Kukuruyuuuk ....
Meskipun langit masih gelap, ayam jantan telah menunaikan tugas membangunkan banyak insan di tengah dingin dan kesunyian pagi. Pada pukul 4 pagi, berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya yang memilih bergulat dengan selimutnya, Nirmala, gadis berusia 24 tahun kini justru sudah sibuk membereskan rumah juga mengurus adiknya yang sakit. "Hari ini kakak antarkan surat izin ke sekolah lagi ya, kamu masih demam jadi di rumah dulu," ucap Nirmala lembut sembari memasang kain kompres pada kening adiknya yang berbaring tak berdaya. "Tapi, Kak, nanti Anes ketinggalan pelajaran gimana? Anes gak mau kakak sia-sia biayain sekolah Anes kalo nilainya turun." Ucapan polos gadis remaja itu membuat senyuman Nirmala mengembang. "Ganesha dengerin, selama dua tahun ini kamu berhasil bertahan di peringkat pertama kakak udah bangga banget tau. Jadi stop membebani diri ya. Ini udah jadi kewajiban kakak biayain Anes sekolah." Siapa sangka jawaban sang kakak membuat Anes berlinang air mata. Setelah kepergian ayah dan ibunya, Nirmala memikul beban menggantikan peran kedua orang tua untuknya. "Kakak, makasih udah mau berperan menggantikan ibu dan ayah. Maaf karena Anes, kakak jadi gak bisa bersenang-senang kayak temen kakak yang lain. Tapi Anes janji, Anes akan giat belajar dan nanti kakak akan jadi orang pertama yang akan Anes bahagiakan." Nirmala memeluk erat adik kesayangannya itu. Tetes demi tetes air mata menuruni pelupuk matanya. Ia tak sanggup berkata-kata mendengar ucapan mengharukan itu. Terkadang ia memang mengalami kelelahan ketika berperan sebagai kakak sekaligus harus memerankan sosok ibu dan ayah untuk adiknya, namun ancap kali rasa lelah itu timbul, ada saja hal yang dilakukan sang adik yang membuatnya ingin terus bertahan. "Kakak jangan nangis. Kakak jangan membebani diri dengan beban yang gak seharusnya kakak pikul juga. Kakak udah berhasil membuat Anes merasakan peran ibu dan ayah kembali kok. Sekarang cukup jadi kakak Anes aja, Anes udah bersyukur." Lagi-lagi ucapan bijak gadis kecil berusia 15 tahun itu membuat hati Nirmala terenyuh. Rasa sayangnya kepada sang adik semakin besar. Ia menjadi tak kuasa jika harus membiarkan adiknya merasakan kepedihan lagi. "Kamu ini selalu bisa bikin kakak bangga. Makasih, ya." Pelukan mereka terurai dan Anes dengan gerak cepat menghapus air mata Nirmala yang masih membekas. "Kakak cantik kalau senyum. Anes yakin deh pasti ditempat kerja kakak banyak cowok yang nembak kakak ya?" "Nembak? Ihh kamu ini masih kecil tau apa. Udah kamu tidur lagi oke? Kakak mau lanjut beberes dulu karena jam 5 kakak harus berangkat." Ganesha yang masih berbibir pucat memamerkan deretan gigi kecil yang rapih. "Oke, Kak Nirmala, fighting!" Usai menjenguk dan memeriksa keadaan adiknya, Nirmala menuju kamarnya untuk bersiap, namun langkahnya tiba-tiba terhenti di depan sebuah foto di mana seorang pria dewasa yang memeluk dua gadis cantik yang berwajah mirip. "Ayah, maaf Nirmala belum bisa menjaga Ganesha dengan baik. Nirmala masih banyak kekurangan dan belum mampu menggantikan peran ayah dan ibu untuk Anes. Tapi Nirmala akan berusaha untuk menjadi kakak yang terbaik untuk Anes, Yah. Doain Nirmala ya, Yah, semoga Nirmala selalu kuat," gumam Nirmala tersenyum sendu menatap wajah sang ayah yang tertawa lepas dihadapan kamera. *** Waktu telah menunjukkan pukul 4.45 yang artinya tugas Nirmala membereskan rumah telah selesai 30 menit yang lalu. Kini ia menatap langit-langit kamar dengan bosan menunggu jarum panjang jam dindingnya berdetak diangka 12. "Semoga aja angkotnya nggak mogok lagi. Kalau telat lagi bisa-bisa beneran kena SP 2 gawat," gumam Nirmala mengangkat tinggi-tinggi sebuah amplop yang berisi surat peringatan yang ia terima dua hari lalu. "Apa aku jalan sekalian aja ya? Tapi— Hoaamm .... Di tengah kebingungannya, tiba-tiba kantuknya kembali datang. Ia menguap beberapa kali karena semalam ia tak cukup waktu untuk tidur. Biasanya ia dapat tidur kurang lebih tengah malam usai mengerjakan proyek rumahan dari pabrik di sekitar rumahnya, namun semalam karena harus menunggui adiknya yang sakit, ia hanya dapat tidur selama 2 jam. Plakkk "Gak boleh! Aku gak boleh tidur!" seru Nirmala menampar pipinya sendiri agar tidak tertidur. Ia pun bangkit dari posisi berbaring dan merapikan seragam bertulisankan 'Office Girl' dibelakang punggungnya. "Berangkat sekarang aja kali ya lumayan kalau jalan bisa lebih santai." *** Seorang gadis yang mengenakan seragam biru hitam dengan tulisan 'Office Girl' di belakang punggungnya tengah berjalan menyurusi jalanan yang padat dengan riang. Ia menoleh arah jalanan yang padat dengan pandangan kasian. "Ckckck kasian orang-orang kejebak macet mana bentar lagi telat. Lagian sih hobi banget pake mobil, kayak aku dong jalan kaki, sehat!" gumam Nirmala membanggakan diri. Sepertinya ia lupa kemarin pun ia berada di posisi yang sama dengan pengendara jalan yang baru saja ia bicarakan. Saat ia sedang santai berjalan kaki, tiba-tiba ia mendengar di tengah keramaian ada seseorang yang berteriak ke arahnya. Tentu saja Nirmala dengan spontan berhenti dan menoleh mencari sumber suara, namun nihil hanya jajaran mobil yang ia lihat. "Aneh banget dah," gumam Nirmala tiba-tiba bergidik. Saat Nirmala hendak melanjutkan langkahnya, tiba-tiba ia merasakan sebuah tepukan pada bahunya dan dengan spontan ia berbalik waspada. "APA SI— Eh?" "Kau pegawai Rajya Corp kan?" Nirmala sempat terbengong sejenak melihat sosok pria yang baru saja memanggilnya. Namun segera tersadar begitu begitu pria tersebut menjentikkan jari tepat di depan mata Nirmala. "Eh, Iya Tuan Baladewa. Saya salah satu OG di Rajya Corp." "Ahh iya benar kau yang kemarin sempat cekcok dengan Viola kan?" Mendengar pertanyaan tersebut Nirmala mengangguk cepat. "Maaf lancang tetapi mengapa Tuan ada di sini?" Wanita itu terheran melihat kehadiran anak petinggi perusahaannya yang menghampirinya di trotoar jalan. Ia menjadi sedikit khawatir apakah ia melakukan sebuah kesalahan hingga membuatnya turun ke jalanan. "Aku terjebak macet dan aku harus sampai di kantor lima belas menit lagi. Apa kau tau jalan pintas menuju kantor?" Mendengar pertanyaan itu, Nirmala sempat terbengong kembali. Entahlah sepertinya ia masih tak habis pikir melihat anak bosnya rela menghampirinya di pinggir jalan. "Saya tahu, Tuan, tapi sepertinya mustahil dilalui mobil karena jalanannya sangat sempit dan sepertinya tidak memungkinkan apabila Tuan Baladewa memilih jalan ini," jawab Nirmala sedikit berhati-hati. Baladewa nampak berpikir sejenak sembari melihat hamparan mobil yang masih saling berdesakan mengarungi jalanan raya yang tak seberapa itu. "Jadi kau meremehkanku dan berpikir aku orang kaya yang harus menggunakan mobil untuk berpergian? Sudahlah katakan di mana jalannya pakai ojek pun tak masalah bagiku," jawabnya dengan raut wajah berubah masam. Nirmala meringis merasa tak enak. "Maaf, Tuan, bukan begitu maksud saya." Ia tak pernah membayangkan akan mengajak anak seorang CEO untuk mengarungi gang sempit dan kumuh demi sampai di gedung perusahaannya tepat waktu. "Kenapa?" tanya Baladewa merasa aneh dengan ekspresi Nirmala. "Eh— emmm perjalanannya akan sedikit 'menantang' karena jalan yang harus kita lalui hanya jalanan setapak, apakah tak apa?" Karena tak punya pilihan lain Baladewa pun mengangguk mantap. "Tak masalah selama aku bisa sampai kantor tepat waktu. Kalau gitu dimana kita bisa mendapat ojek?" Nirmala yang mendengar pertanyaan itu berusaha keras untuk tidak terkekeh. Ia sungguh tak menyangka pria old money sepertinya sungguh tak mengerti 'jalan setapak' yang ia maksud. "Emmm sepertinya saya harus meluruskan dahulu, Tuan Baladewa. Jalan setapak yang saya maksud itu hanyalah gang sempit pemukiman warga yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Jadi kita harus berjalan kaki menembus beberapa pemukiman dan perumahan di depan itu. Karena gedung Rajya Corp ada dibalik pemukiman ini." "APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" Tbc"APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" pekik Baladewa melotot merasa dibohongi padahal sedari awal sebenarnya Nirmala sudah mengungungkapkan jalanan yang harus dilewati hanya setapak. Nirmala tertunduk untuk menutupi raut wajahnya yang menahan tawa. Sungguh disaat seperti ini ia merasa Baladewa sekarang merupakan sosok yang berbeda dari Baladewa tempo hari yang dingin dan sarkas. "Kau tertawa?" sindir Baladewa seketika membuat Nirmala seketika kicep. "Oh maafkan saya, Tuan. Kalau begitu bagaimana?" Nirmala melirik arlojinya dan melihat waktu telah menunjukkan pukul 6.20. Ia sebenarnya juga merasa khawatir karena seharusnya ia sudah tiba di kantor pukul 06.30 namun karena tiba-tiba anak bosnya memanggilnya membuat perjalanannya tertahan. Meskipun ragu, akhirnya Baladewa pun pasrah mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki. "Baiklah tak apa selama aku bisa tiba di kantor lebih cepat," putus Baladewa dengan lemah. Akhirnya mereka pun mulai berjala
"Terima kasih banyak, Tuan Emmm— Pak. Tanpa bantuan anda pasti saya sudah kehilangan pekerjaan. Terima kasih." Seorang OG membungkuk hormat kepada pria berambut coklat di depannya. Usai tadi sang pria berhasil membantunya keluar dari situasi sulit, gadis itu membuntuti dan mencegat hanya untuk berterima kasih. "Sudahlah tak usah berlebihan. Aku hanya tak ingin ayahku memarahiku karena membuat salah satu pegawainya dipecat," elak Baladewa menghela napas lelah. "Sudah kan? Kalau gitu minggirlah aku sedang sibuk!" lanjut Baladewa setengah membentak karena merasa tak nyaman melihat banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya. Nirmala yang paham pun bergegas menyingkir dari hadapan Baladewa. "Apapun alasan anda, saya sungguh berterima kasih," lirih Nirmala menatap dengan penuh binar punggung Baladewa yang semakin lama bergerak menjauh. "Hey, Mala ada urusan apa kamu sama anaknya Pak Raja?" Mendengar seseorang berbicara dengannya, Nirmala menoleh. "Tidak, hanya ada insiden k
Pagi itu Nirmala menjalani rutinitas seperti biasa, berangkat kerja dipagi buta dengan berjalan menyusuri jalanan lalu menghirup udara pagi yang belum terpapar polusi. Bedanya hari ini wajahnya nampak tak begitu berseri dan tak bersemangat. Tak hanya itu, kantung matanya nampak menghitam seperti kurang tidur. Sepanjang jalan ia cenderung diam dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Ia pun beberapa kali mendengus keras seolah ada beban berat yang sedang ia pikul. "Boleh gak sih cuti dulu? Rasanya aku belum sanggup kalau harus ketemu Baladewa." Nirmala menatap seragam biru putih yang ia kenakan. Seragam ini masih tercium aroma kain baru, ya memang seragam ini adalah pemberian Baladewa kemarin. Saat wanita itu berjalan dengan langkah perlahan, tiba-tiba sebuah motor melaju cepat di jalanan sampingnya. Akibat kencangnya motor itu melaju, Nirmala hampir ikut terhuyung saking kuatnya angin yang menerpa. Ia lantas berteriak marah "Wey! Jangan mentang-mentang jalanan sepi jadi
"Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara." Nirmala melontarkan senyuman ketulusan. "Nope ... kalau nam—" "Oh astaga! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Ucapan Bhaskara terhenti. Sedang Nirmala spontan berbalik. Matanya melebar begitu melihat wanita berpenampilan modis menatapnya remeh. "No—na Viola?" lirih Nirmala dengan degup jantung yang berdetak cepat. Bhaskara sendiri memberikan tatapan sinis pada wanita berlidah tajam itu. "Apa dia juga karyawan di sini?" bisik Bhaskara yang belum paham jika Nirmala merasa terintimidasi. Nirmala mengangguk patah-patah. "Halo apa kau kekasihnya?" tanya Viola yang tiba-tiba menodong pertanyaan kepada Bhaskara. Nirmala panik, ia khawatir jika Viola berbicara yang tidak-tidak kepada Bhaskara. "Bhaskara, kau segeralah pergi," bisik Nirmala mendorong lengan Bhaskara agar lekas menaiki motornya. Pria itu menoleh ke arah
Karena pertengkaran kecil pagi tadi, suasana hati Nirmala mendadak berubah buruk. Namun di samping segala percekcokan pagi itu, ia begitu khawatir dengan ancaman Viola. Viona adalah putri dari sekretaris Raja sehingga cukup dekat dengan sang CEO. Nirmala khawatir jika kejutan yang Viona maksud adalah surat pemecatan. Pasalnya bukan hal sulit untuk Viola mengadukan keluhan kepada ayahnya dan akan dilaporkan kepada Raja. Meskipun harinya diawali dengan bersitegang, hari itu Nirmala melaksanakan tugasnya sebagai OG dengan cukup baik. Tak ada hal yang spesial dan tak ada masalah seperti hari lalu. Dan Nirmala cukup bersyukur tak bertemu Baladewa seharian ini. Waktu jam kerja telah usai, Nirmala bergegas berkemas untuk pulang. Beberapa hari ke belakang, Nirmala harus pulang dengan berjalan kaki karena ongkosnya harus dialihkan untuk biaya berobat adiknya. Ketika Nirmala keluar gerbang, ia dikejutkan dengan atensi seorang pria tengah duduk di atas motornya. Dia adalah Bhaskara, pr
"ARGH!" Nirmala tergelepar di tanah. Mendengar suara benda terjatuh, Bhaskara juga Baladewa menoleh ke sumber suara. Bughh! Bhaskara bergegas bangkit dan memukul rahang Baladewa dengan kerasnya. "Argh!" Baladewa yang lengah akhirnya terkena serangan telak. Ia terhuyung menjauhi Nirmala "Astaga! Hey, kau tidak apa-apa?" pekik Bhaskara langsung menghampiri Nirmala yang tergeletak. Ia mengangkat kepala Nirmala ke pangkuannya. Wajah kiri Nirmala memerah tepat di bawah mata kirinya. Ia meringis kesakitan merasakan pipinya berdenyut. Jari Bhaskara mengusap pipi kiri Nirmala yang terkena tonjokan tanpa peduli wajahnya yang juga babak belur. "Maafkan aku, Nirmala. Aku ... aku tidak sengaja," ucap Baladewa bergegas menghampiri Nirmala sembari memegangi rahang kananya. Nirmala berusaha bangkit di bantu Bhaskara. "Tidak sengaja kau bilang?!" sungut Bhaskara tersulut amarah. "Sudah! Jangan lagi berantem!" seru Nirmala mencegah percekcokan yang dikhawatirkan akan me
Kepergian Nirmala bersama pria yang tak ia kenali itu membekas di ingatan Baladewa. Bahkan sehari telah berlalu, pikirannya masih tertuju pada kejadian sore itu. Entah apa yang mendadak merasukinya, yang pasti ia merasa khawatir dan penasaran bagaimana kondisi Nirmala sekarang. "Dewa, cepat bawa masuk koper oma!" Teriakan itu membuat lamun Baladewa seketika buyar. "Memangnya oma udah sampai?" tanya Baladewa justru dengan santai mengambil segelas air mineral di meja makan. "Ya ampun! itu omamu udah di depan rumah!" Muncullah sosok wanita paruh baya dengan rambut setengah bahu. Ia menatap garang anak lelakinya yang malas-malasan. Tak ingin terkena semprot lagi, Baladewa bergegas keluar rumah. Begitu sampai diambang pintu, mata Baladewa langsung dimanjakan dengan rimbunnya dedaunan dan rerumputan hijau yang membentang luas. Pandangannya seketika tertuju pada sebuah mobil yang terparkir di garasi rumah. "Halo, Oma, kukira oma pulang bulan depan." Dengan cekatan Baladew
Seorang wanita berambut sebahu menyusuri lorong dalam keadaan gelap. Tak ada sedikitpun perasaan takut kala tak seorang pun hadir di sekitarnya. Ia tetap fokus memperhatikan kedua kakinya melangkah sepanjang lorong. Ia lantas berbelok ke kanan begitu sampai di simpang tiga. Lagi-lagi wanita itu sama sekali tak mengidahkan kesunyian dan kegelapan yang menemaninya. Ceklek .... Wanita itu membuka sebuah loker bertuliskan 'Nirmala' pada pintunya. Selanjutnya meletakkan tas ransel yang ia bawa ke dalam. Ia membuka resleting tasnya kemudian mengambul sebuah baju kerja yang juga bertuliskan 'Nirmala' pada nametag-nya. Saat ia hendak membuka baju yang ia pakai untuk diganti dengan pakaian seragam, ia dikejutkan dengan sebuah suara gaduh yang berasal dari area kamar mandi. Mata Nirmala yang tadinya sudah setengah tertutup, segera terbuka lebar. "Siapa di sana?!" seru Nirmala mulai was-was dengan sekelilingnya. Ia juga kembali membenarkan kancing bajunya yang sudah sempat ia lepas. Tak