London, UK.
“Halo, Sayang?” seorang wanita cantik bernama Mary Poppins menyahut.
Ia memanfaatkan bahu untuk menahan ponsel di telinga, sementara kedua tangannya sibuk menyiapkan tas kerjanya dan beberapa barang yang dibutuhkan.
"Kamu habis ngapain sampai terlambat begini, hmm?" tanya seorang pria di ujung telepon yang merupakan kekasih Mary, Nathan.
“Tadi aku sempat ketiduran setelah mengobrol dengan Jihan. Jadi, aku lupa menyetel alarm,” jawab Mary sambil menegakkan tubuh dan berputar ke kiri dan kanan sekadar memastikan tidak ada barang yang ketinggalan.
Di ujung telepon, terdengar helaan napas pelan dari Nathan. Pria itu tak banyak bertanya lagi dan memberi waktu untuk kekasihnya bersiap-siap, sementara dirinya saat ini sedang menunggu di bawah untuk mengantar Mary ke tempat kerja.
“Aku sudah selesai, aku turun sekarang ya?” kata Mary yang dibalas dengan deheman singkat oleh Nathan.
Di tengah hiruk-pikuk kota London ini, Mary hidup sebatang kara.
Sejak usia 16 tahun, dia ditinggalkan Ibunya untuk selamanya. Sedangkan Ayahnya? Bahkan sampai detik ini, Mary tidak pernah mengetahui sosok Ayah kandungnya.
Semasa Ibunya masih hidup, Mary pernah bertanya tentang sosok Ayahnya. Namun, jawaban yang diharapkan tak pernah ia dapatkan. Ibunya hanya menangis dan membuat Mary bingung sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk tak pernah bertanya lagi soal Ayahnya.
Setelah kepergian Ibunya, Mary bekerja banting tulang untuk bertahan hidup di sebuah restoran sebagai pelayan. Setelah lepas dari pekerjaan tersebut, Mary akhirnya menemukan pekerjaan baru di sebuah night club. Di sana, Mary bekerja sebagai bartender profesional.
Mary pernah berkuliah bahkan sampai selesai dan berkesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, Mary memilih untuk kembali bekerja sebagai bartender karena dia sangat mencintai pekerjaannya.
Menit berlalu, Mary tiba di lantai dasar. Dia segera menuju lobi dan bergerak menghampiri mobil Nathan yang tengah menunggu di depan sana. Kekasihnya itu menjemput dan berkata bahwa ia tidak bisa menjemputnya besok.
“Aku pulang sama temanku saja, Sayang,” sahut Mary sambil menatap Nathan dengan senyum. Dia tahu kekasihnya itu sangat perhatian dan selalu mengutamakan kenyamanannya.
“Kamu pulangnya kapan?” Mary bertanya lagi.
Dengan senyum, Nathan menjawab, “Paling besok malam aku sudah pulang.”
“Oh, sehari saja?”
“Hmm, semoga saja tidak ada pekerjaan tambahan supaya aku tidak usah berlama-lama di sana,” jawab Nathan. Mary tersenyum mendengar jawaban tersebut.
Keduanya terlihat amat romantis. Nathan yang membawa tangan Mary menuju bibirnya dengan lembut.
Hubungan mereka berawal dari persahabatan, hingga perlahan-lahan rasa nyaman tumbuh di hati masing-masing. Seiring berjalannya waktu, mereka meyakini bahwa perasaan yang mereka miliki itu adalah cinta. Akhirnya, keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.
***
Victor Marson, pria dewasa berusia 37 tahun yang terlahir dari keluarga yang terlibat dalam dunia Mafia.
Ayahnya adalah seorang Mafia yang kini telah tiada. Setelah dewasa, Victor menggantikan posisi Ayahnya sebagai pemimpin.
Namun, dia dijebak oleh musuh dan mendekam di balik jeruji besi selama bertahun-tahun. Tak hanya itu, ia juga kehilangan harta dan kekuasaannya.
Di saat terpuruk di dalam penjara, Victor bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat baik, Dominic Hilton, yang kini menjadi bosnya.
Selama setahun, Victor bekerja keras dan akhirnya berhasil membuktikan kemampuannya di hadapan Dominic. Bisnis di Florida berkembang pesat bahkan jauh dari ekspektasi Dominic sebelumnya.
Victor terbilang sukses dalam hal pekerjaan, tetapi tidak dalam hubungan asmara. Pria yang gemar menjalin hubungan satu malam ini sangat terobsesi dengan satu wanita, bahkan sejak dia masih remaja. Wanita yang dia ketahui adalah adik sepupunya, ternyata adalah anak kandung dari bosnya. Lebih parahnya lagi, wanita itu kini sudah menjadi milik pria lain.
Victor mengalami patah hati terhebat dalam hidupnya setelah kehilangan wanita itu. Malam ini, Victor mengunjungi sebuah klub malam bersama sahabatnya, Olso. Saat ini mereka berada di tempat VIP, hanya berdua di sana. Victor menginginkan ketenangan dan belum ingin ada wanita penghibur yang masuk untuk bersenang-senang dengannya.
Victor mengangkat gelasnya. Diteguknya tequila di dalamnya hingga tandas. Ia menutup mata dan menggelengkan kepala kala cairan itu menghantam tenggorokannya. Panas. Menyengat.
“Jihan tidak akan mau bertemu denganku. Dia sangat benci padaku.” Victor tertawa miris.
“Makanya, usahakan dulu. Apa salahnya kau mencoba? Daripada seumur hidup perasaanmu akan menggantung seperti ini, kan?” kata Olso yang berusaha membuka pikiran sahabatnya.
Victor menoleh menatap Olso. Pria itu membalas dengan anggukan pelan.
Olso menghela napas. “Bicaralah dengannya. Setelah urusanmu dengan Nona Jihan selesai, kita akan segera kembali ke Florida. Kita akan menetap di sana selamanya dan … kau bisa memulai kehidupan baru. Lupakan Nona Jihan dan temukan penggantinya.”
Victor menggelengkan kepala dengan senyuman miris. “Rasanya aku tidak mungkin bisa, Olso. Jihan tidak akan tergantikan.”
Olso terdiam, menatap serius padanya.
“Kau tidak akan mengerti karena kau bukan aku,” tambah Victor.
“Kau benar,” sahut Olso. “Mana mungkin aku paham. Tapi setidaknya, di sini aku berusaha mengingatkanmu agar hidupmu tidak sia-sia. Victor … banyak wanita cantik di luar sana. Kau hanya belum pernah mencoba membuka diri kepada mereka.”
Victor terdiam. Kali ini, ia terlihat enggan memberi respons atas ucapan Olso karena jawabannya hanya satu: Victor hanya mencintai Jihan. Sampai kapan pun, hanya Jihan. Wanita itu tidak akan bisa tergantikan oleh yang lain.
Victor kembali menuangkan tequila ke dalam gelas. Kali ini, tuangannya asal-asalan, terlihat lebih banyak dari sebelumnya. Tanpa ragu, ia mengangkat gelas kecil itu menuju bibir sebelum kemudian meneguknya hingga tak tersisa.
Victor melakukannya berulang kali, tanpa memperdulikan rasa panas yang menyengat di tenggorokannya. Bahkan seruan Olso yang memintanya untuk berhenti minum karena sudah terlalu banyak pun tak dihiraukannya.
Setelah beberapa gelas ia habiskan, Victor terserang mabuk. Kadar alkohol yang sangat tinggi itu membuatnya kehilangan kesadaran. Olso yang menyadari pun berniat membawanya keluar dari sana. Namun, Victor menolaknya.
“Aku di sini saja,” ucap Victor dengan erangan marah. “Hei, pesan satu gelas lagi!”
Di samping itu, Olso yang kesal dan putus asa dengan sikap Victor tiba-tiba mendapat telepon dari asisten Bosnya, yang mengatakan ada suatu hal penting yang ingin dibicarakan. Dengan terpaksa, Olso meninggalkan Victor di Nightclub itu. Namun sebelum pergi, ia sudah mengantarkan Victor terlebih dahulu ke sebuah kamar VVIP.
***
Mary tengah meracik minuman dengan penuh konsentrasi. Tanpa mengganggu fokusnya, dia mengangguk sambil tersenyum menanggapi ucapan temannya. Setelah selesai, Mary menyodorkan gelas berisi minuman yang ia racik sebelumnya ke seorang pria yang duduk di kursi bar di depan meja bartender.
“Mary?” panggil manajer Mary.
“Yes, Sir?” sahut Mary dengan ramah.
“Tolong antarkan pesanan ke kamar VVIP nomor 105.” Dia menyodorkan kertas berisi pesanan tamu VVIP.
Mary mengangguk pelan sebelum beralih kepada sang manajer. “Baik, Sir. Saya segera antarkan.”
Setelah sang manajer pergi, Mary segera menyiapkan pesanan dua botol tequila dan mengantarnya ke kamar nomor 105.
Tok tok tok!
Tak ada sahutan dari dalam, Mary akhirnya membuka pintu kamar tersebut. Dia masuk dan tidak lupa menutup pintu.
Saat Mary melangkah lebih jauh, keningnya tampak berkerut. Matanya menyorot ke arah ranjang yang masih dalam keadaan rapi sebelum kemudian beralih ke sofa. Ternyata penghuni kamar ini duduk di sana.
Mary melangkah mendekat, merasa khawatir. “Permisi, Tuan?”
Pria itu tidak merespons. Mary mulai berpikir bahwa dia mungkin pingsan atau sangat mabuk. Dengan cepat dia meletakkan dua botol tequila yang dibawanya di atas meja.
“Jihan …?” Pria itu tiba-tiba berseru, wajahnya terangkat menatap ke arah Mary.
Mary terlonjak kaget, hampir menjatuhkan salah satu botol. “Victor?” gumamnya ketika wajah pria itu menjadi jelas di matanya.
Sosok yang Mary benci ada di hadapannya, menatapnya dengan matanya dengan tatapan memangsa.
Tanpa peringatan, tangan besar Victor menarik lengan Mary dan membuatnya jatuh ke pangkuannya. “Victor! Lepaskan aku!” pekik Mary, meronta-ronta berharap bisa bebas. “Kau … kau sangat cantik malam ini, Jihan,” racau Victor yang keliru mengenali Mary sebagai Jihan, wanita yang dicintainya. Mary tertegun, tidak percaya apa yang sedang terjadi. “Victor, lepaskan aku! Jangan sentuh aku!” teriaknya ketika Victor mengunci pergerakannya dan mulai mencumbu lehernya. “Victor, tolong …,” rintih Mary merasa putus asa. Victor bangkit dari sofa dan melemparkan Mary ke atas kasur. Mary terkejut. Ia segera berusaha untuk bangkit dan turun dari ranjang, tetapi Victor lebih cepat. Dia menarik salah satu kaki Mary dengan kasar. “Victor, jangan! Aku mohon ….” Mary merintih sambil berusaha menahan tubuh pria itu. “Sadar, Victor. Ini aku, Mary. Aku bukan Jihan,” ujarnya dengan suara yang bergetar. Namun, Victor tampak tidak mendengarkan. Rintihan Mary dianggapnya sebagai desahan yang merdu. Denga
*** Setibanya di apartemen, Mary langsung bergerak menuju kamar mandi. Ia menanggalkan semua kain yang melekat di tubuhnya dengan gerakan kasar, membuatnya robek. Setelah itu, Mary melangkah ke bilik shower. Ia menggosok kulitnya dengan kasar. Ia berharap dengan cara ini ia bisa menghapus semua be
*** “Tuan, apakah Anda baik-baik saja?” tanya wanita yang merupakan asisten Nathan, Daisy namanya. Ia memiliki postur tubuh mungil, kulit cerah seputih susu, dan … wajah yang sangat cantik. “Ah, maaf jika saya lancang,” ia tampak gugup ketika ditatap datar oleh Nathan. “Saya hanya mencemaskan kead
*** Setelah menghabiskan waktu sekitar 15 menit dari club, Nathan tiba di apartemen Mary. Setelah memarkirkan mobilnya di basement, Nathan keluar dengan langkah terburu-buru menuju lift yang akan membawanya ke lantai tempat unit apartemen kekasihnya berada. Setelah tiba di depan lift, Nathan masuk
*** Di atas ranjang, Mary berbaring dengan posisi miring, kedua kakinya ditekuk. Matanya terlihat sembab akibat terlalu banyak menangis. Sejak ditinggalkan oleh Nathan sekitar dua jam yang lalu, yang bisa dilakukan Mary hanyalah menangis. Ia ingin sekali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pa
*** Jam delapan pagi, cahaya matahari masuk melalui celah-celah tirai jendela kamar Mary. Di atas ranjang, wanita itu tidur pulas, ditemani Nathan yang setia memberikan pelukan hangatnya sepanjang malam. Posisinya yang membelakangi Nathan dan wajahnya yang menghadap ke arah jendela membuat cahaya
*** Jika sebelumnya Mary selalu antusias saat mengunjungi kediaman Hilton yang mewah dan megah, kali ini terasa berbeda. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika berada di tengah keluarga kekasihnya. Keluarga Nathan, yang sangat tulus dan ramah kepadanya, justru membuat M
*** Sebelumnya, Victor menuju toilet bersama temannya, Olso. Namun, temannya itu sudah selesai terlebih dahulu dan meninggalkannya di toilet untuk kembali ke ruang tengah, bergabung dengan Dominic dan Nathan di sana. Namun, sebuah kebetulan kembali membuat Victor dan Mary terjebak dalam situasi ta
Mary berdiri di tengah kamar, memandangi suasana yang berantakan—selimut yang tergeletak di lantai, bantal yang tak pada tempatnya, dan meja kecil yang dipenuhi barang-barang. Pandangannya sempat kosong, tetapi ia menarik napas panjang, memutuskan untuk mulai merapikan kamar. Ia mengambil selimut y
Lucy dan Olso duduk di sofa di ruang tengah, tampak kebingungan. Mereka saling pandang, mencoba membaca situasi, tetapi tidak berani bertanya apa-apa. Mereka tidak tahu apa-apa soal kecurigaan Mary terhadap Victor, apalagi mengenai keterlibatan suaminya dalam kecelakaan yang menewaskan Nathan. Yang
*** Tubuh Dominic seketika membeku, matanya melebar karena keterkejutan yang tak dapat ia sembunyikan. Ponsel di tangannya hampir saja terlepas, tapi Hannah dengan cepat menangkapnya sebelum benar-benar jatuh. “Sayang, ada apa?” tanya Hannah, suaranya penuh kekhawatiran saat ia melihat ekspresi Do
Taman itu dipenuhi tanaman hijau subur, bunga-bunga bermekaran dalam berbagai warna—menambah keindahan suasana. Sebuah set kursi dan meja rotan dengan bantalan empuk berada di tengah ruangan, tempat semua orang berkumpul dengan santai. Di atas meja, beberapa cangkir teh telah terisi penuh dengan te
*** Usai mandi, Mary dan Victor bergegas bersiap-siap tanpa membuang waktu. Begitu semuanya selesai, mereka meninggalkan kamar yang terlihat berantakan dan langsung turun ke lantai dasar. Tidak seperti biasanya, Mary sengaja tidak merapikan kamarnya lebih dulu. Ia tak ingin membuat Nyonya Zaria, C
Mary menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan perasaan yang perlahan meledak. Tetapi sentuhan Victor, ciumannya, dan suara napasnya yang dekat begitu menggoda, membuatnya sulit berpikir jernih. Napas Mary semakin berat, dan ia tahu Victor sengaja memperlambat waktu mereka. Tanpa berkata apa-
Lucy menghentikan kegiatannya sejenak dan beralih menatap Nyonya Zaria. Senyum ramah mengembang di wajahnya. "Tidak, Bibi," jawab Lucy sopan sambil menggeleng pelan. "Aku hanya menyiapkan sarapan untuk kita saja, yang ada di rumah ini." Mendengar percakapan itu, Chiara yang sedang mengawasi Zack di
“Bagaimana bisa?” pikir Daisy dengan sesak yang menyelimuti dadanya. Apakah semua yang mereka lalui hanyalah kebohongan? Apakah malam-malam panjang yang mereka habiskan bersama, tawa, pelukan, bahkan cinta mereka, tak ada artinya bagi Nathan? Ia merasa begitu kecil, seolah semua pengorbanannya sia-
*** London, UK... Di dalam kamar yang kacau balau, pakaian berserakan di lantai—sebuah dress merah yang tergeletak kusut, bra yang terlempar ke sudut ruangan, celana dalam, boxer, hingga jas pria yang terbuka kancingnya. Aroma pagi yang intens masih tercium samar, tetapi suasana di dalam kamar itu