalas tatapan lekat kekasihnya. Rasanya ia ingin berteriak, ingin mengadukan semua yang ia alami kepada Nathan. Namun, lidahnya terasa kelu, seolah ada yang menghalangi suaranya.
"Kamu sakit?" tanya Nathan lagi setelah pertanyaan pertamanya tak juga dijawab oleh Mary. Kali ini, wanita itu menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Respon Mary membuat Nathan mengecup dahi kekasihnya sembari mengeratkan pelukan di antara mereka.
Sentuhan itu sontak membuat tubuh Mary bergetar dan berkeringat, merasa tak nyaman. Oleh karena itu, dengan mata tertutup rapat, ia buru-buru mengurai pelukan di antara mereka.
"Nathan, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Ayo kita putus saja."
Perkataan Mary membuat Nathan terdiam.
"Mulai malam ini, aku membebaskanmu. Pergilah dan..." Mary tak dapat melanjutkan kalimatnya karena Nathan memotong dengan cepat.
"Apakah aku berbuat kesalahan? Apakah ada kesalahan fatal yang ... aku lakukan sehingga kau memperlakukanku seperti ini?" tanya Nathan, beralih menatap Mary dengan tatapan terluka.
Mary menggelengkan kepala. "Tidak. Kamu tidak melakukan apapun," jawabnya.
"Kalau begitu, apa alasanmu ingin hubungan kita berakhir? Apakah kau bosan dengan hubungan ini?" Nathan kembali mendesak. Kali ini dia memegangi wajah Mary agar tetap menatap ke arahnya.
Perlahan air mata Mary kembali mengalir. "Aku sama sekali tidak pantas bersanding denganmu, Nathan. Kamu berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dan itu bukan aku."
"Tidak, wanita itu adalah kamu." sahut Nathan dengan suara mantap. "Ini hidupku, dan hanya aku yang berhak menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas mendampingiku, Mary.”
"Aku tidak bisa. Maaf.”
Jawaban itu membuat Nathan menjauhkan tangannya dari wajah Mary dan menarik napas dalam-dalam. Detik berikutnya, ia mengangguk pelan.
"Sudah larut malam, sebaiknya kamu istirahat. Anggap saja obrolan tadi tidak pernah terjadi. Semuanya baik-baik saja dan tidak ada yang akan putus. Semoga setelah kamu bangun nanti, suasana hatimu jauh lebih baik dari sekarang." ucap Nathan lagi sebelum kemudian keluar dari kamar Mary.
Keesokan harinya, Mary terbangun dan melihat Nathan yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Pria itu tersenyum kepadanya dan berusaha mencium keningnya, tapi Mary mengelak dan pergi dapur untuk melihat bahan makanan apa saja yang dapat diolah untuk menu sarapan.
Sesampainya di depan kulkas, Mary baru ingat kalau isi kulkasnya nyaris kosong dan tidak banyak bahan makanan yang tersedia. Oleh karena itu, ia berniat untuk memesan makanan dari luar.
Namun, belum sempat ia membuka ponselnya, suara Nathan yang mengobrol seru dengan seseorang di ruang tamu membuat Mary berjalan mendekat.
Di sana, Mary melihat Nathan berbicara dengan seorang wanita muda yang dia kenal sebagai sekretaris pria itu, Daisy.
“Terima kasih sudah membawakan pakaianku.” ucap Nathan sambil menyambut sebuah paper bag yang disodorkan oleh Daisy kepadanya. “Maaf sudah merepotkan.”
“Tidak masalah, Tuan.” jawab Daisy sambil melirik tipis ke arah Mary. “Sudah tugas saya, karena kebetulan hanya saya yang mengetahui kata sandi apartemen Anda.”
Jawaban Daisy membuat Mary mengernyitkan dahi. Sejak kapan wanita itu tahu apartemen Nathan?“Kamu memberitahu sandi apartemenmu kepada Daisy?” Mary tak tahan untuk bertanya.“Ya. Kenapa?” jawaban Nathan membuat Mary mengubah ekspresi wajahnya. Seakan baru sadar akan hal itu, Nathan gelagapan dan berusaha untuk meralat perkataannya. Namun, belum sempat pria itu berujar lebih lanjut, Daisy telah lebih dulu menyela.“Maksud Tuan adalah agar saya lebih mudah mengambil barang atau berkas yang diperlukan, Nona.”Wanita itu tersenyum pada Mary, tapi entah kenapa Mary merasa sekretaris Nathan itu memandangnya dengan sinis dan merendahkan.Meski merasa aneh, tapi dia hanya hanya mengangguk dan ikut tersenyum. “Baiklah.”Nathan yang melihat suasana menjadi canggung buru-buru mengambil satu paperbag lagi dari tangan Daisy. “Terima kasih juga makanannya, Daisy. Kamu boleh kembali.”“Baik, Tuan. Semoga kalian menikmatinya.”Daisy mengangguk ke arah Mary dan menatap Nathan sedikit lebih lama sebe
Mansion Hilton.Sambil menunggu Hannah selesai menyiapkan makan siang, Dominic duduk bersama Victor dan Olso untuk membahas beberapa hal seputar pekerjaan. Tepatnya mengenai bisnis di Florida yang sengaja Dominic beri untuk Victor kelola. Kinerja Victor yang sempurna membuat Dominic merasa sangat puas. Kadang, Dominic berpikir. Andai saja waktu itu Victor tidak dijebak oleh musuh dan mendekam di balik jeruji besi, pasti kekuasaan pria itu sudah menjadi sangat besar.Sebab, apa yang terjadi saat itu membuat Victor tak hanya kehilangan harta dan kekuasaannya, tapi juga sangat terpuruk sehingga sulit untuk bangkit. Victor baru bisa pulih secara perlahan setelah Dominic turun tangan membantunya dengan memberikan pengelolaan bisnis di Florida kepada Victor.Selama setahun, Victor bekerja keras dan akhirnya berhasil membuktikan kemampuannya di hadapan Dominic. Bisnis di Florida berkembang pesat bahkan jauh dari ekspektasi Dominic sebelumnya.Hari ini, Dominic sengaja tidak mengadakan per
Jika sebelumnya Mary selalu antusias saat mengunjungi kediaman Hilton yang mewah dan megah, kali ini terasa berbeda. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika berada di tengah keluarga kekasihnya.Keluarga Nathan yang juga keluarga Jihan selalu sangat tulus dan ramah kepadanya, membuat Mary merasa bersalah. Dia merasa seperti seorang pengkhianat yang tidak pantas berada di sana. Meskipun tidak ada seorangpun yang tahu apa yang telah terjadi padanya, Mary merasa malu yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah sedang ditelanjangi di depan banyak orang.Tak tahu harus berbuat apa, saat kakinya melangkah memasuki kediaman yang megah itu, dadanya berdebar-debar dan perasaan tidak nyaman semakin merayap, membuatnya gelisah."Kamu kenapa?" tanya Nathan.Pria itu menghentikan langkahnya dan menatap lekat-lekat pada Mary yang juga berhenti di sampingnya."A-apa?" Mary terkejut oleh pertanyaan pria itu. Ia menatap Nathan sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah la
"Nathan, dia Victor," ucap Dominic. "Kalau Olso, kamu pasti masih ingat siapa dia," tambahnya pelan.Dengan senyum ramah, Nathan mengulurkan tangan kanannya ke arah Victor, mengajak pria itu untuk bersalaman. "Senang berkenalan denganmu." ucapnya dengan nada ramah.Victor membalas dengan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Nathan. Ia menatap dalam mata Nathan. "Terima kasih," balasnya singkat, dengan suara dingin yang jauh dari kata ramah seperti yang ditunjukkan oleh Nathan. Namun, hal itu tidak mengejutkan yang lain, karena mereka tahu bahwa begitulah karakter Victor."Baiklah, kebetulan sekali aku sangat lapar," ucap Dominic setelah Victor dan Nathan melepaskan jabat tangan mereka. Ia melirik pada Hannah. "Apakah makan siang kita sudah siap, sayang?" tanyanya pada sang istri."Ya, sudah siap. Kalau begitu, mari kita ke meja makan langsung," ajak Hannah kepada mereka, lalu wanita paruh baya itu meraih lembut tangan Mary. "Ayo, sayang, kita ke meja makan."Mary mengangguk pelan
Sebelumnya, Victor menuju toilet bersama temannya, Olso. Namun, temannya itu sudah selesai terlebih dahulu dan meninggalkannya di toilet untuk kembali ke ruang tengah, bergabung dengan Dominic dan Nathan di sana. Namun, sebuah kebetulan kembali membuat Victor dan Mary terjebak dalam situasi tak diinginkan. Tanpa sengaja, Mary pun masuk ke dalam toilet tempat Victor berada. Betapa terkejutnya wanita itu ketika melihat kehadiran pria bajingan itu di sana! Tanpa berpikir panjang, Mary segera berusaha mundur untuk keluar dari toilet tersebut. Namun sialnya, dia kalah cepat dari Victor, yang sudah mengunci pintu toilet dan memerangkap tubuhnya di antara pintu. Mary membuka bibirnya, hendak mengatakan sesuatu, tetapi Victor sigap membungkam mulutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan yang satunya lagi digunakan untuk menahan kedua tangan Mary di atas kepala. "Silakan berteriak kalau kamu mau kekasihmu tahu, Baby." bisik Victor di depan wajah Mary. Pria itu lalu mengulas senyum smirk
Di tengah langkahnya, Nathan berdoa dalam hati semoga ia tidak melihat hal-hal aneh yang akan membuatnya kecewa dan sakit hati. 'Tidak mungkin semua yang aku pikirkan ini menjadi kenyataan. Lagi pula, mereka tidak saling mengenal. Yeah... Aku hanya stres memikirkan keanehan yang terjadi pada Mary sejak semalam. Hanya itu... Ya, hanya itu,' batin Nathan, berusaha meyakinkan hati di tengah langkahnya. Beberapa menit kemudian, ia tiba di depan toilet, menatap ragu pada pintu yang tertutup rapat. Nathan mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Tok tok tok "Mary, apakah kamu di dalam?" seru Nathan dengan suara agak tinggi, mendekat dan menempelkan telinga di pintu. Di sisi lain, Victor yang saat ini masih melumat dan menghisap bibir Mary sontak menghentikan aksinya ketika mendengar suara ketukan pintu dan seruan Nathan di balik pintu. Ia melepaskan tautan bibirnya dengan Mary ketika wanita itu mendorong dadanya. Tanpa memperdulikan dagunya yang basah oleh air liur Victor, Mary menelan
Di depan toilet, Nathan menatap khawatir pada Mary. Ia mendekat, lalu membelai lembut wajah kekasihnya itu. "Kamu baik-baik saja?" tanya Nathan dengan suara pelan. Mary mengangguk, berusaha tersenyum. "Iya, aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun dalam hati ia merasa tertekan. "Tadi perutku agak sakit... Makanya aku agak lama di toilet," jelas Mary dengan terpaksa berbohong, meskipun sebenarnya ia tidak ingin berbohong, tetapi keadaan memaksanya. "Mau aku belikan obat?" tanya Nathan penuh perhatian. Mary menggeleng cepat. "Tidak usah, sayang. Sekarang sudah tidak sakit lagi. Iya... perutku tidak sakit lagi. Aku baik-baik saja," jawabnya dengan senyum lebar, berharap dapat meyakinkan Nathan. Nathan mengangguk pelan. "Syukurlah kalau begitu." Ia sempat melirik pintu toilet yang sedikit terbuka. Mary menyadari tatapan Nathan dan panik. "Ayo..." ajak Merry buru-buru. Nathan beralih menatapnya. "Atau... kamu mau masuk?" tawar Mary dengan sengaja. Namun, dalam hatinya, ia sangat berha
*** "Kau ini kenapa, huh? Tiba-tiba bersikap begini, gegabah tanpa berpikir panjang," Olso berkata sambil menyetir, melirik Victor yang duduk di sampingnya. "Nathan itu keponakan Tuan Dominic, dan dia sangat sayang terhadap keponakannya, seperti putranya sendiri. Dan kau... kau malah dengan beraninya mengganggu kekasih dari keponakannya itu. Mereka akan segera menikah, Victor. Berhentilah berbuat gila, jangan sampai semua tindakanmu itu menghancurkan apa yang selama ini kita bangun. Kepercayaan Tuan Dominic. Hubungan baik kita dengannya jangan sampai hancur hanya karena kau mengejar Mary." Di sisi lain, Victor hanya diam, mendengarkan dengan seksama omelan panjang lebar Olso tanpa berniat membalas. "Aku tidak tahu persis apa alasanmu kali ini. Tapi yang jelas, aku tidak percaya kalau alasannya karena cinta. Kau tidak mungkin mencintai Mary, kan? Sementara Jihan sendiri belum bisa kau lupakan," Olso melanjutkan, tampak belum puas mengomeli temannya itu. Ya, Olso sangat kesal den
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing